Menuju konten utama
Hikayat Ramadan

Senandung Cinta Tanah Air, dari Rasulullah hingga Para Ulama

Perasaan cinta kepada kampung halaman nyaris tak bisa dihilangkan dari diri setiap insan. Maka tak heran jika Rasulullah dan para ulama juga turut merasakannya.

Senandung Cinta Tanah Air, dari Rasulullah hingga Para Ulama
Ilustrasi Hikayat Transmisi nasionalisme ulama. tirto.id/Quita

tirto.id - Seorang sahabat Rasulullah bernama Ashil Al-Ghifari suatu hari baru pulang dari Makkah. Setelah melakukan perjalanan jauh itu ia tidak segera pulang ke rumahnya di Madinah, ia justru terlebih dahulu sowan kepada Rasulullah. Sampai di rumah Rasul, ia disambut oleh Sayyidah Asiyah istri Rasulullah.

“Ceritakan kepadaku wahai Ashil, bagaimana kondisi Makkah saat ini?” tanya Aisyah.

“Aku menyaksikan betapa Makkah sekarang sudah sangat subur serta bening aliran sungainya,” jawab Ashil.

Rasulullah yang masih berada di dalam kamar segera menimpali percakapan mereka.

“Coba ulangi, Ashil. Bagaimana kondisi Makkah terkini?”

“Demi Allah ya Rasulullah, Makkah tumbuh subur dengan tanaman-tanamannya, serta tampak hijau dan sejuk dengan aliran sungainya”

Mendengar jawaban itu, Rasulullah menatap jauh ke luar rumah. Sebuah tatapan kerinduan akan kampung halaman.

“Cukup, jangan membuatku tambah bersedih,” ucap Rasul.

Cerita ini ditulis oleh Abil Wālid Muhammad bin Abdullah Al-Arzāqi dalam Ahbāru Makkah wa mā Jā’a fihā minal Ātsār. Ia hendak menjelaskan betapa Rasulullah dirundung rasa rindu yang teramat sangat kepada tanah kelahirannya.

Peristiwa ini kelak menjadi salah satu argumen para ulama betapa kecintaan terhadap tanah air dan tempat asal bukan saja perlu, bahkan wajib.

Nasionalisme Ulama-ulama Nusantara

Rasa cinta terhadap tanah air juga dipegang mati-matian oleh Syaikh Yasin bin Isa Al-Fadani, ulama asal Minangkabau. Ulama karismatik bergelar Musnidud Dunya (Panyambung Titik Keilmuan Dunia) ini sekali waktu geram, dan hampir bersitegang dengan seorang guru di Madrasah Shaulatiyyah di Makkah, tempat ia belajar.

Pasalnya adalah kelakuan seorang guru di madrasah itu yang merobek sebuah surat kabar berbahasa Indonesia yang sedang dibaca oleh para siswa Madrasah asal Nusantara. Tragedi itu lengkap menyayat hati Syaikh Yasin karena komentar pedas yang keluar dari bibir sang Guru.

“Bangsa yang terbelakang dan memakai bahasa seperti itu (bahasa Indonesia) tidak akan pernah bisa merdeka,” ucapnya.

Syaikh Yasin muntab. Protesnya diwujudkan dengan keluar dari madsarah itu, dan selanjutnya melibatkan diri dalam pendirian Madrasah Darul Ulum Ad-Diniyyah pada tahun 1934. Sikap tegas Syaikh Yasin yang mencintai kampung halaman dibuktikan dengan cara melawan siapapun yang menghina dan mendiskreditkan tanah kelahirannya.

Sikap yang diambil oleh Syaikh Yasin ini sejalan dengan pendapat Mustafa Ghalayain dalam bukunya yang bertajuk Idzatun Nāsyi’in. Kitab mungil yang kerap dijadikan bahan ngaji kilatan di pesantren ini salah satu topiknya yang berhulu ‘al-wathāniyyah’ tertulis dengan jelas:

“Nasionalisme atau kecintaan terhadap tanah air yang nyata adalah dengan mencintai untuk memperbaiki bangsa dan mengabdi kepadanya. Orang yang memiliki jiwa nasionalis siap mati demi kabangkitan bangsanya dan rela bersakit-sakit demi kesehatan masyarakatnya.

Infografik Hikayat Transmisi nasionalisme ulama

Infografik Hikayat Transmisi nasionalisme ulama. tirto.id/Quita

Di era selanjutnya, kisah tentang kecintaan terhadap tanah air yang digelorakan oleh para ulama Nusantara terus berlanjut. Salah satunya perlawanan terhadap penjajahan yang dilakukan oleh dua ulama karismatik, yakni K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H A. Wahab Hasbullah. Keduanya punya andil besar dalam menggelorakan semangat perlawanan terhadap kolonial Belanda.

Kiai Hasyim mengeluarkan fatwa jihad yang dijadikan rujukan utama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dalam memutuskan fatwa Resolusi Jihad 22 Oktober 1945. Melalui fatwa ini, semangat perlawanan anti panjajahan bergelegak pada pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.

Sementara Kiai Wahab menciptakan mars Syubbanul Wathan (Pemuda Cinta Tanah Air) yang mampu menyulut semangat anti penjajahan di bumi Nusantara. Mars itu sampai saat ini masih tetap berkumandang di hampir segenap pelosok dan penjuru tanah air.

Kedua Kiai ini merupakan dwitunggal pencetus jargon “hubbul wathān minal imān (cinta tanah air adalah bagian dari iman)". Saking populernya, banyak mubalig yang salah sangka dan menganggap jargon ini sebagai hadis.

Jauh setelah ulama-ulama itu mangkat, semangat cinta tanah air masih menggema di kalangan para ulama. Seorang Kiai asal Lirboyo, Kediri, menulis buku bertajuk ad Difā’ anil Wathān min Ahamiyyati Wājibāt ala Kulli Ahadin. Buku ini membahas tema tentang pentingnya membela negara dan kecintaan terhadap tanah air. Argumen-argumen bernas tentang pentingnya sikap mencintai tanah air dikemas dalam bahasa yang sangat jernih dan mengalir.

Kiai Said Aqil Siroj dalam Islam Sumber Inspirasi Budaya Nusantara (2015) sempat mengutip adagium bangsa Arab yang berbunyi “Man laisa lau ardlun laisa lahu tārikh wa man laisa lahu tārikh laisa lahu dzākirah” (Barangsiapa tak punya tanah air, ia tak punya sejarah. Dan barangsiapa tak punya sejarah, ia akan musnah dan dilupakan)."

Kecintaan Rasulullah dan para ulama terhadap tanah air dan kampung halaman, selain karena dorongan manusiawi, juga barangkali terilhami oleh doa Nabi Ibrahim.

Setelah berpindah-pindah dari Babilonia, Suriah, dan Palestina, Nabi Ibrahim akhirnya menetap di Makkah dan jatuh hati pada kota tempat Baitullah dibangun. Kepada Allah ia memanjatkan sebuah doa untuk kota tersebut:

“Rabbij’al hadzā baladan āminan warzuq ahlahā minats tsamarāt man āmana minhum billāhi wal yaumil ākhir (Ya Allah jadikanlah negeri ini menjelma menjadi negeri yang aman sentosa. Berilah rezeki dari buah-buahan kepada segenap penduduknya di antara mereka yang beriman kepada Allah dan hari Akhir)."

Baca juga artikel terkait SEJARAH ISLAM atau tulisan lainnya dari Fariz Alniezar

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Fariz Alniezar
Editor: Irfan Teguh