Menuju konten utama
Kenangan Ramadan

Kenangan Gus Solah: Makan Soto Mie di Waktu Tarawih

Pernah batal puasa, sering main saat tarawih, Gus Solah tetap sisipkan waktu membaca di sela-sela puasanya.

Kenangan Gus Solah: Makan Soto Mie di Waktu Tarawih
Gus Solah. tirto.id/Quita

tirto.id - “Saya sama seperti anak-anak yang lain, mulai berpuasa setengah hari dan kadang nyolong-nyolong minum. Namanya anak kecil, biasalah itu.”

Pengakuan itu datang dari Salahuddin Wahid atau yang biasa kita kenal dengan panggilan Gus Solah, salah satu tokoh Nahdlatul Ulama (NU). Ternyata, kenangan puasa masa kecilnya tak jauh berbeda dengan anak-anak kebanyakan.

Gus Solah sempat menjalani masa kecil secara singkat di Pesantren Denanyar, Jombang, tempat tinggal kakeknya dari garis ibu, KH. Bisri Syansuri. Pada tahun 1947 Hadratus Syekh Kiai Hasyim Asy’ari wafat, lalu karena ayahnya, KH. Wahid Hasyim harus menggantikan, Salahuddin pindah ke Tebuireng.

Di awal tahun 1950, ayahnya diangkat menjadi Menteri Agama, ia pun ikut pindah ke Jakarta. Saat itu usianya baru menginjak umur 8 tahun. Sejak itu, Gus Solah tidak pernah lagi secara formal bersinggungan dengan lingkungan pesantren.

Pendidikan dasarnya ditempuh di SD Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS). Gurunya banyak yang menjadi anggota pergerakan, termasuk orang-orang komunis. Masa pendidikan hingga bangku kuliah bisa dibilang dihabiskannya di sekolah umum. Gus Solah tercatat sebagai lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) jurusan arsitektur.

Pengalaman bersosialisasi secara umum membuatnya terbiasa hidup di lingkungan yang heterogen dan mafhum menghadapi perbedaan. “Saya umur enam tahun, SD sudah mulai puasa. Dan besar di Jakarta, tidak besar di pesantren.”

Saat itu, ia menceritakan, masa puasa di Jakarta belum seriuh sekarang. Tak ada acara televisi yang menemani saat-saat menunggu sahur. Bahkan televisi baru masuk di Jakarta waktu dirinya menginjak SMA. Itu pun acaranya tak tayang sepanjang hari seperti sekarang.

Waktu-waktu senggang selama berpuasa dihabiskan dengan bermain. Kerap kali ia menjajal jenis-jenis permainan tradisional yang cukup berbahaya seperti mercon dari bambu dan petasan saat menunggu berbuka. Saat itu larangan bermain petasan belum digalakkan, sehingga anak-anak masih leluasa memainkannya.

“Saya main sama banyak teman dulu, kan rumah tidak sebanyak sekarang jadi tetangganya kenal semua, masih erat hubungannya. Kalau sekarang mau main petasan juga susah soalnya jalanan ramai,” katanya.

Salahuddin hanya sempat merasakan pendidikan pesantren melalui Pesantren Ramadhan. Selama beberapa kali liburan sekolah di bulan Ramadan, ia belajar ke Pesantren Denanyar Jombang bersama adiknya, Umar Wahid. Menginjak usia dewasa, cara yang ditempuhnya untuk belajar adalah dengan membaca sendiri buku-buku keagamaan.

Kegemaran membaca ini yang terus dibawa hingga sekarang. Setiap ada waktu longgar, Gus Solah selalu menyempatkan diri membaca dan semakin intens di bulan Ramadan. Dalam satu bulan, sepuluh judul buku bisa habis dibacanya. Ia biasa menyediakan waktu untuk membaca sebelum dan sesudah makan sahur, setelah Salat Subuh, pagi hari, dan juga sore hari.

Lucunya, seperti anak-anak lain yang masih mengedepankan rasa “ingin”. Setiap azan maghrib berkumandang, segala macam santapan masuk memenuhi perutnya. Bahkan saat tarawih tiba Gus Solah kecil suka “cabutan” untuk menyantap soto mie yang mangkal di depan musala. Baru kemudian, ia melanjutkan tarawih.

“Tarawih kita ramai-ramai jalan kaki ke masjid, tapi juga tidak sepenuhnya tarawih, kebanyakan mainnya. Tidak apa-apa [anak-anak] begitu,” ceritanya sambil terkekeh.

Infografik Gus solah kenangan ramadan

Ajarkan Toleransi

Di sela-sela nostalgia tentang kenangan Ramadan masa kecilnya, Gus Solah sempat membahas aksi-aksi intoleran dan radikal yang dilakukan kelompok-kelompok tertentu. Baginya, bibit radikalisme yang tertanam pada orang-orang tersebut lebih banyak didapat dari doktrin di luar pesantren.

Bahkan ia berani mengatakan cikal bakal Islam Indonesia yang paham arti toleransi berasal dari pesantren. Sebab, konsep pengajaran di pesantren meniru perjuangan para wali dalam menyebarkan agama dengan cara yang halus, sopan, dan berdasarkan hubungan yang baik seperti berniaga, berkeluarga, serta menggunakan medium lokal.

Jikapun ada dicurigai pesantren yang cenderung radikal, ia berani menjamin jumlahnya sangat sedikit. Perbandingannya hanya 10 sampai 20 dari 30 ribu pesantren. Itu pun bisa jadi hanya ajarannya yang tidak moderat tapi tidak lantas mengajarkan kekerasan.

“Biasanya keluar dari pesantren [bibit radikalisme dan intoleran muncul]. Karena banyak faktor, di cuci otaknya, atau sedang kesulitan lalu dibantu, akhirnya mendekat dan terpengaruh,” jelasnya.

Sebagai pengasuh di Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Gus Solah mencontohkan pengajaran toleransi di pesantrennya. Para ustaz yang mengajar selalu menanamkan rasa cinta kebangsaan tanpa menanggalkan keislaman. Saat upacara peringatan 17 Agustus contohnya, paskibraka Tebu Ireng mengibarkan bendera merah putih tidak dengan seragam putih-putih, tapi sarungan.

Contoh lain, Pesantren Tebu Ireng membiasakan para muridnya menerima tamu menginap. Ada yang berasal dari Amerika, ada juga pendeta yang bisa menghabiskan kunjungan hingga dua minggu lamanya. Para santri ditanamkan untuk tidak memusuhi orang hanya karena perbedaan agama.

“Ya kita baik-baik saja walau beda keyakinan. Toleransi kan menghormati perbedaan, perbedaan ini banyak aspeknya, agama, budaya, suku, etnis. Keyakinan beda justru malah memperkaya kehidupan kita bukan malah untuk dipertentangkan.”

Baca juga artikel terkait DUNIA RAMADHAN atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Humaniora
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani