tirto.id - Tidak ada kasih sayang di Strasbourg, Perancis, pada 14 Februari 1349 itu. Di hari yang bertepatan dengan perayaan Valentine di Eropa tersebut, terjadi aksi pembantaian dan pembakaran terhadap orang-orang Yahudi. Tragedi ini dikenal dalam sejarah sebagai bagian dari rangkaian The Black Death Persecutions and Massacres.
Istilah "Black Death" mengacu kepada wabah yang melanda Eropa di pertengahan abad ke-14 Masehi, antara tahun 1347 sampai 1351. Wabah ini menyebarkan penyakit misterius yang membunuh puluhan juta orang dan menyebabkan populasi manusia di Eropa berkurang drastis.
Dikutip dari buku The Black Death (2009) karya Diane Zahler, orang-orang Kristen di Eropa saat itu membenci kaum Yahudi karena menganggap mereka tidak meyakini Yesus Kristus. Padahal, kebijakan resmi gereja adalah melindungi orang-orang Yahudi lantaran Yesus terlahir dalam ras bangsa Ibrani.
Ketika wabah hitam atau "Black Death" mengguncang Eropa dan memusnahkan banyak kehidupan, orang Kristen menuding orang Yahudi sebagai biang malapetaka itu. Hal tersebut kemungkinan karena jumlah orang Yahudi yang terkena dampak wabah jauh lebih sedikit daripada penganut Kristen.
Kaum Yahudi dituduh sengaja meracuni sumur untuk menyebarkan penyakit. Anna Foa dalam The Jews of Europe After the Black Death (2000) menambahkan, orang-orang Yahudi dinilai sering mengabaikan aturan tentang kebersihan, juga terkait dengan ritual-ritual yang mereka lakukan, sehingga wabah mematikan itu muncul.
Pembantaian Yahudi di Eropa
Antara tahun 1347 hingga 1351, terjadi berbagai aksi pembantaian terhadap orang-orang Yahudi di beberapa tempat di Eropa. Salah satunya adalah di Strasbourg, Perancis, pada 14 Februari 1349 bertepatan dengan perayaan hari kasih-sayang.
Dipaparkan Robert S. Gottfried dalam buku berjudul Black Death (2010), ratusan orang Yahudi di Strasbourg dibakar hidup-hidup dalam "Pembantaian Hari Valentine" meskipun wabah penyakit yang ditakutkan itu belum menyerang salah satu kota di Perancis ini.
Selanjutnya, riset Stephane Barry & Norbert Gualde bertajuk "The Greatest Epidemic in History", diterbitkan jurnal L' Histoire edisi Juni 2006, mengungkapkan, abu hasil pembakaran orang-orang Yahudi tersebut dihancurkan, sementara penduduk Kristen menjarah harta warga Yahudi yang selamat dari api.
Tak hanya itu, orang-orang Yahudi yang lolos dari aksi pembakaran massal tersebut, kebanyakan terdiri dari perempuan, orang-orang lanjut usia, juga bayi dan anak-anak, diusir keluar dari Kota Strasbourg.
Sebenarnya, pihak gereja dan Vatikan sudah berusaha mencegah aksi massa itu. Paus Clement VI pada Juli dan September 1348 dalam ceramahnya dengan tegas mengingatkan, barangsiapa yang menuduh orang-orang Yahudi meracuni sumur, maka orang itu adalah "pembohong yang telah tergoda oleh iblis."
Namun, gelombang kemarahan massa sangat sukar dibendung, terlebih dengan berhembusnya kabar-kabar bohong yang semakin memperkeruh keadaan. Murka rakyat yang mayoritas beragama Kristen pun terpantik sehingga melancarkan aksi massal mengganyang kaum Yahudi.
Setelah aksi pembantaian itu, wilayah permukiman orang-orang Yahudi ditutup dan dijaga ketat pihak yang berwenang. Para bangsawan dan kaum pedagang berharap Strasbourg segera pulih kembali sehingga roda perekonomian kota bisa berjalan seperti semula.
Namun, Strasbourg cukup lama mengalami keguncangan pasca-kejadian tersebut. Tindak kriminal di jalanan menjadi lebih sering, begitu pula ancaman kerusuhan yang setiap saat bisa terjadi karena situasi yang amat sensitif saat itu.
Selain di Strasbourg, aksi pembantaian terhadap orang-orang Yahudi dengan alasan yang sama juga terjadi di banyak tempat di Eropa selama periode itu. Pada April 1348, misalnya, masih di Perancis, tepatnya di Kota Toulon, permukiman orang Yahudi diserang dan 40 orang dibunuh di rumah mereka sendiri.
Di Frankfurt, Mainz, dan Cologne (kini wilayah Jerman), komunitas-komunitas Yahudi dihancurkan pada musim semi tahun 1349. Gottfried (2010) mengungkapkan, sekitar 3.000 orang Yahudi di Mainz semula bisa menahan serangan itu, tapi akhirnya kalah dan orang-orang Kristen membunuh semua orang Yahudi yang ada.
John Marshall dalam buku John Locke, Toleration and Early Enlightenment Culture (2006) mencatat, gerakan pembantaian serupa juga berlangsung di Barcelona dan Aragon (Spanyol), Erfurt dan Speyer (Jerman), serta Basel (Swiss). Ribuan orang Yahudi kehilangan nyawa, termasuk di hari Valentine yang seharusnya menjadi hari bertabur kasih sayang.
Editor: Mufti Sholih