tirto.id - Nama "STM" yang merupakan akronim dari Sekolah Teknik Menengah, belakangan sering muncul di pelbagai media massa dan kanal media sosial. Pasalnya, para pelajar STM banyak yang ikut aksi saat terjadi gelombang demonstrasi di depan gedung DPR Senayan. Dalam aksi tersebut, mereka bahkan beberapa kali terlibat bentok dengan aparat kepolisian.
Oleh sebagian masyarakat, STM sering dianggap sebagai singkatan dari Sekolah Teknik Mesin. Anggapan ini muncul barangkali karena lulusannya banyak yang mengerti soal mesin, padahal dalam STM ada beberapa jurusan teknik lain selain teknik mesin.
Kiwari, istilah STM sebetulnya sudah agak jarang disebut. Sebagian masyarakat hanya mengingatnya jika terjadi tawuran antarpelajar. Ya, murid STM memang hampir semuanya laki-laki sehingga STM tampil menjadi lembaga pendidikan yang maskulin.
Darmaningtyas mencatat dalam Pendidikan yang Memiskinkan (2004) bahwa Wardiman Djojonegoro selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan periode 1993-1998, mempunyai andil dalam perubahan nama-nama sekolah kejuruan, termasuk STM.
Dulu ada Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA), Sekolah Menengah Keterampilan Keluarga (SMKK), Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA), dan lain-lain. Sekolah-sekolah tersebut oleh Mendikbud lewat Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 036/0/1997, namanya diseragamkan menjadi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
Mantan Mendagri dan Perancang Masjid Istiqlal
Di Indonesia, sekolah teknik untuk level pendidikan menengah usianya sudah lebih dari seratus tahun. Di Surabaya, sejak 1853 sudah ada sekolah pertukangan yang disebut Ambachtsschool. Selain itu, seperti terdapat dalam buku Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke Jaman (1986:94), pada tahun 1856, Ambachtsschool juga telah ada di Batavia dan di Batutulis yang dikelola pihak swasta yakni perkumpulan Kristen.
Tak hanya perkumpulan Kristen, pada 1865 pun sebuah lojiTarekat Mason Bebas alias Freemason juga mendirikan Ambachtsschool di Batavia. Informasi ini disampaikan oleh Th. Stevens dalam Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia, 1764-1962 (2004:159).
Dalam Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke Jaman (1986:116) disebutkan bahwa bahasa pengantar di sekolah-sekolah pertukangan itu adalah bahasa Belanda. Para siswanya merupakan lulusan sekolah dasar berbahasa Belanda seperti Hollandsch Inlandsch School (HIS), Hollandsche Chineesche School (HCS), dan Schakelschool(Sekolah Peralihan) yang lama pendidikannya tiga tahun.
Jurusan di Ambachtsschool antara lain montir mobil, mesin, listrik, kayu, dan penata batu. Tujuan dari sekolah ini adalah mencetak werkbaas atau mandor.
Menurut Steven, saat pelajaran di Ambachtschool milik loji Tarekat Mason Bebas semakin luas, mereka menyerahkan sekolahnya kepada pemerintah kolonial. Sekolah itu kemudian dikenal dengan nama Koningen Wilhelmina School (KWS). Alumni KWS Batavia yang terkenal di antaranya adalah Friedrich Silaban sang perancang Masjid Istiqlal dan Teuku Muhammad Hasan yang pernah menjadi gubernur Sumatra pertama.
Setiadi Sapandi dalam buku Friedrich Silaban (2017) mencatat, saat sang perancang Masjid Istiqlal itu belajar di KWS Batavia, di Surabaya ada sekolah teknik bernama Koningen Emma School (KES) dan Koningen Princes Juliana School.
Selain di Batavia dan Surabaya, di Bandung juga ada Ambacht Leergangatau pelatihan pertukangan yang menerima siswa sekolah dasar yang kualitasnya di bawah HIS. Selain yang sekadar kursus, Bandung juga punya Gemeentelijke Ambachtsschool. Salah satu jebolannya adalah Jenderal Amirmachmud, mantan Menteri Dalam Negeri di era Orde Baru.
“Pendidikan saya hanya Sekolah Teknik (Ambachtschool) setelah menamatkan HIS. Ditambah berbagai kursus sehingga dapat disamakan hanya setingkat SMA sekarang. Menyadari kemampuan bahasa Inggris saya yang juga minim,” kata Amirmachmud seperti dikutip Julius Pour dalam Baramuli Menggugat Politik Zaman (2000: 270), saat ia akan diangkat menjadi Menteri Dalam Negeri oleh presiden daripada Soeharto.
Pemain Sepakbola dan Aktor Kawakan
Dari dunia sepakbola, lulusan Ambachtsschool yang terkenal adalah Tan Liong Houw alias Latief Harris Tanoto. Ia lulus dari Ambachtschool di Jakarta pada 1947 ketika Jakarta diduduki tentara Belanda.
Menurut Stevens dalam Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia, 1764-1962, sekolah kejuruan pada era kolonial bukan hanya Ambachtschool. Di Semarang misalnya, terdapat Naaisschool atau sekolah menjahit yang ditujukan untuk para gadis.
Kala itu, sekolah menengah yang menerima lulusan sekolah dasar berbahasa Belanda bukan hanya Ambachtsschool. Saat masuk STOVIA alias sekolah dokter Hindia, Radjiman Wediodiningrat, Soebroto alias Soetomo, dan Wahidin Sudirohusodo, berstatus sebagai lulusan sekolah dasar dari Europe Lager School (ELS). Begitu juga saat Raden Soelaiman Effendi Koesoemah Atmadja dan Besar Martokusumo masuk Rechtschool alias sekolah hakim di Batavia, status mereka adalah sebagai lulusan sekolah dasar.
Jadi, sebelum sekolah hukum dan sekolah dokter menjadi sekolah tinggi yang hanya menerima siswa lulusan sekolah menengah atas seperti Algemene Middelbare School(AMS), keduanya pernah pernah setara dengan sekolah kejuruan.
Setelah Indonesia merdeka, nama Ambachtsschool berganti menjadi Sekolah Teknik Pertama (STP) yang masa belajarnya hanya dua tahun. Sebelum 1950, seperti dicatat Suradi HP dan kawan-kawan dalam Sejarah Pemikiran Pendidikan dan Kebudayaan (1986), masa belajar di sekolah ini menjadi tiga tahun dan setara dengan SMP dengan nama Sekolah Teknik (ST).
Sekolah ini menerima lulusan dari Sekolah Rakjat. Jurusannya antara lain bangunan, cor, keramik, kulit, listrik, cetak, radio, tenun, dan sebagainya. Lulusan ST biasanya melanjutkan ke Sekolah Teknik Menengah (STM).
Pada umumnya, STM mempunyai beberapa jurusan seperti kimia, listrik, mesin, mesin kapal, radio, tambang, pemeliharaan mesin uap, pemeliharaan mobil, pemeliharaan alat listrik, instrumen pesawat terbang, rangka motor, pesawat terbang, dan ukiran.
Salah satu lulusan STM yang namanya populer adalah Robby Kaihana atau Robby Sugara (1950-2019). Ia terkenal bukan sebagai ahli teknik, melainkan sebagai aktor era 1970-an yang masuk dalam "The Big Five" karena bayarannya sangat mahal.
Dalam Apa Siapa Orang Film Indonesia, 1926-1978 yang disusun oleh Sinamtek Indonesia, Robby Sugara disebut sebagai lulusan STM Poncol jurusan Sipil Bangunan. Lulusan STM jurusan bangunan lainnya yang sempat hadir di dunia hiburan adalah Koesdjono Koeswojo--kakaknya Tonny Koeswojo--yang ikut melahirkan Koes Bersaudara.
Contoh lain lulusan STM yang namanya dikenal luas oleh masyarakat, seperti dicatat Amiruddin Sormin dalam 100 Tokoh Terkemuka Lampung: 100 Tahun Kebangkitan Nasional (2008:233-234) adalah Jenderal Ryamizard Ryachudu yang kini menjabat sebagai Menteri Pertahanan.
Editor: Irfan Teguh Pribadi