Menuju konten utama

Seperti Bengawan Solo, Kisah Gesang Mengalir Sampai Jauh

Seora pembaca pernah menuding "Bengawan Solo" sebagai lagu bukan ciptaan Gesang.

Buaya Keroncong [Foto/wikipedia.org]

tirto.id - Pernyataan tersebut bak tinju yang dihantamkan ke ulu hati: Gesang bukanlah pengarang "Bengawan Solo". Sutowidjaja, seorang veteran tentara, menuliskannya dalam sepucuk surat pembaca kepada redaksi majalah TEMPO, akhir November 1988.

Pada TEMPO edisi 17 Desember 1988, terbit beritanya. Sutowidjaja menegaskan, pengarang "Bengawan Solo" adalah seseorang bernama Soejoko, yang telah meninggal dunia pada tahun yang sama dengan tahun kelahiran lagu tersebut, yaitu 1940.

Kabarnya isu soal ini sudah muncul sejak 1950-an. Sejumlah pihak di Solo, Jawa Tengah, telah mendengar desas-desusnya. Kenapa saat itu tak dibikin heboh? Nah, di sinilah tuduhan berikut dan tak kalah menggegerkan meluncur.

Sutowidjaja menyatakan,“Siapa berani menghadapi Gesang? Ketika orang mau mempertanyakannya, waktu itu Gesang sudah masuk Lekra, Lembaga Kebudayaan PKI. Partai Komunis itu sangat berkuasa di Solo.”

Solo menjadi locus utama kisah ini. Gesang lahir di sana pada 1 Oktober 1917, sebagai anak kelima pasangan Martodihardjo dan Sumidah. Mereka tinggal di kawasan Singosaren, tak jauh dari pusat kota.

Ketika lahir, nama yang disematkan adalah Soetadi. Nama tersebut kemudian diubah lantaran sang bocah kerap demam tinggi. Ayahnya, seorang juragan batik, menyangka nama Soetadi terlalu “berat.” Maka, dipilihlah nama baru: Gesang. Artinya: hidup. Sejak itu, konon, sang bocah tak lagi sakit-sakitan.

Ia tumbuh menjadi bocah lelaki yang penakut. Bahkan jeri bermain sepak bola. “Melihatnya enak, memainkannya….tunggu dulu. Aku tak mau kakiku keseleo dan lecet, atau mungkin terpatah-patah,” kata Gesang dalam Gesang…Mengalir Meluap Sampai Jauh (2011) karya IzHarry Agusjaya Moenzier.

Tapi ia tak ciut nyali jika bermain bulutangkis. Organisasi remaja Singosaren, MARKO, membuat klub bulutangkis dan menjadi ajang Gesang menumpahkan keringat masa mudanya. Meski bukan jago pemuncak, ia terbilang mahir urusan tepak-tepok bulu angsa tersebut.

Hal yang lebih mahir dilakukannya adalah melamun. Termasuk melamun di tepi "Bengawan Solo". Biasanya sambil melamun, ia rengeng-rengeng alias bernyanyi lirih tanpa mengeluarkan kata-kata yang jelas.

Pada 1935, MARKO mengembangkan sayap dengan membentuk orkes keroncong. Gesang tak punya kemampuan memainkan alat musik yang mumpuni.

“Aku mencoba menjadi pemain gitar, tetapi kepandaianku terbatas. Hanya kunci A, C, D, dan G,” kenang Gesang.

Di Langen Hardja Semua Bermula

Belakangan teman-teman di MARKO minta Gesang menyanyi. Mereka tahu Gesang suka rengeng-rengeng. Para remaja itu rajin berlatih. Perlahan, nama mereka tersiar dan mulai diundang mengisi acara hajatan warga. Puncaknya adalah mereka diundang mengisi siaran di Solo Radio Vereeniging (SRV).

Pada siaran radio itu juga, Gesang menyanyikan lagu ciptaan pertama berjudul "Si Piatu". Inspirasi lagu tersebut berasal dari cerita seorang gadis kecil yang tak lagi memiliki ayah dan ibu. Ia terpaksa bekerja pada keluarga kaya untuk menyambung hidup.

“Lagu ciptaanku yang pertama itu berasal dari rengeng-rengeng dan coba-coba. Dengan sedikit berimajinasi, aku tuliskan apa yang kulihat…” ujar Gesang.

Waktu berjalan, ternyata orkes keroncong MARKO berusia singkat. Gesang pun bergabung dengan orkes keroncong Kembang Kacang dan di sana Dewi Fortuna juga mendampingi. Undangan demi undangan mampir, minimal dua kali sebulan. Pada masa itu, belum sempurna hiburan wayang jika tidak disertai pentas keroncong. Orkes Kembang Kacang laris ditanggap, uang mengalir.

Nah, di Kembang Kacang inilah Gesang bertemu Soejoko yang menjadi pimpinan orkes. Soejoko juga membentuk orkes Monte Carlo, yang sering diundang menghibur para serdadu Hindia Belanda.

Musik dan batik jadi urusan Gesang sehari-hari – ia punya toko batik di Tirtonadi, pemberian ayahnya. Kalau lagi bosan dengan dua hal itu, ia menyambangi tepian "Bengawan Solo". Tempat favoritnya di sana adalah Langen Hardja, bekas lokasi tetirah para bangsawan yang kemudian menjadi arena wisata umum.

Proses penciptaan "Bengawan Solo" dimulai. Kepada TEMPO, ia menyatakan “Lagu itu sayalah yang menciptakan, bukan Soejoko. Saya mengerjakannya selama dua bulan,” kata Gesang.

Selama dua bulan ia bolak-balik Langen Hardja. Dengan seruling dan gitar, Gesang rengeng-rengeng sambil menulis liriknya.

Pada satu titik, Gesang yang saat itu sudah bergabung dengan Sinar Bulan merasa masih ada yang kurang. Ia menemui Syamsuri, pimpinan orkes Sinar Bulan.

“Iramanya sudah ada?” kata Syamsuri saat disodorkan kertas yang memuat lirik.

Gesang mengangguk dan menyanyikannya. Syamsuri menyimak dan kemudian berujar, “Coba aku tuliskan notasinya.”

Pada Desember 1940, di sebuah pesta perkawinan, untuk pertama kali "Bengawan Solo" dinyanyikan untuk orang banyak. Ternyata banyak yang suka. Lalu undangan dari SRV pun datang. Popularitasnya mengalir deras tak terbendung.

Gesang pun terus berkarier sebagai penyanyi keroncong, dengan berpindah-pindah kelompok musik. Juga menciptakan sejumlah lagu lain meski terbilang bukan komponis yang produktif. Salah dua yang terkenal adalah "Jembatan Merah" dan "Tirtonadi".

Infografik Buaya Keroncong

Infografik Buaya Keroncong

Mengunjungi Tiongkok dan Korea Utara

Ketika karier musik Gesang berkilau, berbeda jauh kehidupan rumah tangganya. Pernikahan dengan Walinah berakhir pada 1963. Bersama sejak 1941, mereka tak dikarunia buah hati.

Tak lama setelah perceraian itu, Gesang diundang ikut dalam misi kesenian ke Republik Rakyat Tiongkok dan Korea Utara pada 1963.

“Misi kesenian ke luar negeri? Oh, aku belum pernah ke luar negeri. Menyeberang Pulau Jawa saja tidak, konon pula ke Daratan Cina. Ada apa di sana?” katanya seperti dicatat IzHarry. Dalam buku ini, Gesang mengatakan, undangan tersebut dibiayai pemerintah Tiongkok sepenuhnya.

Tugas Gesang hanya menyanyikan dua lagu, yaitu "Sapu Tangan" dan "Bengawan Solo". Tapi tak hanya sekali tampil karena mereka mengunjungi beberapa kota di Tiongkok dan Korea Utara.

“…aku tampil kembali dengan "Bengawan Solo".Penonton terbuai dan ikut bergumam mengikuti irama, tanpa sepatah kata pun yang terucap. Meski sudah menerima informasi bahwa lagu itu cukup populer di Daratan Cina, tetap saja aku terperanjat, tak menyangka sedemikian besar sambutannya,” lanjut Gesang mengenai performanya di Kanton.

Bukan hanya di Tiongkok. Di sejumlah negara, "Bengawan Solo" juga termasyhur. Pada 2014, Kepala Bagian Tata Usaha dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, saat itu, Agung Damar Sasongko mengatakan pemerintah Jepang membayar royalti "Bengawan Solo" sebesar Rp80 juta sampai Rp100 juta per tahun.

Terkait Jepang, jauh sebelumnya, "Bengawan Solo" bahkan muncul dalam karya sineas legendaris, Akira Kurosawa, Nora Inu (1949).

Soal masuk dalam film, setelah diterjemahkan menjadi “By the River of Love”, "Bengawan Solo" juga menghiasi In the Mood for Love (2000) karya sutradara kondang Wong Kar-wai.

Gesang dan "Bengawan Solo" memang pada akhirnya tak perpisahkan. Perihal Sutowidjaja, tudingannya tidak bisa dibuktikan lebih lanjut, meredup, bahkan tak terdengar lagi saat Gesang wafat pada 20 Mei 2010, tepat hari ini 12 tahun lalu. Kepada TEMPO, Slamet Wignyosuharjo, pemain bas dan biola di orkes Kembang Kacang dan Monte Carlo, mengaku dirinya dan Sunaryo yang membuatkan notasi. Bukan Syamsuri seperti dikisahkan Gesang di atas.

Satu hal, Slamet menegaskan: Gesang yang menciptakan "Bengawan Solo". Soejoko tak pernah menulis lagu dan sudah wafat ketika "Bengawan Solo" belum diperdengarkan ke publik.

Bagaimana soal Lekra?

“Soal politik saya ini nol. Saya bukan anggota Lekra dan bukan anggota kelompok politik mana pun ketika itu. Saya ini kalau diundang main dan nyanyi oleh siapa saja, ya, bersedia. Diundang Lekra mau; diundang LKN ya tidak menolak. Diminta Masyumi ya sama saja,” ujar Gesang kepada TEMPO. []

Baca juga artikel terkait MILD REPORT atau tulisan lainnya dari Yus Ariyanto

tirto.id - Mild report
Kontributor: Yus Ariyanto
Penulis: Yus Ariyanto
Editor: Nuran Wibisono