Menuju konten utama

Semua Salah Pajak

Pemerintah melakukan pemotongan anggaran dalam APBN 2016. Langkah ini merupakan antisipasi dari penerimaan perpajakan yang diperkirakan tidak mencapai target. Bolong penerimaan diperkirakan lebih dari Rp200 triliun. Bagaimana bisa?

Semua Salah Pajak
Presiden Joko Widodo (kedua kiri) saat sosialisasi pengampunan pajak (amnesti pajak), di JI-Expo Kemayoran, Jakarta. [antara foto/puspa perwitasari/ama/16]

tirto.id - Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBN) 2016 harus dirombak habis-habisan. Sejumlah kementerian dan lembaga harus memotong anggarannya. Ini dikarenakan penerimaan perpajakan yang ditargetkan Rp1.546,7 triliun diperkirakan tidak tercapai. Padahal di awal tahun, pemerintah sedemikian yakin target setinggi itu bisa tercapai dengan beragam upaya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, kekurangan atau "shortfall" pajak diperkirakan mencapai Rp219 triliun hingga akhir tahun. Banyak faktor yang menyebabkan kurangnya setoran pajak, antara lain adanya perlambatan ekonomi, turunnya harga komoditas, dan lesunya kinerja ekspor impor.

Sidang kabinet pada 3 Agustus 2016 memutuskan untuk memangkas anggaran belanja Kementerian/Lembaga (K/L) sebesar Rp65 triliun dan belanja transfer ke daerah sebesar Rp68,8 triliun karena potensi tidak tercapainya target pajak 2016 itu.

"Yang salah pajak. Pajak tidak tumbuh sesuai dengan harapan. Penerimaan pajak itu jauh daripada target, maka risikonya pengeluaran juga harus kembali seperti realisasi tahun lalu," ujar Wakil Presiden Jusuf Kalla, seperti dikutip dari Antara, Jumat (5/8/2016).

Sri Mulyani yang belum genap sebulan menjadi menteri keuangan langsung bergerak cepat merombak APBN sehingga lebih ramping. Tujuannya untuk membuat APBN 2016 lebih realistis sehingga memunculkan keyakinan terhadap pemerintah. Presiden Joko Widodo yang di awal tahun percaya diri terhadap setoran pajak akhirnya berhitung ulang dan bersikap realistis.

“Kalau kita hitung-hitung lagi, kita hitung-hitung lagi, kita perkirakan tidak mungkin, ya kita harus realistis dong. Kita tidak usah harus terlalu sangat optimis. Dengan kondisi perekonomian global seperti ini yang bagus memang realistis,” kata Presiden Jokowi.

"Merevisi APBN perlu untuk menciptakan 'confidence', agar tidak menjadi instrumen yang memberatkan ekonomi, tapi mendorong ekonomi," kata Sri Mulyani, dalam kesempatan terpisah.

Pada 12 Mei 2016, Presiden Jokowi menandatangani Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2016 tentang Langkah-langkah Penghematan dan Pemotongan Belanja Kementerian/Lembaga (K/L) Dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2016.

Presiden menginstruksikan masing-masing K/L melakukan identifikasi secara mandiri terhadap program/kegiatan di dalam Rencana Kerja dan Anggaran K/L Tahun Anggaran 2016 yang akan dihemat dan memastikan anggarannya tidak dicairkan melalui blokir mandiri (self blocking).

Dalam Inpres itu ditegaskan, penghematan dan pemotongan belanja Kementerian/Lembaga dilakukan utamanya terhadap belanja perjalanan dinas dan paket meeting, langganan daya dan jasa, honorarium tim/kegiatan, biaya rapat, iklan, dan operasional perkantoran lainnya, serta pembangunan gedung/kantor, pengadaan kendaraan dinas/operasional, sisa dana lelang atau swakelola, anggaran dari kegiatan yang belum terikat, dan kegiatan-kegiatan yang tidak mendesak atau dapat dilanjutkan (carry over) ke tahun anggaran berikutnya.

Penghematan dan pemotongan belanja K/L ini, menurut Inpres tersebut, tidak dilakukan terhadap anggaran yang bersumber dari pinjaman dan hibah. Juga anggaran yang bersumber dari Penerimaan Negara Bukan Pajak Badan Layanan Umum (PNBK-BLU).

Rincian dari pemotongan anggaran itu antara lain, pemotongan anggaran K/L, total mencapai Rp50,016 triliun yang terdiri dari Rp20,951 triliun merupakan efisiensi belanja operasional, dan Rp29,064 triliun merupakan efisiensi belanja lain. Selain itu dalam pemotongan itu juga terdapat Rp10,908 triliun yang merupakan anggaran pendidikan, dan Rp1,434 triliun yang sebelumnya masuk anggaran kesehatan.

Adapun K/L yang mendapat pemotongan anggaran terbesar adalah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Dari total anggaran sebesar Rp104,080 triliun, anggaran Kementerian PUPR dipotong Rp8,495 triliun.

"Kita akan melakukan berdasarkan kriteria, yang tidak mengurangi kemampuan APBN untuk mendorong ekonomi. Termasuk belanja tidak prioritas yang tidak mengurangi daya dorong serta tidak mengurangi kemiskinan dan kesenjangan," ujar Sri Mulyani.

Kendati demikian, Wapres Jusuf Kalla mengakui bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia akan terpengaruh akibat pemotongan anggaran ini. Dalam APBN 2016, pertumbuhan ekonomi ditetapkan 5,3 persen. Target itu lebih tinggi dari realisasi APBN-P 2015 yang sebesar 4,73 persen. APBN 2015 sebelumnya mematok target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,7 persen.

"Tentu setiap penurunan anggaran mempunyai efek kepada pertumbuhan secara keseluruhan nanti. Terkecuali, kalau investasi swasta dan investasi luar (negeri) itu banyak yang masuk. Kita bersyukur karena masih bisa mencapai lima persen, lumayan lah," ujarnya.

Meski akan menggerus pertumbuhan ekonomi, tetapi penyesuaian postur APBN dianggap bisa memberikan sentimen positif pada pasar keuangan. Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo meyakini pemotongan belanja negara pada APBN-P 2016 sebesar Rp133,8 triliun dapat mengurangi tekanan kepada pemerintah untuk mengejar target penerimaan perpajakan. Dengan begitu, pemerintah bisa meminimalkan kebutuhan utang untuk menutupi kekurangan penerimaan dan menambal defisit anggaran.

"Namun, semoga anggaran yang dipotong bukan yang strategis dan diharapkan tetap dapat membantu tumbuhnya perekonomian," ujarnya.

Target Pajak Langganan Meleset

Pajak memang merupakan salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia. Segala upaya dikerahkan agar penerimaan perpajakan terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2015, untuk pertama kalinya penerimaan perpajakan Indonesia bisa menembus angka Rp1.000 triliun.

“(Pencapaian) itu rekor,” kata Bambang Brodjonegoro ketika menjabat sebagai menteri keuangan pada 28 Desember 2015 lalu.

Angka Rp1.000 triliun memang terkesan fantastis. Namun, jika dilihat dari persentase, pencapaian pajak sangat rendah karena hanya 81,5 persen dari target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan tahun 2015. Realisasi penerimaan perpajakan (yang menggabungkan pajak dan bea cukai) dalam APBN-P 2015 kali ini juga terendah dalam 10 tahun terakhir.

Banyak faktor yang dianggap sebagai penyebab rendahnya realisasi penerimaan pajak, mulai dari target yang terlalu tinggi, kurangnya aparat, hingga lemahnya aturan pendukung. Selain itu, ada faktor ekonomi global yang membuat beberapa pemasukan pajak angkanya menurun drastis.

Target pajak tidak tercapai sepertinya menjadi hal yang biasa bagi pemerintah Indonesia. Selama kurun waktu 11 tahun, hanya dua kali target penerimaan pajak tercapai yakni pada 2004 dan 2008. Selebihnya, target pajak tidak tercapai dan puncaknya terjadi pada 2015 ketika capaian hanya 83 persen.

Pada 2015, pemerintah mematok penerimaan Rp1.294 triliun atau 29 persen dari realisasi 2014. Namun, realisasi penerimaan pajak 2015 hanya Rp1.055 triliun, atau 81,5 persen dari target. Untuk total penerimaan perpajakan yang mencakup pajak, bea dan cukai dan penerimaan lainnya, totalnya Rp1.235,8 triliun, setara 83 persen dari target dalam APBN-P 2015. Angka ini meleset jauh dari kelaziman realisasi penerimaan perpajakan yang umumnya di atas 90 persen.

Menggantungkan Asa ke Amnesti Pajak

Mencapai target pajak yang sedemikian besar sungguh tidak mudah. Selain melakukan program ekstensifikasi dan intensifikasi pajak, pemerintah punya program unggulan yakni dengan tax amnesty atau pengampunan pajak.

Secara teori, arti tax amnesty adalah penghapusan pajak bagi Wajib Pajak (WP) yang menyimpan dananya di luar negeri dan tidak memenuhi kewajibannya dalam membayar pajak lewat imbalan menyetor pajak dengan tarif yang lebih rendah. Presiden Jokowi menegaskan, pemerintah akan "all out" dalam menyukseskan pelaksanaan tax amnesty.

"Pemerintah akan 'all out' amnesti pajak. 'Tax amnesty' untuk kepentingan negara bukan untuk kepentingan lainnya," kata Jokowi saat sosialisasi Tax Amnesty di Bandung.

Presiden Jokowi bahkan berjanji akan mengawasi sendiri untuk menjamin dan kenyamanan bagi para wajib yang akan ikut dalam kebijakan ini.

"Saya punya 'task force' sendiri untuk menjamin kenyamanan bapak-ibu. Yang ikut 'tax amnesty', sudah saya bentuk (task force) dari BPKP, intelijen, untuk mengawasi apakah tidak dilayani dengan baik, mana yang main-main. Awas, karena saya ingin program in berhasil, jangan sampai gagal," kata Jokowi.

Pemerintah sepertinya tak mau gagal dalam program tax amnesty kali ini. Di masa lalu, pemerintah pernah gagal dalam menerapkan program ini. tax amnesty pada 1964 gagal karena ada pemberontakan, sedangkan 1984 karena masalah "booming" minyak serta sumber daya kayu.

Pada 2008, pemerintah juga pernah memberikan tax amnesty, tapi dalam bentuk yang berbeda melalui sunset policy. Melalui sunset policy, pemerintah memberikan penghapusan sanksi administrasi bagi WP yang kurang bayar maupun melakukan kesalahan dalam pengisian Surat Pemberitahuan (SPT) pajak. Kebijakan sunset policy jilid I pada 2008 mampu mendorong pertumbuhan penerimaan pajak hingga 30 persen.

Kesuksesan itu kemudian dilanjutkan dengan sunset policy jilid II pada 2015. Harapannya sunset policy II bisa berkontribusi Rp200-Rp220 triliun pada penerimaan perpajakan 2015. Sayangnya, penerimaan perpajakan pada 2015 mengecewakan, dan persentase pencapaiannya justru yang terendah sepanjang sejarah. Namun, pemerintah tampaknya tetap meyakini tax amnesty kali ini akan tetap mendorong penerimaan pajak.

"Sekarang ini momentumnya ada, baik dari dukungan politik serta momentum eksternal, yakni pada 2018 akan adanya keterbukaan informasi antar bank, antarnegara akan dibuka," ujar Presiden Jokowi.

Pemerintah menargetkan penerimaan uang tebusan dari program amnesti pajak sebesar Rp165 triliun. Hingga 8 Agustus 2016, Kementerian Keuangan mencatatkan 1.294 pengusaha yang memanfaatkan kebijakan ini, dengan total harta yang dideklarasikan sebesar Rp9,27 triliun. Meski dibayangi kekhawatiran, pemerintah tidak akan merevisi target dari program ini.

"Target dari 'tax amnesty' tidak kita revisi sampai ini, tentu dengan harapan bisa dicapai tingkat penerimaannya," kata Sri dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat.

Sri Mulyani mengatakan proyeksi penerimaan pajak tersebut tidak berubah untuk menghormati kesepakatan yang sudah terjalin antara pemerintah dengan DPR dalam pembahasan UU Pengampunan Pajak.

"Kami upayakan terus, tapi tentu tetap harus menjaga, kalau tidak tercapai bagaimana mengelola APBN sampai akhir tahun," katanya.

Mantan Direktur Bank Dunia ini memastikan program tax amnesty tidak hanya bermanfaat untuk menjaga penerimaan negara, tetapi juga menjadi penciptaan basis data baru yang bermanfaat bagi penerimaan pajak di masa mendatang.

"Kami berharap 'tax amnesty' akan tercapai bukan saja dari setoran, tapi yang penting basis pajak juga bisa diperluas karena itu adalah fondasi yang jauh berharga bagi kita," katanya.

Dengan basis pajak yang diperluas, diharapkan penerimaan perpajakan juga meningkat. Kalau sudah demikian, belanja negara tak perlu lagi dipangkas-pangkas di masa depan.

Baca juga artikel terkait PAJAK atau tulisan lainnya dari Nurul Qomariyah Pramisti

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Nurul Qomariyah Pramisti & Suhendra
Penulis: Nurul Qomariyah Pramisti
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti