tirto.id - Setelah diricuhkan kisruh Freeport, situasi di Papua kini kembali memanas. Kali ini perseteruan terjadi antara masyarakat tanah ulayat Suku Wate dengan dua perusahaan: PT. Tunas Anugerah Papua (TAP) dan PT. Kristalin Eka Lestari (KEL).
Konflik itu terjadi lantaran intimidasi yang dilakukan kedua perusahaan tersebut kepada masyarakat adat setempat. Tak mau berpangku tangan, Dewan Adat Papua wilayah Meepago kemudian mengadukan kejadian ini ke lembaga swadaya masyarakat Imparsial. Mereka mengeluhkan tentang penyerobotan lahan di sekitar Kali Musairo, Distrik Makimi, Kabupaten Nabire, Papua.
"Kami mengeluhkan tanah ulayat adat Papua dikuasai PT. TAP dan KEL. Padahal kedua perusahaan tersebut adalah perusahaan tambang ilegal," ujar Jhon Gobai, perwakilan Dewan Adat dalam diskusi ' Panglima TNI Segera Hentikan Keterlibatan TNI dalam Konflik Lahan di Kampung Nifasi, Kabupaten Nabire Papua dan Tindak Oknum Pelaku Kekerasan', Minggu, (5/03/2017) di Kantor Imparsial.
Lebih lanjut, Jhon mengaku prihatin ketika masalah tersebut sampai melibatkan pihak TNI. Para TNI yang datang di tanah adat tersebut, kuat dugaan Jhon, telah direktrut oleh kedua perusahaan tersebut untuk berjaga-jaga di area pertambangan. Bahkan, diakui Jhon tindakan oknum TNI itu cukup meresahkan masyarakat adat dan kerap kali melakukan intimidasi kepada warga sekitar.
"Kami semua merasa resah. Malah ada pos penjaga milik warga untuk mengambil haknya. Sekarang diambil alih oknum TNI itu," jelasnya.
Jhon Gobai sendiri mempertanyakan: mengapa tinggal di wilayah nenek moyang sendiri harus terintimidasi. Apalagi menurut Jhon, perebutan tanah ulayat tak lain karena faktor sumber daya alam yang dimiliki oleh negara, bukan perusahaan maupun orang per orang.
Senada dengan Jhon, salah seorang pemilik hak ulayat Otis Monei menyayangkan kondisi itu. Oknum TNI tersebut kini justru berpihak kepada pemburu rente, seperti kedua perusahaan tersebut.
" Kami memandang bahwa oknum TNI di wilayah hak ulayat masyarakat adat bertentangan dengan Declaration on the Rights of Indigenous Peoples atau Deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat Adat," jelas Otis Monei.
Otis geram atas tindakan aparat yang melakukan kekerasan kepada rakyat Papua. Otis juga mengimbau agar Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo untuk segera memerintahkan Panglima Kodam Cendrawasih menarik anggota TNI. Terutama, Otis berharap agar secepatnya menghentikan keterlibatan sengketa lahan.
"Kami hanya meminta menarik keterlibatan oknum anggota TNI dalam sengketa lahan tambang. Menarik mereka keluar kampung kami dan memproses sanksi etik maupun hukum mereka yang melakukan kekerasan kepada kami," tegas Otis.
Selain itu, Otis menuturkan, konflik sektoral ini tidak hanya melibatkan oknum TNI. Adanya keterlibatan oknum polisi juga dianggap memperkeruh suasana. Padahal, jika mengacu pada Undang-Undang Agraria, peraturan tersebut lebih mengutamakan masyarakat adat.
"Padahal menurut kedudukan PMNA/Ka. BPN Nomor 5 Tahun 1999 antara lain Pasal 2 ayat 1, mengatur tentang pelaksanaan hak ulayat sepanjang pada kenyataan masih dilakukan oleh masyarakat hukum adat setempat," jelas Otis.
Kejadian perebutan tanah adat terjadi sekitar 1980-an. Sejak saat itu kerap kali masalah meletup di sekitar Kali Musairo, Distrik Makimi, Kabupaten Nabire. Penyebab masalah ini tak lain karena adanya perang dua kubu, yaitu masyarakat adat dan dua perusahaan ini baik PT. KEL dan PT. TAP. Dua perusahaan itu kemudian terus melakukan kegiatan pertambangan illegal.
Padahal, menurut penduduk sekitar, penggunaan tanah adat sebagai area pertambangan diyakini tanpa permisi. Kemarahan yang mendarah daging oleh warga sekitar itu akhirnya meluap pada September 2016 lalu. Warga sekitar Nabire masih menaikan bendera peperangan, tanpa peduli akan ancaman oknum TNI dan oknum Polri yang terus berupaya melakukan intervensi.
Penulis: Dimeitry Marilyn
Editor: Yuliana Ratnasari