tirto.id - Apa yang menandakan sebuah negara telah memasuki sistem negara modern? Sosiolog Jerman Max Weber dalam kumpulan tulisannya OnCapitalism, Bureaucracy and Religion: A Selection of Texts (2006), mengemukakan bahwa salah satu cirinya adalah berdirinya sistem birokrasi.
Birokrat merupakan golongan yang menduduki suatu jabatan dalam negara dengan tak melalui tahapan pemilihan umum—artinya tidak politis. Idealnya, mereka didorong oleh keahlian dalam bidang yang mereka jabat.
Sifat utama golongan ini, kata Weber, adalah teratur, bersifat resmi, dan tidak pribadi. Artinya, mereka sebagai pejabat merupakan sosok yang terpisah secara jelas dari peran mereka sebagai manusia pribadi.
Mereka sebagai pejabat seharusnya beda sama sekali dari mereka sebagai anggota masyarakat. Birokrat sebagai pejabat bebas dari hubungan kekeluargaan, kekerabatan, dan hubungan pribadi. Ini adalah standar yang sangat ideal tentang birokrat.
Lahirnya Birokrasi Modern
Birokrasi, dalam artinya yang modern, barangkali lahir bersamaan dengan Revolusi Prancis (1789–99), ketika Napoleon mengatur tata negara Prancis yang baru. Prancis yang feodal dan aristokratik diubah secara drastis.
Pejabat-pejabat ditempatkan dalam kedudukan mereka sebagai “pegawai dari negara”. Mereka diatur secara hierarkis dari yang paling tinggi dengan kewenangan dan tanggung jawab tertinggi hingga yang terendah. Untuk memberi ganjaran atas kontribusi yang mereka berikan kepada negara, mereka digaji.
Secara teoritis, mereka tidak lagi diberi suatu wilayah untuk dipungut pajak seperti pada sistem feodal. Hubungan antara pejabat negara dan rakyat adalah profesional. Tidak lagi ada hubungan pribadi yang mengikat tuan pelindung dan rakyat yang dilindungi seperti pada sistem feodal.
Pejabat hadir untuk melaksanakan fungsi mereka dan fungsi itu adalah pengaturan negara. Dengan demikian, Prancis hadir menjadi negara modern pertama di dunia dengan korps birokratnya yang mendapat upah dari negara.
Sistem seperti ini tidak dikenal di Kepulauan Indonesia bahkan ketika Kongsi Dagang Hindia Timur Belanda (VOC) mulai berinteraksi dengan penduduk setempat. VOC tidak membawa sistem birokrasi. Interaksi VOC dan negeri-negeri di Kepulauan Indonesia sifatnya adalah hubungan antarnegara.
Kecuali pada wilayah seperti Batavia (kini Jakarta) dan sebagian Maluku, VOC selalu mengadakan perjanjian dengan penguasa setempat. Perjanjian ini disebut dalam catatan VOC sebagai “traktat” dan dikumpulkan dalam satu himpunan arsip yang bertajuk Corpus Diplomaticum (kumpulan surat diplomatik).
Artinya, meskipun memiliki kekuasaan layaknya sebuah negara, VOC tidak menjalankan kekuasaan mereka layaknya sebuah negara. Mereka tidak mencaplok negeri-negeri merdeka di Asia dan memasukkan negeri-negeri ini dalam naungan VOC. Perubahan terhadap pola pikir dan cara pandang terhadap hal ini baru terjadi ketika VOC jatuh.
Pejabat, Bukan Pedagang
Kompeni jatuh pada periode peralihan besar di Eropa. Revolusi Industri (1760–1840) memasuki periode yang mapan, Revolusi Prancis mencapai puncaknya. Akibatnya, lewat tulisan Peter Carey dan Farish A. Noor dalam Ras, Kuasa, dan Kekerasan Kolonial di Hindia Belanda 1808–1830 (2022), cara pandang Eropa terhadap dunia berubah.
Waktu urusan VOC diambil alih oleh Belanda sebagai negara, pola pikir Eropa sudah berubah. Wilayah operasi VOC yang diikat dalam traktat-traktat dipandang sebagai kepemilikan kolonial.
Ketika—setelah Prancis-Napoleon menguasai Belanda—Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (menjabat 1808–1811) dikirim ke Jawa, ia tidak datang sebagai pedagang dari negeri-negeri tanah rendah. Untuk pertama kalinya, orang Eropa menginjakkan kaki sebagai pejabat.
Ong Hok Ham dalam pengantar Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi (1983:6–9), menyebut bahwa Daendels mengatur Jawa yang ia kuasai seperti sebuah negara Napoleonik. Ia menyusun ulang birokrasi tradisional Jawa—para bupati, wedana, dan lainnya—dalam sistem kepangkatan militer lengkap dengan seragam-seragam militer.
Seluruhnya disusun dalam hierarki dan digaji menurut pangkat mereka. Budaya pemimpin daerah kita sekarang yang menggunakan seragam khas militer (kini berwarna putih) dapat dilacak praktiknya sejak periode Daendels. Pada periode kekuasaan Daendels itulah negara modern lahir di Indonesia.
Dualisme Sistem Birokrasi
Dalam studi kolonial tentang Asia, kita menyadari bahwa ada negara-negara yang diperintah secara langsung oleh kekuatan kolonial dan ada yang diperintah secara tidak langsung. Perbedaan ini tergantung pada titik awal masuknya kolonialisme—yaitu apakah militer digunakan secara ekstensif atau justru birokrasi tradisional yang didekati.
Kita akan dapat dengan mudah membedakan kedua pola ini dengan mengajukan satu pertanyaan: apakah penguasa tradisional masih ada di dalam negara kolonial?
Untuk kasus Kepulauan Indonesia, sebagian besar kasusnya adalah masih ada. Ini jelas beda sekali dengan Birma (kini Myanmar) yang penguasa tradisionalnya disingkirkan dan birokrasi tradisionalnya dihancurkan.
Raja Thibaw Min (bertakhta 1878–1885) diasingkan ke India dan Inggris kemudian mendatangkan orang-orang dari India yang telah mereka kuasai untuk menjadi pegawai negeri di Birma. Ini menciptakan perpecahan yang tak tersembuhkan di antara orang Birma dan India.
Berbeda dengan itu, para penguasa Jawa bahkan hingga birokrasi tradisional di tingkat yang paling rendah selalu dipertahankan dan bahkan “diperkuat” oleh penguasa kolonial.
Kita perlu mengingat di sini ide dari seorang kolonialis konservatif dan mantan Perdana Menteri Belanda, Hendrikus Colijn (menjabat 1925–1926 dan 1933–1939), dalam Koloniale vraagstukken van heden en morgen (1928). Ia menyatakan bahwa bukan kaum nasionalis yang harus didengar bila ingin mengangkat derajat Indonesia, melainkan justru harus menguatkan kepala-kepala adat dan penguasa tradisional.
Kepulauan Indonesia diserahkan oleh Inggris kepada Belanda pada 1816 setelah Inggris berhasil merebut wilayah itu dari penerus Daendels, Jan Willem Janssens (menjabat 1811). Meskipun demikian, “pengembalian” ini berjalan alot sehingga negara Hindia Belanda itu sendiri baru dapat disusun alat kenegaraannya pada 1818.
Sepanjang tahun 1818 hingga sekitar 1830, birokrasi disusun. Apa jiwa zaman yang melingkupi periode itu? Perang Jawa (1825–1830) baru saja usai, Revolusi Belgia sedang berlangsung, dan kekacauan keuangan mengintai negara yang baru lahir itu. Dengan demikian, kesangkilan birokrasi untuk dapat menyelamatkan negara sangatlah dibutuhkan.
Untuk itu, mendirikan suatu birokrasi Eropa yang berisi orang-orang Eropa saja merupakan pilihan yang sangat tidak bijaksana. Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch yang baru menjabat (1830–1833) punya ide cemerlang untuk menyelamatkan Belanda yang baru kehilangan Belgia dari krisis ekonomi.
Idenya adalah cultuurstelsel, penanaman wajib bagi petani Jawa dengan memanfaatkan dua puluh persen lahan yang ia miliki. Hal yang akan menjelma menjadi sistem tanam paksa.
Kolonialisme yang Berdiri di Atas Pilar Tradisional
Untuk ini, Belanda membutuhkan tangan birokrasi bumiputra. Lahirlah pertalian unik antara para pejabat Eropa di sistem birokrasi Eropa yang bernama Binnenlandsch Bestuur (BB) dan para pejabat tradisional bumiputra dalam sistem birokrasi keraton yang oleh orang Eropa disebut Inlandsch Bestuur atau Pangreh Praja.
Keduanya berjalan berdampingan dan, secara teoretis, Pangreh Praja adalah pihak eksekutor kebijakan. Golongan inilah yang berurusan secara langsung dengan rakyat kebanyakan. Namun, dalam pembuatan kebijakan, Pangreh Praja harus berkonsultasi kepada orang-orang yang ada dalam jajaran birokrasi Eropa.
Birokrasi Eropa itu terdiri dari gubernur, residen, asisten residen, dan lainnya. Sedangkan birokrasi bumiputra terdiri dari patih, bupati, wedana, dan lainnya. Masing-masing pejabat tradisional akan memiliki rekannya yang “sederajat” dalam birokrasi Eropa.
“[…] Hubungan antara bupati [regent] dan asisten residen layaknya kakak dan adik”, tulis H.W. van den Doel dalam De stille macht: Het Europese binnenlands bestuur op Java en Madoera, 1808–1942 (1994), mereka disebut bekerja bersama dan seharusnya saling berkonsultasi.
Artinya, kedudukan superior orang Eropa dalam birokrasi itu tidak dapat secara sederhana dijalankan dengan sewenang-wenang. Ketidaksukaan hati para penguasa bumiputra dapat meruntuhkan kekuasaan kolonial sebab kolonialisme sendiri berdiri di atas pilar-pilar birokrasi tradisional.
Dari sini, kita tak dapat melihat kekuasaan kolonial sebagai sebuah kekuatan yang absolut, penuh kuasa, dan tidak tergantung pada orang bumiputra. Kekuatan kolonial menggunakan dan digunakan oleh orang-orang bumiputra dalam sejarah kita.
Penulis: Christopher Reinhart
Editor: Irfan Teguh Pribadi