Menuju konten utama

Sejarah Sepatu Docmart yang Diciptakan oleh Klaus Martens

Sejah awal sepatu Docmart, dipake pekerja hingga anak muda.

Sejarah Sepatu Docmart yang Diciptakan oleh Klaus Martens
Sepatu Docmart. Instagram/drmartensid

tirto.id - Doctor Martens (Docmart) merupakan salah satu merk sepatu yang masih eksis hingga saat ini. Sebagai sebuah merek sepatu, Docmart memiliki sejarah panjang yang mengantarkannya terus bertahan hingga masa modern ini.

Mulai dari sosok pembuatnya untuk pertama kali hingga sempat menjadi identitas para skinhead (pecinta ska multibudaya awal) di Inggris. Sepatu Docmart diciptakan pada tahun 1945 oleh Klaus Martens, seorang dokter tentara Jerman masa Perang Dunia II.

Dilansir dari laman Fashion Model Directory, saat cuti pada tahun 1945, Klaus Martens mengalami cedera pergelangan kaki ketika bermain ski di Pegunungan Alpen Bavaria. Dia menemukan bahwa sepatu bot tentara standarnya terlalu tidak nyaman di kakinya yang terluka.

Seraya memulihkan lukanya, Martens pun melakukan perancangan perbaikan pada sepatu bot miliknya menggunakan kulit lembut dan sol dengan bantalan udara. Tidak lama setelah Martins merancang sepatu Docmart untuk pertama kalinya, perang pun berakhir.

Beberapa orang Jerman melakukan penjarahan barang-barang berharga di kota mereka, tidak terkecuali Martens yang mengambil kulit dari toko tukang sepatu. Kulit tersebut akhirnya dimanfaatkan oleh dirinya membuat sepasang sepatu dan dijual.

Dilansir dari laman Dr Martens, Martens membuat prototipe sepatu dan menunjukkannya kepada seorang teman lama universitas dan insinyur mesin, Dr. Herbert Funk. Pertemuan tersebut terjadi di Munich pada tahun 1947. Funk tertarik dengan desain sepatu milik Martins hingga keduanya berbisnis bersama di tahun tersebut.

Mereka menggunakan karet bekas dari lapangan terbang Luftwaffe dan menjalankan bisnis di Seeshaupt, Jerman. Desain sepatu Docmart dengan sol nyaman dan tahan lama menjadi tren besar di kalangan ibu rumah tangga. Penjualan pada dekade pertama, bahkan sebesar 80 persen dikuasai oleh tangan wanita di atas usia 40 tahun.

Penjualan sepatu mereka mengalami perkembangan pesat hingga dapat membuat pabrik di Munich tahun 1952. Tidak sampai di situ, perusahaanya pun tumbuh besar dan mulai melakukan pemasaran di kancah internasional pada tahun 1956.

Doc Mart Dibeli

Pada waktu yang tidak terpaut lama, sebuah perusahaan sepatu Inggris bernama R. Griggs Group Ltd. yang dijalankan oleh generasi ketiganya tertarik dengan desain sepatu Docmart. Perusahaan tersebut membeli hak panten untuk memproduksi sepatu di Inggris.

Beberapa perubahan dilakukan oleh perusahaan Giggs meliputi tumit yang diubah, bagian atas yang bulat namun sederhana, jahitan bilur kuning yang khas, tepi sol beralur dua nada, dan pola sol yang unik. Sepatu bot itu dicap sebagai 'Airwair' dan dilengkapi dengan lingkaran tumit hitam dan kuning yang menampilkan nama merek dan slogan “With Bouncing Soles”.

Mereka menciptakan bot—dengan mengawinkan metode pembuatan ala Martens dengan desain sepatu karya Griggs—yang diberi nama 1460, angka yang diambil dari tanggal produksi sepatu. Mereka sepakat melabelinya dengan merek baru, yakni Dr. Martens.

Pada tahun-tahun awal peluncurannya, sepatu 1460 banyak dikenakan oleh tukang pos dan pekerja pabrik yang dibandrol dengan harga 2 poundsterling. Kemudian di tahun 1960-an, Docmart justru menjadi citra baru, yakni sebagai simbol perlawanan kaum muda Inggris.

Ini terjadi ketika Docmart dijadikan sebagai prinsip berpenampilan oleh para skinhead (pecinta ska multi budaya awal) yang dengan bangga memperjuangkan gaya kelas pekerja Inggris. Tak lama setelah itu, Pete Townshend dari The Who menjadi individu berprofil tinggi pertama yang memakainya sebagai simbol kebanggaan kelas pekerja dan sikap pemberontaknya.

Docmart mengalami gelombang subkultur dan musik yang panjang. Hingga akhirnya pada masa modern ini, Docmart digunakan oleh orang-orang yang menganggap merek ini sebagai gaya tanpa peduli makna sosial yang pernah tersemat padanya.

Baca juga artikel terkait SOSIAL BUDAYA atau tulisan lainnya dari Syamsul Dwi Maarif

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Syamsul Dwi Maarif
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Dipna Videlia Putsanra