Menuju konten utama

Seperti Emosi Negatif, Empati Juga Perlu Dikelola

Empati berlebih terutama memprioritaskan emosi orang lain di atas diri sendiri mengakibatkan kecemasan dan depresi.

Seperti Emosi Negatif, Empati Juga Perlu Dikelola
Ilustrasi Empati. (FOTO/iStockphoto)

tirto.id - Kabar duka, atau bisa juga berita bahagia, sering menjadi duka atau kebahagiaan bagi kita yang tidak mengalaminya. Tanpa disadari, apa yang kita dengar atau lihat melahirkan emosi-emosi tertentu sebagai respon atas berbagai kejadian tersebut. Namun, siapa sangka respon yang melibatkan emosi ini, memiliki banyak wajah, dan tidak selalu berdampak positif, bila dilakukan secara tidak tepat.

Berbagai Wajah Empati

Empati kaitannya dengan relasi dengan orang lain, sangat dibutuhkan manusia sebagai makhluk sosial agar dapat terhubung, berkomunikasi, dan berinteraksi dengan orang lain.

Namun Arthur C. Brooks, pada artikelnya yang berjudul What’s Missing From Empathy menyatakan bahwa empati mengalami pemaknaan (positif) yang berlebihan pada masyarakat kini. Menurutnya, saking berlebihannya, empati kini bisa dikategorikan sebagai kelebihan dalam resume. Konotasi empati yang positif, mengkategorikan pelamar kerja yang memiliki empati, adalah seorang yang layak dipekerjakan.

Trudy Meehan dan Jolanta Burke yang merupakan pengajar psikologi positif dan kesehatan di RCSI University of Medicine and Health Science mengatakan , bahwa empati merupakan kemampuan untuk menyelaraskan perasaan emosional dan kognitif dengan orang lain. Dengan berempati, seseorang dapat terhubung dengan orang lain jauh lebih dalam dan melihat dunia dari perspektif atau berbagi pengalaman emosional dengan orang lain.

Empati memiliki dua dimensi: sosio-kognitif dan sosio-afektif. Empati kognitif – mengacu pada melihat dunia melalui mata orang lain, melihatnya dari sudut pandang mereka, menempatkan diri kita pada posisi mereka tanpa harus mengalami emosi yang terkait. Misalnya, menonton berita dan memahami pada tingkat kognitif mengapa orang merasa putus asa, tertekan atau kemarahan.

Sedangkan empati emosional adalah tentang berbagi perasaan dengan orang lain dan mengalami rasa sakit ketika melihat seseorang yang kesakitan, atau mengalami kesusahan ketika melihat seseorang dalam kesusahan.

Studi fMRI menunjukkan empati didorong oleh neuron cermin dan jaringan bersama. Profesor Michael Binassy dari Universitas of London, mengatakan empati tidak hanya terjadi pada salah satu bagian otak, tapi juga pada bagian-bagian otak yang lain. Kita mengalami respon pada otak yang sama antar satu manusia dan manusia lainnya, dalam satu kondisi tertentu. Saat kita melihat orang lain sedih misalnya, ada pergerakan pada otak yang disebut vicarious brain activity, sehingga kita dapat merasakan kesedihan yang sama dengan orang yang mengalami.

Kenali Batasan Empati

Empati terbukti dapat mengurangi beban orang lain. Artikel Brooks mencatat serangkaian eksperimen yang didokumentasikan pada tahun 2017 dan menemukan bahwa rasa sakit fisik yang signifikan berkurang saat orang lain mengungkapkan empati. Misalnya, saat seorang pasien mendapat berita buruk soal kondisi kesehatannya. Mereka akan menghadapi dengan lebih baik jika dokter mereka berempati.

Tetapi hal yang mungkin luput dari perhatian selama ini adalah empati yang berlebih bisa berdampak buruk bagi kesehatan mental seseorang. Meehan dan Burke masih menyoroti bahwa terlalu banyak empati terhadap orang lain, terutama memprioritaskan emosi orang lain di atas diri sendiri dapat mengakibatkan pengalaman kecemasan dan depresi.

Efek empati pada tubuh telah telah dibuktikan dalam penelitian. Orang tua yang mengalami tingkat empati yang tinggi terhadap anak-anak mereka cenderung mengalami peradangan kronis tingkat rendah, yang menyebabkan kekebalan yang lebih rendah. Jantung kita juga berdetak dengan ritme yang sama ketika kita berempati dengan orang lain.

Empati, menurut Tania Singer, profesor dalam bidang Neuroscience, pada dasarnya adalah respon sehat yang dimiliki manusia, dan dapat berpengaruh positif. Namun, bila orang yang memberikan empati melewati batas yang kemudian disebut sebagai personal distress - ia lupa bahwa empati yang ia rasakan adalah reaksi atas kejadian yang terjadi pada orang lain, dan bukanlah kejadian yang sebenarnya terjadi pada dirinya sendiri - di situlah batas empati yang berlebihan terjadi.

Pada dampak yang lebih luas lagi, empati bisa menjadi justifikasi akan kebenaran individu atau group tertentu. Empati menurut Fritz Breithaupt, Profesor Ilmu Kognitif, terjadi pada berbagai level, bisa dalam grup yang sama, di luar grup, atau bahkan di tengah-tengah. Di sinilah, menurutnya empati berlebihan akan mendorong justifikasi. Akibat dari justifikasi dan empati ini sudah banyak kita lihat dampaknya pada alasan yang digunakan diadakannya perang, penjajahan, genosida, rasisme, dan sebagainya.

Beda Empati dan Belas Kasih

Jadi bagaimana jalan keluarnya supaya masih tetap bisa menunjukkan kepedulian tanpa meninggalkan diri sendiri? Jawabannya bukan dengan menghilangkan empati. Melainkan dengan menambahkan beberapa perilaku pelengkap serta mengembangkan empati menjadi belas kasih.

Studi komprehensif Clinical Psychology Review mendefinisikan belas kasih sebagai mengenali penderitaan, memahaminya, dan merasakan empati penderita tetapi juga menoleransi perasaan tak nyaman seseorang yang berempati. Dan yang terpenting adalah bertindak untuk meringankan penderitaan itu.

Sementara jurnal Social Cognitive and Affective Neuroscience mengungkapkan pula, mereka yang mengembangkan welas asih mampu menurunkan perasaan negatif dan membangkitkan rasa positif setelah menyaksikan penderitaan orang lain.

Empati dan belas kasih adalah peristiwa yang berbeda di otak. Empati untuk merasakan penderitaan orang lain mengaktifkan area di otak yang terkait dengan emosi negatif. Karena kita merasakan penderitaan orang lain, batas antara diri sendiri dan orang lain bisa menjadi kabur jika kita tidak memiliki batasan atau keterampilan pengaturan diri yang baik dan kita mengalami “penularan emosi”.

Sebaliknya, belas kasih dikaitkan dengan aktivitas di area otak yang terkait dengan emosi dan tindakan positif.

Belas kasih dapat didefinisikan secara sederhana sebagai empati ditambah tindakan untuk meringankan rasa sakit orang lain. Bagian tindakan dari belas kasih membantu kita memisahkan sistem emosional kita dari orang lain dan melihat bahwa kita adalah individu yang terpisah. Kita tidak perlu merasakan kepedihan mereka ketika kita menyaksikannya. Namun, memiliki perasaan ingin membantu.

Belajar melihat ketidaknyaman orang lain dan memberikan bantuan dapat meringankan beban orang lain, menjadikannya kesempatan bagi kedua belah pihak merasa lebih baik. Dengan demikian, belas kasih bukan hanya menyelamatkan si penderita tetapi juga membantu si penolong itu sendiri.

Infografik Dosis Empati

Infografik Dosis Empati. tirto.id/Fuad

Mengembangkan Belas Kasih

Brooks setuju bahwa mengembangkan belas kasih itu tak semudah membalikkan telapak tangan. Brooks mengatakan ada dua cara yang bisa dilakukan untuk mengembangkan belas kasih. Pertama, menjadi lebih tangguh untuk menghadapi rasa sakit orang tanpa terganggu untuk bertindak. Lalu yang kedua adalah jangan hanya merasa tapi lakukan.

Saat berempati, Brooks berpendapat kalau kita tak dapat membantu orang yang kesusahan itu untuk berkomitmen pada sebuah resolusi. Pasalnya, bantuan kita hanya terhenti pada perasaan korban. Tapi dengan belas kasih, kita dapat membantu mereka dalam bentuk tindakan, meski itu tidak diinginkan atau disukai oleh orang yang menderita itu. Tapi yang perlu dicatat ini semua dilakukan demi kebaikan mereka. Misalnya saja memberikan nasihat jujur yang cukup sulit didengar oleh orang yang sedang dalam masalah.

Meski kepedulian ke orang lain pada level tertentu baik, namun paparan informasi yang menjadi pemicu berbagai emosi yang mengarah pada empati berlebih pun perlu dibatasi. Alasannya, agar kita terhindari dari peningkatan stres dan emosi negatif. Keseimbangan dalam mengonsumsi informasi atau konten kesedihan yang terus mengalir di sekitar kita, baik itu di media sosial atau berita di televisi, perlu dikelola dalam kehidupan sehari-hari.

Yang pasti, peduli dengan sesama itu perlu tapi jangan sampai lupa untuk bersikap baik dengan diri sendiri.

Baca juga artikel terkait KESEHATAN MENTAL atau tulisan lainnya dari MN Yunita

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: MN Yunita
Penulis: MN Yunita
Editor: Lilin Rosa Santi