tirto.id - Kebijakan Bank Indonesia (BI) menurunkan batasan pengajuan transaksi lindung nilai (swap hedging) dari 10 juta dolar AS menjadi 2 juta dolar AS. Relaksasi tersebut dimaksudkan untuk dapat menurunkan swap rate.
Swap rate merupakan kesepakatan antara dua pihak untuk melakukan pertukaran seri atau rangkaian pembayaran interest secara fixed dalam satu mata uang dengan seri atau rangkaian pembayaran interest secara floating dalam mata uang yang sama (atau sebaliknya).
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono berharap kebijakan moneter tersebut dapat menjadi cara efektif menarik devisa hasil ekspor (DHE) ke dalam negeri lebih banyak dan memperdalam pasar valuta asing (valas) domestik.
Hal ini juga dimaksudkan untuk meminimalkan risiko pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar dan meningkatkan kegiatan investasi di Indonesia.
"Dengan BI menurunkan swap rate-nya, mestinya lumayan efektif menarik DHE. Cuma kita akan evaluasi lagi. Kadang kan, perbandingan sedikit pun dengan diturunkan setinggi itu kan masih ada selisih dari sisi bisnis," ujar Susi di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Jakarta pada Selasa malam (28/8/2018).
Apabila dirasa kurang cukup efektif, maka pemerintah akan melengkapinya dengan kebijakan fiskal, yaitu dengan mengeluarkan larangan aktivitas ekspor bagi eksportir yang tidak melaporkan dan menaruh DHE di dalam negeri dalam jangka waktu tertentu.
"Dulu kan tahun 2011 itu kita untuk mendorong mereka [eksportir] memasukkan DHE kan kita memakai pendekatan kalau tidak comply dengan DHE bisa diblok ekspornya," ucapnya.
Ia menjelaskan bahwa pemerintah saat ini masih terus mengkaji kebijakan yang kemungkinan dapat menjadi instrumen menarik DHE, sehingga dapat menguatkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
"Penurunan nilai swap kemarin oleh BI kami belum evaluasi efektivitasnya. Kan BI yang punya datanya. Saya melihat jika belum terlalu efektif, bisa mengambil kebijakan seperti pada 2011. Itu kan bisa digunakan untuk pemenuhan ketentuan di instansi Bea Cukai. Bisa jadikan dasar untuk melayani atau tidak melayani ekspor," ujarnya.
Untuk menetapkan kebijakan pelarangan aktivitas ekspor tentu butuh payung hukum. Sayangnya, kebijakan tersebut terbentur dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, yang di dalamnya menganut sistem devisa bebas.
Butuh waktu lama untuk mengganti UU. "Saya enggak tahu akan merubah UU atau tidak, karena mengubah UU itu butuh proses dan waktu. Tapi itu UU tahun 1999 loh, jadi memang mestinya sih sudah diubah," ucapnya.
Pemerintah masih bisa menyiasati dengan mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu). Namun, dia mengatakan hal itu juga perlu beberapa pertimbangan, tidak bisa serta-merta.
"Pemerintah kan punya pertimbangan kalau untuk Perppu. Itu kan harus lihat kondisinya," ujarnya.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara pemerintah sangat memungkinkan untuk mengeluarkan Perppu dan ia mendesak hal itu dilakukan segera. Menurutnya, dikeluarkannya Perppu Lalu Lintas Devisa adalah sebagai langkah jitu jangka pendek untuk dapat menguatkan nilai tukar rupiah.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS saat ini sudah melemah di kisaran Rp14.600.
"Jurus jitu jangka. Pendek rupiah? Yang bikin rupiah terdepresiasi karena devisa hasil ekspor enggak semua masuk Indonesia. Kalau mau selesai, Presiden tanda tangan PERPPU lalu lintas devisa yang berisi mewajibkan eksportir taruh DHE di dalam negeri minimal 6 bulan," ujarnya.
Jika Perppu itu keluar, ia mengatakan bank-bank akan dibanjiri uang masuk dari eksportir. Sehingga, likuiditas perbankan juga naik.
"Bank akan dibanjiri likuiditas bank juga akan happy. Efek pada ekonomi juga makin kuat, karena devisa hasil ekspor yang hanya 15 persen nyantol ke rupiah bisa meningkat," ucapnya.
Pemerintah ia minta jangan takut untuk mengambil langkah strategis itu. "Apa takut investor lari mencari pasar lain? Itu ketakutan tidak mendasar. Saya kira pemerintah phobia berlebihan. Ada ketakutan karena 40 persen surat berharga negara kita dipegang asing. Makanya fokus ke asing," ujarnya.
Menurutnya, investor asing tidak akan serta-merta menilai pemerintah Indonesia terlalu otoriter yang dapat membahayakan investor asing dan akhirnya angkat kaki dari pasar modal atau pasar uang Indonesia. "Oke yang asing yang short term kabur, tapi berapa banyak devisa yang akan masuk ke Indonesia? Apalagi market terbesar itu di Indonesia, pertumbuhan ekonomi kita juga stabil 5 persen. Pada 2030 Indonesia ada bonus demografi juga," terangnya.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Maya Saputri