Menuju konten utama

Sejarah Penjajahan Jepang di Korea, Faktor Penyebab, & Dampaknya

Sejarah penjajahan Jepang di Korea bermula pada 1905 hingga 1945. Lantas, apa faktor penyebab dan dampaknya?

Sejarah Penjajahan Jepang di Korea, Faktor Penyebab, & Dampaknya
Tentara Jepang ketika Perang Dunia II. FOTO/AP

tirto.id - Sejarah penjajahan Jepang atas Korea bermula sejak 1905 hingga 1945. Salah satu faktor penyebabnya adalah produksi ideologi yang cenderung merendahkan pihak Korea. Pendudukan tersebut berdampak pada beberapa hal, termasuk sentimen personal dan diplomatik yang dirasakan hingga saat ini.

Pencaplokan Jepang atas Korea sebenarnya sudah dilakukan sejak akhir abad ke-19, meskipun secara "resmi"-nya baru terjadi pada 1905, ditandai dengan penandatanganan Perjanjian Portsmouth.

Namun, ada juga yang menilai bahwa penjajahan Jepang di Korea baru terjadi sejak 1910, melalui Traktat Aneksasi Jepang-Korea. Itu terjadi setelah Kaisar Kojong dipaksa turun tahta dan digantikan oleh putranya, Kaisar Sunjong.

Sejarah Penjajahan Jepang di Korea dan Faktor Penyebabnya

Penjajahan Jepang di tanah Korea memiliki sejarah panjang. Bahkan, jauh sebelum adanya Perjanjian Portsmouth, Jepang sudah punya ambisi untuk menguasai wilayah Korea.

Jejaknya dapat ditelusur sejak Raja Kojong duduk di tampuk kekaisaran pada 1864. Lantaran dianggap terlalu muda untuk memimpin sebuah kerajaan, kekuasaan dan kontrol secara de facto masih dipegang ayahnya, Taewŏn-gun.

Selama masa pemerintahan Taewŏn-gun, Korea kerap didatangi kapal dagang negara lain seperti Prancis, Amerika Serikat, dan Jepang. Namun, pada masa-masa itu, rakyat Korea masih gencar melakukan perlawanan dan mengusirnya.

Dari beberapa negara tersebut, salah satu yang paling keukeuh masuk ke wilayah Korea adalah Jepang. Negeri Matahari Terbit semakin agresif terhadap targetnya, terutama sejak tampuk kekaisaran beralih dari Taewŏn-gun ke tangan Ratu Min pada 1873. Tidak sia-sia, Jepang akhirnya berhasil menduduki wilayah Korea dengan dalih perdagangan dan persahabatan.

Hal itu membuat penguasa Qing Cina, yang saat itu juga menduduki sebagian wilayah Korea, tak senang. Terjadilah konfrontasi di antara keduanya.

Singkatnya, pada Juli 1894, pecah perang antara Tiongkok-Jepang. Negeri Matahari Terbit berhasil keluar sebagai pemenang dan menghasilkan Perjanjian Shimonoseki pada April 1895, yang mengakui hegemoni Jepang atas Korea.

Melihat Jepang yang mulai mampu menguasai wilayah Korea berkat kemenangannya atas Tiongkok membuat USSR iri. Sebab, mereka juga punya ambisi mengekspansi area kekuasaannya ke Asia Timur. Sejak itulah Rusia juga masuk ke wilayah Korea dan mempengaruhi pemerintahan kaisar sedikit demi sedikit.

Pada masa-masa menjelang abad ke-19, pengaruh Rusia dan Jepang atas Korea semakin ketat. Gesekan akibat perebutan kekuasaan kedua negara di Korea juga semakin intens terjadi.

Konfrontasi antara Jepang dan Rusia pun akhirnya pecah pada 1904-1905. Namun, lantaran kekuasaan wilayahnya atas Korea lebih besar, Jepang berhasil menaklukkan Rusia.

Pada September 1905, melalui mediasi Amerika Serikat, Jepang dan Rusia menandatangani Perjanjian Portsmouth. Perjanjian itu memberikan Jepang supremasi yang tak terbantahkan di Korea. Alhasil, sejak November 1905, Negeri Gingseng resmi menjadi protektorat Jepang.

Korea, yang saat itu sudah dibawahi oleh Kaisar Kojong, sempat melawan dengan mengirim utusan ke konferensi perdamaian internasional pada 1907 di Den Haag. Namun, misi itu gagal. Jepang, yang mengetahui hal tersebut, marah besar dan menggulingkan Kojong dari tahta Kekaisaran. Pada 1910, melalui Traktat Aneksasi Jepang-Korea, Jepang "resmi" mencaplok seluruh wilayah Korea.

Semasa pendudukan Jepang, wilayah Korea mengalami perkembangan pesat di bidang pembangunan. Akan tetapi, hal ini berbanding terbalik dengan kehidupan masyarakat setempat yang mengalami kenestapaan.

Kerajaan Jepang memimpin wilayah Korea melalui jabatan Gubernur Jenderal. Orang ini ditunjuk langsung oleh Kaisar Jepang.

Wujud kolonialisme Jepang merambah ke segala bidang, mulai dari politik, ekonomi, hingga pembangunan. Aturan Gubernur Jenderal melarang perkumpulan orang-orang Korea. Kegiatan pers dan kebebasan berpikir dibungkam.

Di bidang ekonomi, misalnya, Jepang melakukan monopoli dengan cara mempromosikan barang-barang dagangannya. Sementara itu, mereka yang merupakan penduduk asli tak diperbolehkan melakukan aktivitas yang sama.

Perlawanan dari masyarakat Korea sempat terjadi pada 1 Maret 1919. Tepat pada hari tersebut dibacakan Deklarasi Kemerdekaan Korea pada rapat di Seoul. Berkat ini, banyak mahasiswa turun ke jalan untuk menyuarakan pendapatnya dan mengutuk penjajahan Jepang. Peristiwa di atas dikenal dengan Gerakan Pertama Maret atau March First Movement.

Melihat itu, Gubernur Jenderal Jepang membubarkan demonstrasi itu secara kejam. Korban jiwa berjatuhan dan penangkapan terjadi di mana-mana.

Kekejaman Jepang mulai meningkat pada era 1937. Kekaisaran Jepang di bawah Gubernur Jenderal menjadikan banyak perempuan Korea sebagai penghibur mereka. Wanita penghibur ini disebut Jugun Ianfu atau dalam bahasa Korea disapa Chonggun Wianbu.

Penjajahan ini berlangsung hingga masa kedigdayaan Jepang di Perang Dunia II pudar, tepatnya pada 1945. Kekalahan Dai Nippon dalam perang tersebut membawa dampak terhadap lepasnya Semenanjung Korea.

Dampak Penjajahan Jepang di Korea

Setelah lepas dari kekuasaan Jepang, wilayah Korea terbagi menjadi dua. Bagian selatan berada di bawah kontrol Amerika Serikat sedangkan wilayah utara dikuasai USSR.

Dampak dari pendudukan Jepang masih terasa hingga saat ini. Bahkan, Korea Selatan masih memperingati tanggal 1 Maret sebagai Independence Movement Day. Tujuan peringatan ini adalah agar masyarakat mengingat keteguhan pejuang zaman dulu pada masa penjajahan Jepang.

Berikut dampak penjajahan Jepang atas Korea:

1. Perjanjian tentang Hubungan Dasar antara Jepang dan Republik Korea

Ide normalisasi dilakukan untuk mengendalikan hubungan kedua belah pihak pasca-Perang Dunia II. Secara resmi pada 22 Juni 1965, perjanjian normalisasi diadakan untuk membuka hubungan diplomatik dan dapat bekerja sama.

Namun, luka penjajahan ternyata masih tersimpan di kepala masyarakat Korea Selatan. Oleh sebab itu, perjanjian ini tidak sepenuhnya dapat terealisasikan.

2. Munculnya Permintaan Ganti Rugi dari pihak Korea Selatan

Setelah lepas dari penjajahan, beberapa kali pihak Korea Selatan meminta kompensasi atas kerugian yang telah dialaminya. Hal ini bahkan sempat terjadi beberapa tahun belakangan, yakni 2019 lalu.

Pada tahun tersebut, pengadilan tinggi Korea Selatan menuntut sejumlah kompensasi untuk para korban kerja paksa. Akan tetapi, pihak Jepang menyatakan bahwa hal tersebut sudah dianggap selesai setelah kemunculan perjanjian normalisasi.

3. Timbulnya Sentimen Personal antara Warga Jepang-Korea

Menurut catatan survei Japan Times (2021), terhitung hanya ada 16,7 persen orang Korea Selatan yang bersahabat dengan orang Jepang. Sebaliknya, hanya 20,2 persen orang Jepang yang bersahabat dengan orang asli Korea Selatan.

Lebih dari itu, rasisme juga masih terjadi di daerah Jepang. Orang-orang Korea yang ada di sana disebut sebagai Zainichi dan kerap memperoleh diskriminasi.

Hal ini tidak lepas dari pengaruh doktrin yang ditanamkan Kekaisaran Jepang mengenai orang Korea. Todd Henry dalam jurnal berjudul “Sanitizing Empire: Japanese Articulations of Korean Otherness and the Construction of Early Colonial Seoul, 1905-1919” (2005) menjelaskan, para etnografer Jepang pada era sebelum 1910 mengklaim persamaan ras dan perbedaan watak antara Korea dan Jepang.

Etnografer Jepang menilai bahwa kedua wilayah punya kesamaan ras, fisiognomi, bahasa, dan budaya. Namun, di sisi watak, mereka mencap orang Korea sebagai bangsa bodoh, malas, dan tidak mampu memulai kemajuan.

Produksi etnografi itu juga yang dijadikan sebagai dalih pembenaran aneksasi Jepang atas Korea pada era penjajahan.

Baca juga artikel terkait SEJARAH atau tulisan lainnya dari Yuda Prinada

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Yuda Prinada
Penulis: Yuda Prinada
Editor: Fadli Nasrudin