tirto.id - Hasil survei CNN pada 12 Juli 2017 lalu menempatkan rendang sebagai makanan terenak di dunia. Selain memang nikmat, ada filosofi yang terkandung dalam rendang dan proses memasaknya dalam sejarah serta tradisi masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat.
Tak hanya CNN, apresiasi juga diberikan oleh Kementerian Pariwisata (Kemenpar) RI yang memasukkan rendang sebagai salah satu national food bersama dengan soto, nasi goreng, sate, dan gado-gado pada 9 April 2018.
Dikutip dari artikel “Rendang: The Treasure of Minangkabau” karya Muthia Nurmufid dan kawan-kawan yang terhimpun dalam Journal of Ethnic Foods (Desember 2017), istilah “rendang” berasal dari kata “marandang” yang bermakna “secara lambat”.
Makna tersebut merujuk pada lamanya waktu memasak rendang untuk menghasilkan tekstur daging yang kering dan aroma rempah yang kuat dengan warna cokelat gelap serta bercitarasa maksimal. Jadi, sebenarnya rendang adalah suatu teknik memasak, bukan nama makanan.
Menurut riwayatnya, rendang awalnya dibuat menggunakan daging kerbau sebagai bahan utamanya. Bagi masyarakat Minangkabau, masakan dengan bahan daging kerbau biasanya dinikmati dalam acara-acara adat tertentu.
Rendang, tulis Reno Andam Suri dalam Rendang Traveler: Menyingkap Bertuahnya Rendang Minang (2012), menduduki kasta yang paling tinggi di antara hidangan lain dan sering disebut sebagai kepalo samba atau induknya makanan dalam tradisi Minangkabau.
Filosofi Rendang
Tradisi mengawetkan makanan sudah dikenal sejak lama oleh masyarakat Sumatera. Hal tersebut terungkap dalam buku The History of Sumatra (1811) karya William Marsden yang menjelaskan bahwa penduduk Sumatera pada abad ke-19 itu sudah menerapkan proses pengawetan daging.
Teknik mengawetkan daging ini juga sudah dilakukan oleh masyarakat Minangkabau sejak dulu. Dikutip dari artikel tentang rendang oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya Padang dalam website Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, proses pengawetan ini dilakukan secara tradisional tanpa menggunakan bahan kimia.
Masyarakat Minang percaya bahwa rendang memiliki 3 makna tentang sikap, yaitu kesabaran, kebijaksanaan, dan ketekunan. Ketiga unsur ini dibutuhkan dalam proses memasak rendang, termasuk memilih bahan-bahan berkualitas untuk membuatnya, sehingga terciptalah masakan dengan citarasa tinggi.
Selain itu, ada makna simbolis lainnya. Filosofi rendang bagi masyarakat Minangkabau adalah musyawarah dan mufakat. Hal ini, dikutip dari buku Randang Bundo (2019) karya Wynda Dwi Amalia, berangkat dari 4 bahan pokok yang melambangkan keutuhan masyarakat Minang.
Secara simbolik, dagiang (daging) merupakan niniak mamak (para pemimpin suku adat), karambia (kelapa) melambangkan cadiak pandai (kaum Intelektual), lado (cabai) sebagai simbol alim-ulama, dan pemasak (bumbu) menggambarkan keseluruhan masyarakat Minangkabau.
Rendang pada akhirnya tidak hanya disajikan dalam acara-acara adat tertentu saja. Kuliner nikmat ini kemudian menjadi makanan yang menjadi santapan khas sehari-hari masyarakat Minangkabau, juga menyebar ke banyak daerah di Indonesia bahkan dunia.
Guru Besar Universitas Andalas Padang, Gusti Asnan, dilansir BBC, menyebut bahwa tradisi merantau yang kerap dilakukan orang Minangkabau menjadi alasan tersebarnya rendang ke berbagai tempat.
Orang-orang perantauan dari Sumatera Barat biasanya membawa rendang sebagai bekal, dengan dibungkus dalam daun pisang, karena makanan ini bisa bertahan cukup lama, bahkan hingga satu bulan.
Ada yang menyebut bahwa rendang punya keterkaitan dengan masakan kari dari India. Menurut Gusti Asnan, salah satu fase memasak rendang adalah proses yang disebut kalio. Ini adalah tahap ketika rendang dimasak namun belum kehilangan seluruh santannya dan masih sedikit basah, mirip seperti masakan kari.
Inilah yang kemudian mewujud pada rendang di Malaysia dan Singapura, atau negara-negara rumpun Melayu lainnya, berbeda dengan rendang asli Minangkabau yang dagingnya sudah benar-benar kering dan berwarna cokelat gelap hasil dari perpaduan dari santan, berbagai bumbu, dan rempah-rempah yang telah meresap.
Penulis: Wisnu Amri Hidayat
Editor: Iswara N Raditya