Menuju konten utama

Sejarah Kota Batu Berawal dari Gunung Panderman

Peradaban di kaki Gunung Panderman konon mengawali sejarah Kota Batu, Jawa Timur.

Sejarah Kota Batu Berawal dari Gunung Panderman
Asap terlihat mengepul dari puncak dan lereng Gunung Panderman, Kota Batu, Jawa Timur, Senin (22/7/2019). ANTARAFOTO/Ari Bowo Sucipto

tirto.id - Kebakaran melanda hutan di lereng Gunung Panderman sejak Minggu (22/7/2019) lalu. Gunung ini berada di wilayah Kota Batu, tak jauh dari Malang, Jawa Timur. Maka tak heran jika sejarah Kota Batu terkait erat dengan keberadaan Gunung Panderman.

Setidaknya seluas 60 hektare area lereng Gunung Panderman dilalap si jago merah dengan tiga titik pusat kebakaran, yakni di lereng sisi timur dan utara serta puncak. Upaya pemadaman cukup sulit dilakukan karena terkendala medan yang curam.

Evakuasi pun segera dilakukan terhadap pendaki di gunung yang berlokasi di wilayah Dusun Toyomerto, Desa Pesanggrahan, Kota Batu, dengan ketinggian 2.045 meter dari permukaan laut (mdpl) ini. Hingga Senin (23/7/2019) dilaporkan bahwa semua pendaki sudah berhasil dievakuasi.

Penamaan Gunung Panderman sendiri ada sejarahnya. Dikutip dari govserv.org, Panderman diambil dari nama orang Belanda yakni Van Der Man. Konon, ia sering mendaki gunung tersebut. Hingga akhirnya, gunung itu dikenal dengan nama Gunung Van Der Man yang dilafalkan dengan pengucapan lokal menjadi Panderman.

Primadona di Zaman Belanda

Gunung Panderman menjadi salah satu ikon Kota Batu. Tempat yang terkenal dengan kesejukannya ini memang menjadikan sektor pariwisata sebagai daya tarik andalannya.

Batu semula termasuk salah satu kecamatan di Kabupaten Malang. Pada 6 Maret 1993, Batu ditetapkan menjadi kota administratif, dan sejak tanggal 17 Oktober 2001, wilayah ini resmi berstatus kota otonom yang terpisah dari Kabupaten Malang.

Selain Panderman, ada dua gunung lainnya di Batu, yakni Gunung Butak dan Gunung Kawi. Jika digabungkan, ketiga gunung ini membentuk siluet putri tidur. Butak membentuk kepala, Kawi menggambarkan dada atau tangan, sedangkan Panderman mengilustrasikan bentuk kaki.

Sejak era kolonial Hindia Belanda, siluet putri tidur di Batu sudah menjadi primadona. Seorang arsitek Belanda bernama Herman Thomas Karsten dengan rinci menjadikan pemandangan mengagumkan ini sebagai landmark.

Dikutip dari penelitian Handinoto bertajuk “Perkembangan Kota Malang pada Jaman Kolonial (1914-1940)” dalam jurnal Dimensi (September 1996) terbitan Fakultas Teknik Arsitektur Universitas Kristen Petra Surabaya, Karsten adalah penasihat perencanaan Kota Malang pada 1929 hingga 1935.

Karsten melihat siluet putri tidur yang terangkai dari tiga gunung di Batu sangat indah dan menarik. Ia kemudian membangun perumahan dan jalan di Kota Malang, yang kala itu diperuntukkan khusus bagi orang Belanda, dengan latar belakang siluet putri tidur tersebut.

Riwayat Panderman & Kota Batu

Sekira seabad sebelum masa Karsten, Gunung Panderman menyimpan riwayat lainnya. Dikutip dari artikel “Sejarah Kota Batu” dalam SitusBudaya.id, gunung ini pernah menjadi lokasi persembunyian Abu Ghonaim yang konon termasuk pengikut setia Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825-1830).

Abu Ghonaim dikenal juga dengan nama Mbah Wastu atau Mbah Mbatu. Boleh jadi, penamaan Kota Batu berasal dari julukan ini. Abu Ghonaim berasal dari suatu daerah di Jawa Tengah dan menjalankan taktik gerilya seperti halnya yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro.

Strategi gerilya inilah yang membawa Abu Ghonaim dan para pengikutnya sampai ke Gunung Panderman untuk menghindari pengejaran dari tentara Belanda. Setelah Perang Jawa berakhir pada 1830 seiring ditangkapnya Pangeran Diponegoro dengan cara licik oleh Belanda, Abu Ghonaim tetap bertahan di kaki Gunung Panderman.

Dikutip dari buku Asal-usul Kota-kota di Indonesia Tempo Doeloe (2013) karya H.M. Zaenuddin, Abu Ghonaim membuka hutan di lereng gunung untuk memulai kehidupan baru. Pengalaman dan pengetahuan Abu Ghonaim yang diperoleh dari Pangeran Diponegoro membuat orang-orang berdatangan untuk berguru dan belajar agama.

Berkat keberadaan Abu Ghonaim alias Mbah Wastu, masyarakat yang sebelumnya terpisah-pisah dalam berbagai komunitas dan tersebar kemudian menyatu di sekitar lereng Gunung Panderman itu. Lama-kelamaan setelah Abu Ghonaim wafat, wilayah ini dikenal dengan nama Batu, atau tempatnya Mbah Wastu.

Masih dikutip dari tulisan H.M. Zaenuddin dalam bukunya, wilayah Batu sebenarnya sudah diketahui sejak abad ke-10 Masehi atau pada zaman Kerajaan Medang yang merupakan bagian dari riwayat Dinasti Mataram Kuno. Kerajaan Medang pernah berpusat di Jawa bagian timur, yakni di dekat Jombang dan Madiun.

Konon, Raja Medang memerintahkan orang kepercayaannya yang bernama Mpu Supo agar mencari lokasi untuk dibangun sebagai tempat peristirahatan keluarga kerajaan. Akhirnya, Mpu Supo menemukan kawasan yang kini dikenal sebagai Kota Batu.

Kini, lokasi tersebut menjadi obyek wisata Songgoriti dan terdapat Candi Supo di area itu. Keterkaitan antara versi Mbah Wastu dengan versi Mpu Supo mengenai asal-usul Kota Batu memang belum diketahui pasti. Namun, setidaknya terungkap bahwa sejarah Kota Batu bermula dari kaki Gunung Panderman.

Baca juga artikel terkait KEBAKARAN HUTAN atau tulisan lainnya dari Rachma Dania & Iswara N Raditya

tirto.id - Humaniora
Kontributor: Rachma Dania
Penulis: Rachma Dania & Iswara N Raditya
Editor: Iswara N Raditya