tirto.id - Belum dua bulan selepas meninggal dunia, Abdul Muis, sastrawan dan tokoh pergerakan kemerdekaan diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pertama yang langsung ditetapkan Presiden Sukarno. Tepat hari ini, 17 Juni 1959, 62 tahun silam, Abdul Muis tutup usia.
Di gelanggang politik, jasa Abdul Muis terhadap Indonesia adalah pegerakannya di Volksraad sebagai wakil Serikat Islam (SI). Volksraad adalah dewan rakyat di masa kolonial Belanda. Di dalamnya, Abdul Muis dan tokoh pegerakan nasional lainnya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia lewat perundingan politik.
Sementara di bidang bahasa dan kesusasteraan Indonesia, Abdul Muis tercatat sebagai sastrawan perintis pujangga baru. Salah satu novelnya, Salah Asuhan (1928) dianggap sebagai kanon sastra Indonesia dan salah satu karya terbaik dalam sejarah sastra modern Indonesia.
Karier Politik Abdul Muis di Serikat Islam & Indische Partij
Pada awal tahun 1900-an, organisasi politik terbesar di Hindia Belanda adalah Serikat Islam (SI) yang dimotori oleh H.O.S. Cokroaminoto. Banyak pemuda intelektual nasionalis yang bergabung dalam SI, termasuk Abdul Muis.
Di partai tersebut, tampaklah kecemerlangan Abdul Muis yang ditunjukkan dari ketajaman pena dan lidahnya. Selain pandai menulis, Abdul Muis pun lancar berpidato membakar semangat massa. Kemahirannya berpidato bahkan disamakan dengan pemimpin SI, H.O.S. Cokroaminoto.
Selain itu, Abdul Muis juga sering menulis di surat kabar De Express. Karena kelihaiannya dalam merangkai tulisan, Abdul Muis diangkat menjadi staf redaksi surat kabar tersebut.
Dalam buku Biografi Abdul Moeis (1980) yang ditulis Mirza Nur B., Abdul Muis memakai nama pena A.M. dalam setiap karangannya. Ketika orang membaca tulisan itu, orang sudah tahu bahwa A.M. adalah kependekan dari Abdul Muis.
Selain aktif di SI, Abdul Muis juga tercatat sebagai anggota Indische Partij yang digawangi oleh Douwes Dekker, dr. Tjipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat. Di masa itu, seseorang boleh merangkap menjadi anggota lebih dari satu partai.
Di Indische Partij, Abdul Muis duduk dalam Komite Bumiputra untuk melancarkan kritik terhadap kolonial Belanda dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Namun, karena alasan tertentu, akhirnya Abdul Muis keluar dari Indische Partij dan fokus di SI.
Di Serikat Islam, bersama Agus Salim, Abdul Muis dianggap sebagai pentolan SI Putih. Lawan sekubunya adalah SI Merah yang dimotori oleh orang-orang Serikat Islam cabang Semarang seperti Semaun, Darsono, dan lain sebagainya.
Bersamaan dengan keluarnya Muis dari Indische Partij, ia menyampaikan pendapat bahwa orang SI tidak boleh merangkap sebagai anggota partai politik lain. Gagasan Abdul Muis ini memperoleh dukungan dari Muhammadiyah yang didirikan oleh Ahmad Dahlan. Muhammadiyah dianggap bukan organisasi politik sehingga tidak terkena kritik dari Abdul Muis.
Namun, usulan Muis ditolak kubu SI Merah. Sebab, Semaun, Darsono, dan kelompoknya dekat dengan Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV), organisasi berhaluan marxis pertama di Indonesia. Perdebatan lantas mengkristal jadi polemik yang benar-benar membelah SI.
Perseteruan internal itu mencapai titik kulminasi di Kongres SI pada awal 1923. Orang-orang yang menolak larangan keanggotaan ganda mau tidak mau harus hengkang dari SI.
Dalam buku Nationalism and Revolution in Indonesia (1952), George McTurnan Kahin menuliskan bahwa Semaun dan kawan-kawannya di SI cabang Semarang kemudian mendeklarasikan Sarekat Rakyat, yang pada tahun 1924 bertransformasi menjadi Partai Komunis Indonesia atau PKI.
Karya Sastra Abdul Muis & Kisah Akhir Hayatnya
Pada tahun 1922, pemerintah Belanda meringkus Abdul Muis. Dia diadili dan menjalani hukuman pengasingan di Garut, Jawa Barat.
Di tengah masa buangan di Garut inilah Abdul Muis menghasilkan karya sastra monumental, Salah Asuhan yang diterbitkan pada 1928. Karya sastra lain yang ditulis Abdul Muis adalah Pertemuan Jodoh (1933), Surapati (1950), Robert Anak Surapati (1953), dan sebagainya.
Kelebihan karya sastra Abdul Muis adalah pemilihan tema yang dianggap mendobrak hubungan antara pribumi dan orang-orang barat.
"Problematika gender dan rasialis dalam Salah Asuhan adalah representasi metaforis dari pengalaman Abdul Muis sebagai intelektual nasionalis berpendidikan Barat dalam masyarakat kolonial," tulis Keith Foulcher dalam Bijdragen tot de Taal, Land, en Volkenkunde (2005).
Selepas masa kemerdekaan, Abdul Muis mencoba merantau ke Jakarta, tetapi ia tidak beruntung. Karena berpenghasilan rendah, Abdul Muis nyaris tidak bisa membiayai anak-anaknya.
Untuk menambah penghasilan, Abdul Muis menerjemahkan sejumlah karya sastra dunia seperti Don Kisot (1923) karya Miguel de Cervantes, Tom Sawyer Anak Amerika (1928) karya Mark Twain, Sebatang Kara (1922) karya Hector Malot, Tanah Airku (1950) karya C. Swaan Koopman, dan lain sebagainya.
Di masa-masa sulit itu, Abdul Muis ditawari pekerjaan di bidang pemerintahan. Namun, Abdul Muis menolak tawaran pekerjaan tersebut.
"Apa yang dapat saya lakukan? Saya sudah tua. Penyakit sudah sering menyerang. Kalau tawaran itu saya terima, mungkin saya tidak dapat bekerja dengan baik. Tentu Pemerintah akan kecewa. Saya tidak mau mengecewakan Pemerintah," kata Abdul Muis sebagaimana dikutip dari buku Biografi Abdul Moeis (1980).
Setelah lebih dari setengah hidupnya habis digunakan untuk perjuangan kemerdekaan, pada usia 76 tahun, Abdul Muis tutup usia karena penyakit darah tinggi pada 17 Juni 1959.
Tidak sampai dua bulan kemudian, Presiden Sukarno mengangkatnya sebagai Pahlawan Nasional Indonesia dan menganugerahi Abdul Muis dengan penghargaan Bintang Mahaputra kelas III.
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Addi M Idhom