tirto.id - Malam Sabtu (27/01/1899), bertepatan dengan hari ke-15 Ramadan 1316 Hijriah, rombongan pria tak dikenal berbondong-bondong menuju suatu tempat di sekitar Kauman, Yogyakarta. Jumlahnya tak menentu, sekira 20-an orang.
Imron Mustofa, penulis buku K.H. Ahmad Dahlan: Si Penyantun (2018) menerangkan para pria itu menenteng beraneka alat tani. Ada yang membawa linggis, kapak, cangkul, hingga sabit. Namun, mereka jelas tak bermaksud hendak bertani malam hari.
Di tempat lain dan waktu yang bersamaan, surau milik Ahmad Dahlan yang kesohor dengan nama Langgar Kidul sedang dipenuhi oleh jemaah. Beberapa orang mengaji Al-Quran, sebagian yang lain berdiskusi.
Tak berselang lama, suasana langgar sontak berubah tegang. Rupanya, rombongan tadi bergerak menuju surau Ahmad Dahlan. Sesampainya di selasar, mereka memekik, "Ayo, cepat bubar! Surau ini akan dirobohkan, akan dihancurkan!"
Keadaan di dalam surau berubah total. Para jemaah mendadak bingung. Mereka tak menahu pasti duduk perkara keributan. Para jemaah yang kelewat cemas, memilih menyingkir.
Begitu surau kosong, gerombolan perusuh tadi buru-buru merobohkan Langgar Kidul. Alat-alat tani yang mereka bawa ternyata dipakai memapras bangunan surau hingga rata dengan tanah. Setelah rampung menjalankan misi, mereka buru-buru bedol.
Sementara itu, Ahmad Dahlan tak lagi di TKP. Kebetulan pada waktu yang bebarengan, ia sedang mengisi pengajian di tempat lain. Tentu sewaktu datang ke surau, ia kaget bukan main.
"Astaghfirullah ... Astaghfirullah ....," celetuk Ahmad Dahlan—mengutip dari Susatyo Budi Wibowo, Dahlan Asy'ari: Kisah Perjalanan Wisata Hati (2011). Dahlan amat kecewa melihat Langgar Kidul yang berdiri di atas tanah keluarganya ludes ambruk. Tinggal puing-puingnya saja yang tersisa.
Akibat Polemik Meluruskan Arah Kiblat
Insiden perobohan Langgar Kidul berhulu dari polemik pelurusan arah kiblat. Ahmad Dahlan belum lama mewacanakan koreksi arah hadap salat ketika suraunya diamuk.
Kisah dimulai tatkala Ahmad Dahlan--setelah tidak lagi memakai nama Muhammad Darwis--pulang dari Makkah tahun 1888. Di Makkah, Dahlan sempat memperdalam pengetahuan Islam selama 5 tahun sejak 1883. Ia baru berusia 20-an tahun saat pulang kampung dari tanah suci.
Abdul Mu'thi dkk. melalui K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923) (2015) memaparkan, Dahlan berguru kepada ulama-ulama besar di Makkah. Salah satunya ialah ulama asal Minangkabau yang menetap di tanah suci, Syekh Ahmad Chatib. Nama terakhir menjadi guru bagi banyak santri asal Indonesia yang belajar di Makkah selama era peralihan abad 19 ke 20.
Selain Ahmad Dahlan, sosok populer lain yang juga menimba ilmu dari Syekh Chatib ialah Hasyim Asy'ari. Kelak Dahlan mendirikan Muhammadiyah, sementara Asy'ari membentuk Nahdlatul Ulama (NU).
Beberapa tahun usai pulang dari Makkah, Dahlan dipercaya menjadi Khatib Amin di Masjid Besar Kauman, Yogyakarta pada 1896. Posisi ini semula milik ayahnya, Kiai Abu Bakar, sebelum wafat di tahun yang sama.
Namun, langkah Ahmad Dahlan sewaktu menjadi Khatib Amin menuai kontroversi. Upayanya yang hendak mengoreksi arah kiblat Masjid Besar Kauman mendapat penolakan.
Pasalnya, lingkungan keislaman di Kauman belum ajeg menerima modernisasi zaman. Sementara itu, Ahmad Dahlan datang membawa gagasan anyar yang belum familier dengan kultur tradisional umat Islam di Yogya. Dahlan memakai pendekatan baru dalam penentuan arah kiblat.
Dia menganjurkan agar arah kiblat berbanding lurus dengan lokasi Ka'bah. Sakirman lewat ulasan bertajuk "K.H. Ahmad Dahlan dan Gerakan Pelurusan Arah Kiblat di Indonesia" yang terbit di Jurnal Akademika (Vol. 17, 2012), mencatat Dahlan menilai arah kiblat Masjid Besar Kauman kala itu tak tepat. Arah kiblat masjid lurus ke barat segaris dengan Benua Afrika. Menurut Dahlan, kiblat yang mengarah benar ke Masjidil Haram condong ke barat laut lebih 23 derajat.
Sebagian tokoh pemuka agama Islam yang lebih senior di sekitar Kauman menolak seruan Dahlan, termasuk pejabat keagamaan di Keraton Yogyakarta. Salah satu yang paling keras menolak ialah Kepala Penghulu Keraton, Cholil Kamaludiningrat. Ia dan kelompoknya menuduh Dahlan berusaha melunturkan kewibawaan Kesultanan Yogyakarta dan Masjid Besar Kauman.
Ketegangan lantas memuncak dengan penggerudukan dan perobohan Langgar Kidul. Dahlan dan jemaahnya dituding sesat, bahkan 'kafir'. Laporan yang ditulis Syuja' dalam Islam Berkemajuan; Kisah Perjuangan KH Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah Masa Awal (2009) menyimpulkan sang kepala penghulu punya andil besar dalam perusakan Langgar Kidul.
Kanjeng Penghulu Cholil Kamaludiningrat tercatat meninggal dunia pada 1914, sekitar 2 tahun usai Persyarikatan Muhammadiyah berdiri. Posisinya di Keraton lantas dipegang Muhammad Sangidu, anggota resmi Muhammadiyah dengan nomor 00001, sekaligus pencetus nama organisasi besutan Ahmad Dahlan tersebut.
Langgar Kidul dan Awal Gerakan Pendidikan Kiai Dahlan
Setelah insiden pada 1899, bangunan Langgar Kidul didirikan kembali dengan bantuan tenaga dari murid-murid Ahmad Dahlan. Sokongan dana untuk pendirian ulang surau ini mengalir dari kakak ipar Dahlan, Kiai Sholeh.
Sekitar 4 tahun setelah insiden perobohan Langgar Kidul, Ahmad Dahlan memutuskan untuk naik haji yang kedua kalinya. Kali ini, ia bermukim di Makkah selama tahun 1903-1904.
Seturut catatan Ridho Al-Hamdi dalam Paradigma Politik Muhammadiyah: Epistemologi Berpikir dan Bertindak Kaum Reformis (2020), kepergian Dahlan ke Makkah pada 1903 atas dorongan Sultan Hamengkubuwono VII. Selama di Makkah, dia berinteraksi dengan seorang tokoh reformis Islam, Rasyid Ridha. Komunikasi keduanya memberikan kesempatan pada Dahlan untuk mendalami pemikiran Muhammad Abduh, pembaharu asal Mesir sekaligus guru Rasyid Ridha.
Sepulang dari Makkah pada 1904, ia semakin aktif mengajar agama di Yogya. Dahlan memegang prinsip al-muhaafazatu 'ala al-qadim as-shaalih wa al-akhdzu bi al-jadiid al-ashlah. Maka itu, ia tak ragu memperkenalkan pendidikan Islam yang mengadopsi konsep ala sekolah pemerintah kolonial Belanda.
Langgar Kidul, surau peninggalan ayahandanya lantas tak hanya digunakan sebagai sarana ibadah, tetapi juga pendidikan. Surau dijadikan arena diskusi Dahlan dengan murid-muridnya.
Langgar Kidul selanjutnya menjadi pusat aktivitas Ahmad Dahlan dalam menggembleng sejumlah pemuda. Kelak murid-murid Dahlan berperan penting di era awal perkembangan Muhammadiyah. Surau ini sekaligus menjadi saksi gerakan pembaruan pendidikan yang dipelopori oleh Dahlan.
Menyitir penjelasan Ahmad Adaby Darban yang terhimpun dalam buku kumpulan makalah Seminar Sejarah Nasional III Seksi Pascakuno (1982:62), Dahlan mengawali pembaruan sistem pengajaran di Langgar Kidul dengan membuat ruang-ruang kelas yang menempati bagian halaman. Sejumlah kelas dilengkapi bangku-bangku dan papan tulis yang terbuat dari kayu bekas pakai. Perubahan ini membikin metode pengajaran secara lesehan dan sorogan tidak lagi diterapkan.
Dahlan kemudian memasukkan materi pelajaran umum untuk pelengkap pengajaran ilmu agama. Menurut Adaby Darban (1982), ilmu umum yang mula-mula diajarkan pada murid-murid Langgar Kidul adalah menulis huruf Latin, berhitung, dan ilmu bumi. Terhitung sejak tahun 1913, aktivitas belajar-mengajar di Langgar Kidul disebut sebagai Sekolah Kiai.
Tiga tahun kemudian, Sekolah Kiai sudah berjalan dengan 4 kelas dan mendidik sekitar 150 murid. Berkat bantuan pengurus Boedi Oetomo, sekolah itu mendapatkan subsidi dan persamaan menjadi Volksschool (Sekolah Desa 3 tahun). Namanya beralih jadi Volksschool Moehammadijah Kaoeman pada 1916. Sejak itulah, gerakan pendidikan Muhammadiyah terus bertumbuh hingga melahirkan banyak sekolah di berbagai daerah.
Menukil dari sebuah laporan penelitian di jurnal Widya Prabha (2015), wujud Langgar Kidul pada masa sekarang berupa gedung dua lantai. Di lantai bawah depan, terlihat dua pintu masuk utama berdampingan. Di atasnya, masing-masing terdapat ventilasi berupa jendela yang tertutup kawat strimin. Bagian samping pintu dibikin terbuka untuk memudahkan penerangan alami masuk.
Di bagian dalam, terdapat ruangan utama dan tempat untuk salat. Kemudian di sisi selatan surau, disediakan tangga menuju ke lantai atas. Bentuk ruangan di lantai atas tak jauh berbeda dengan lantai bawah. Namun, ruangan ini jarang dipakai. Sesekali jika ada pengunjung menginap, mereka dipersilahkan menuju ke atas.
Kini, demi menjaga nilai historis dan napak tilas Muhammadiyah, dibangunlah prototipe yang mirip dengan bangunan asli Langgar Kidul. Di lantai bawah, terpampang catatan visual perjalanan K.H. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah. Adapun di bagian utara—yang dulu digunakan sebagai kelas—dibangun tempat PAUD untuk anak-anak penduduk lokal.
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Addi M Idhom