tirto.id - Kepala sekolah SD Negeri Lowokwaru 3, Malang, Jawa Timur kehilangan jabatan gara-gara ulahnya yang kontroversial. Ia menyetrum empat orang siswanya untuk terapi guna mengetahui tingkat konsentrasi para siswa. Tujuannya memang tidak untuk mencederai, tapi dikhawatirkan mengganggu kejiwaan anak didik.
“Kami tak ingin anak-anak itu mengalami trauma psikis akibat setrum. Oleh karena itu, akan ada pendampingan terus hingga beban psikisnya pulih,” kata Wakil Wali Kota Malang Sutiaji dikutip dari Antara.
Kekhawatiran semacam ini tentu sangatlah beralasan. Listrik bukan sarana untuk bermain-main, kematian akibat tersetrum listrik sudah hal yang umum di masyarakat. Di beberapa negara, Listrik bahkan secara sengaja dimanfaatkan untuk tujuan mengakhiri nyawa.
Sejarah mencatat listrik pernah digunakan sebagai alat hukuman mati dengan cara mengikatkan terpidana ke kursi kemudian mengaliri kepalanya dengan listrik. Ide penggunaannya tercetus dari Albert Southwick, seorang dokter gigi di Amerika Serikat pada 1881 yang melihat seorang laki-laki mati ketika tidak sengaja menyentuh generator listrik.
Kursi listrik pertama diproduksi oleh Harold P. Brown dan Arthur Kennelly. Pada 1888, Badan Legislatif New York mengeluarkan sebuah undang-undang untuk menetapkan arus listrik AC sebagai metode eksekusi hukuman resmi negara. Kemudian Ohio mengadopsinya pada 1897, disusul Massachusetts pada 1900, New Jersey pada 1906, dan Virginia pada 1908.
Namun, penggunaan listrik sebagai alat eksekusi mati penuh dengan perdebatan. Sebab, listrik yang dialirkan tak selalu sukses membunuh terpidana mati dengan cepat. Cara ini dianggap tidak manusiawi, akhirnya banyak negara bagian di AS menghapusnya dan menggantinya dengan hukuman suntik mati. Eksekusi mati dengan listrik ini terakhir diterapkan di Virginia pada Januari 2013.
Ini membuktikan listrik dengan tingkat tertentu tak 100 persen mematikan, sebagian orang memanfaatkannya untuk terapi dan dipakai di bidang kesehatan, di sisi lain bisa mencederai tubuh.
Listrik yang Mencederai dan Medis
Raymond M. Fish dan rekannya dalam jurnal yang berjudul Conduction of Electrical Current to and Through the Human Body: A Review di US National Library of Medicine National Institutes of Health Search pada 2009 menerangkan bagaimana listrik dapat melewati tubuh manusia dan menyebabkan cedera. Kejutan listrik dapat didefinisikan sebagai respons tiba-tiba terhadap aliran listrik yang masuk melalui bagian tubuh seseorang hingga membuat cedera. Cedera listrik dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni cedera primer dan cedera sekunder.
Cedera primer menyebabkan kerusakan jaringan yang diakibatkan langsung oleh tegangan listrik. Cedera sekunder seperti jatuh, pernapasan terganggu, hingga serangan jantung.
Namun, manusia memiliki resistensi untuk melindungi tubuh dari listrik. Hanya dalam batas tertentu saja. Ini karena sebanyak 99% resistor pada tubuh manusia berada dalam kulit. Lapisan kulit luar paling banyak berfungsi sebagai resistor karena mengandung lapisan tebal dari sel-sel kulit mati di startum korneum. Resistensi pada lapisan kulit luar akan rusak ketika mendapat tegangan listrik sebesar 500 volt lebih. Kondisi ini kemudian menyebabkan daya tahan tubuh terhadap arus listrik melemah. Sehingga tegangan listrik yang masuk akan mengalami peningkatan jumlah arus.
Arus listrik yang masuk setelah resisten pada bagian luar kulit telah rusak, maka setelahnya arus listrik menyebabkan cedera jaringan pada otot, syaraf, dan struktur organ tubuh lainnya. Inilah penyebab dari banyaknya kasus jaringan tubuh rusak akibat tersengat listrik, padahal korbannya hanya mengalami sedikit luka bakar pada kulit.
Untuk dapat menimbulkan kerusakan jaringan dan cedera tubuh, listrik yang mengaliri tubuh harus bertemu dua titik kontak yang berada pada tegangan berbeda. Biasanya titik kontak yang digunakan adalah tubuh seseorang dan tanah yang dipijaknya.
Kontak tegangan tinggi listrik – lebih dari 600 volt – terkadang menjadi tidak berefek ketika, misalnya seekor burung bertengger di atas kabel listrik tegangan tinggi. Hal ini disebabkan karena burung tersebut tidak cukup dekat ke tanah atau benda lain untuk melengkapi rangkaian titik kontak aliran listrik.
Listrik memang tak sepenuhnya mematikan tergantung seberapa besar tegangan. Manusia mencoba mengenal listrik untuk kepentingan medis. Beberapa terapi menggunakan listrik untuk meredakan kondisi sakit pasien. Contohnya penggunaan alat kejut listrik pada penderita jantung, maupun terapi listrik pada penderita skizofrenia.
Selain alat pacu jantung yang tersedia di rumah sakit yang mengandung listrik, sejak 1995, American Heart Association (AHA) telah merekomendasikan pengembangan program penyelamat yaitu alat pacu jantung (AED) portabel bagi masyarakat umum. Alat ini terbukti mampu meningkatkan ketahanan hidup dari penderita jantung, terutama dalam keadaan darurat di luar rumah sakit.
Studi juga menunjukkan, penyelamatan dengan alat ini di ruang publik mampu meningkatkan ketahanan hidup hingga 41% sampai 74%. Defibrilasi, atau mengalirkan listrik ke tubuh pasien tak bisa dilakukan sembarangan. Untuk anak-anak, energi yang dibutuhkan untuk alat pacu jantung maksimum sebesar 9 joule/kg.
Listrik persis seperti arus listrik antara kutub positif dan kutub negatif yang mempunyai dua sisi. Meski bisa bermanfaat untuk kepentingan positif seperti medis, listrik juga hal yang mematikan dan tetap harus diwaspadai.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Suhendra