tirto.id - Soto menjadi salah satu jenis kuliner terpopuler di Nusantara serta punya banyak ragam dan varian di masing-masing daerah. Tapi benarkah soto adalah makanan asli Indonesia? Bagaimana asal-usul dan sejarah sajian khas berkuah dengan berbagai isian ini?
Indonesia adalah negara yang memiliki berbagai macam budaya, termasuk masakan khas. Cukup banyak jenis kuliner Indonesia yang populer tidak hanya di kalangan masyarakat lokal, melainkan juga di mancanegara. Salah satunya adalah soto, yang seringkali oleh orang Barat disebut mirip sup.
Penelitian Ary Budiyanto dan Intan Kusuma Wardhani bertajuk “Menyantap Soto Melacak Jao To Merekonstruksi (Ulang) Jejak Hibriditas Budaya Kuliner Cina dan Jawa” (2013) dari Institute for Research and Community Service Petra Christian Univesity mengungkapkan bahwa soto sebenarnya datang dari Cina.
Dijelaskan, istilah “soto” merujuk dari salah satu jenis makanan Cina yang dalam dialek Hokkian disebut cau do, jao to, atau chau tu, yang artinya jeroan dengan rempah-rempah. Di Indonesia, soto pertamakali dikenal di pesisir pantai utara Jawa pada abad ke-19 Masehi, yakni masakan berkuah dengan potongan daging ataupun jeroan.
Denys Lombard dalam buku Nusa Jawa 2: Silang Budaya Jaringan Asia (1996) mendukung tesis tersebut. Dituliskan oleh Lombard, para imigran dari Cina sudah banyak yang ikut serta dalam kegiatan produksi di pesisir Jawa, salah satunya dengan membuka rumah makan atau restoran, sejak abad ke-18 Masehi.
Bahkan, lanjut Lombard, usaha kuliner yang dirintis oleh orang-orang Tionghoa, terasuk peranakan, cukup mendominasi kala itu. Bukan cuma berbentuk warung atau restoran, tidak sedikit dari mereka yang berjualan dengan berkeliling menggunakan gerobak atau pikulan.
Dari sinilah soto mulai dikenal oleh masyarakat Nusantara, dijajakan dengan menggunakan gerobak atau pikulan. Soto kala itu disajikan dengan mangkuk keramik dan sendok sup atau sendok bebek.
Mulanya, sesuai dengan sajian di Cina sana, soto memakai daging babi. Namun, karena di Nusantara kala itu sudah banyak yang memeluk Islam, maka orang-orang Tionghoa menggantinya dengan daging ayam, sapi, bebek, atau kerbau, hingga jeroannya.
“Beberapa muslim saleh yang menolak makanan Cina karena ada risiko bahwa daging yang dimasak dan minyak yang digunakan di situ berasal dari babi,” tulis Lombard dalam bukunya.
Varian Soto di Indonesia
Dalam perkembangannya, soto menyebar ke seluruh Nusantara dan diadaptasi di banyak daerah dengan masing-masing ciri khasnya. Di Jawa Tengah saja, misalnya, ada beberapa jenis soto yang berbeda, misalnya Soto Kudus, Soto Purbalingga, Soto Sokaraja, Soto Wonogiri, Soto Pekalongan.
Meskipun masih satu wilayah, namun jenis soto di provinsi ini punya karakter yang menghasilkan citarasa berbeda. Bahkan di Pekalongan muncul satu lagi varian soto, yakni tauto yang merupakan singkatan dari tauco soto. Tauto pekalongan memiliki kuah yang pekat dengan rasa pedas-manis dan diisi potongan daging kerbau atau sapi.
Adapun Soto Kadipiro, Soto Tamansari, atau Soto Wonosari adalah tiga dari sejumlah varian soto yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Ketiga varian soto ini punya karakter sendiri-sendiri, ada yang memakai daging ayam atau daging sapi dengan karakter kuah dan isian yang tidak sama.
Beberapa daerah di Jawa Timur juga punya ragam soto, semisal Soto Lamongan, Soto Madura, atau Soto Sulung Surabaya. Jenis soto di Jawa Timur biasanya ditaburkan serbuk koya untuk menambah kekuatan rasanya, juga terkadang ditambahkan telur rebus. Adapun Soto Sulung biasanya hanya memakai daging dan kuah kaldu sapi yang kuat.
Di Jawa Barat terdapat Soto Mi Bogor, Soto Bandung, Soto Ayam Sunda, Soto Bebek Ciledug, Soto Sapi Banten, dan seterusnya. Tak ketinggalan Jakarta yang memiliki soto khas asli ibu kota, yakni Soto Betawi yang khas dengan santan kental dan kerupuk warna-warni.
Di luar Jawa pun banyak soto yang menjadi ikon kuliner daerah. Sebut saja Soto Padang, Soto Medan, Soto Banjar, Soto Makassar, Soto Barenang Polaweli-Mandar, Soto Manado, Soto Kikil Kendari, hingga Soto Sasak dari Lombok-NTB, dan tentunya masih banyak lagi.
Penamaan soto di masing-masing daerah itu tidak semuanya sama. Misalnya di Jawa Tengah bagian barat atau daerah Banyumasan, misalnya, istilah soto biasanya disebut dengan sroto, atau di Sulawesi Selatan yang menamakannya sebagai coto.
Soto tidak selalu dimakan dengan nasi. Ada pula yang memakai semacam ketupat atau lontong sebagai pendampingnya. Salah satunya adalah Coto Makassar yang dimakan dengan buras yaitu sejenis ketupat yang dibungkus dengan daun pisang.
Ibarat Bhinneka Tunggal Ika, jenis kuliner yang satu ini memang bermacam-macam jenis dan variannya, namun tetap satu jua dalam kemasan yang bernama soto.
Penulis: Yonada Nancy
Editor: Iswara N Raditya