Menuju konten utama

Sejarah Keluarga K.H. Ahmad Dahlan & Netralitas Muhammadiyah

Pendiri Muhammadiyah K.H. Ahmad Dahlan memiliki lebih dari satu istri dan kini telah membentuk keluarga besar.

Sejarah Keluarga K.H. Ahmad Dahlan & Netralitas Muhammadiyah
K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. tirto.id/Gery

tirto.id - Salah satu cicit K.H. Ahmad Dahlan mengklaim keluarga besarnya mendukung Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno di Pilpres 2019. Sejarah mencatat, sang pencerah punya lebih dari satu istri sehingga keturunannya pun amat banyak. Sementara itu, Muhammadiyah sebagai institusi telah menegaskan bersikap netral dalam pesta demokrasi nanti.

“Jadi memang kami dari keluarga [K.H .Ahmad Dahlan] sudah sepakat mendoakan untuk benar-benar Prabowo jadi presiden. Lima tahun lalu kami juga mendoakan Prabowo untuk jadi orang nomor satu,” kata Jam'an, salah seorang cicit Ahmad Dahlan.

Jam’an mengucapkan dukungannya saat Sandiaga Uno mengunjungi Kantor Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Yogyakarta, Jumat (22/3/2019). Namun, apakah keberpihakan Jam’an kepada Prabowo-Sandiaga telah diamini pula oleh seluruh anggota keluarga besar Ahmad Dahlan, juga warga Muhammadiyah?

Keluarga Besar Sang Pencerah

Artikel bertajuk "Mengapa K.H. Ahmad Dahlan Berpoligami? Inilah Penjelasan yang Diungkap oleh Keluarga Besarnya" tulisan M. Nurfatoni yang dimuat dalam situs web Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWMU) Jawa Timur menyebutkan bahwa ulama besar asal Yogyakarta ini memiliki empat orang istri.

Istri pertama Ahmad Dahlan adalah Siti Walidah yang terbilang masih sepupunya, putri ulama dan pejabat agama dari lingkungan Keraton Yogyakarta, Kiai Haji Muhammad Fadli. Dahlan menikahi Siti Walidah pada 1889, setahun setelah kepulangannya dari Makkah. Siti Walidah nantinya dikenal dengan nama Nyai Ahmad Dahlan, tokoh Aisyiyah dan pergerakan perempuan nasional.

Dalam buku Ulama Perempuan Indonesia (2002) yang dihimpun Jajat Burhanuddin dan kawan-kawan, pernikahan pertama ini dikaruniai enam orang anak, yaitu Siti Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Siti Aisyah, Erfan Dahlan, dan Siti Zuharoh.

Anak ke-5, Erfan Dahlan, dikirim belajar ke Pakistan dan India pada sekitar 1930-an. Dalam perjalanan pulang, ia singgah di Thailand. Namun situasi politik di tanah air yang tak kondusif kala itu membuat Erfan memilih menetap di Thailand hingga wafatnya pada 1967.

Erfan membangun keluarga di Thailand dan memiliki 10 orang anak. “Ayah tidak mau bercerita apapun soal politik di Indonesia pada anak-anaknya. Dia hanya selalu mengingatkan bahwa kami adalah keturunan K.H. Ahmad Dahlan, berasal dari Indonesia dan memiliki banyak saudara di sana,” ungkap Mina Dahlan, salah satu anak Erfan, seperti dilansir JPNN (17/6/2013).

Istri kedua Ahmad Dahlan bernama Raden Ayu Soetidjah Windyaningrum. Soetidjah adalah putri keraton, seorang janda muda yang oleh Hamengkubuwana VII (1877-1921) diserahkan kepada Ahmad Dahlan untuk dinikahi. Soetidjah dikenal pula dengan nama Nyai Abdullah, mengambil nama mendiang suami sebelumnya.

Widiyastuti dalam Kenangan Keluarga terhadap K.H.A. Dahlan dan Nyai Ahmad Dahlan (2010) menjelaskan, sebagai abdi dalem, tentunya Dahlan tidak dapat menolak titah HB VII. Ini juga menandakan bahwa Sultan merestui pembaharuan Islam oleh Dahlan dan Muhammadiyah yang berbasis di Kampung Kauman. Kampung ini merupakan basis ulama keraton.

Dengan demikian, Ahmad Dahlan memperistri Soetidjah atau Nyai Abdullah dengan alasan dakwah. Soetidjah tidak tinggal satu rumah dengan istri pertama, Siti Walidah. Namun perkawinan kedua ini tidak berlangsung lama. Kiai Dahlan menceraikan Soetidjah dan dikaruniai seorang putra bernama R. Dhurie.

Misi dakwah kembali menjadi motivasi pernikahan Ahmad Dahlan yang ketiga. Pernikahan Kiai Dahlan berikutnya dilakukan atas dasar permintaan sahabatnya, Kiai Munawar, seorang pemuka Nahdlatul Ulama (NU) yang mengasuh pondok pesantren di Krapyak, Yogyakarta.

Kiai Munawar mengharapkan Ahmad Dahlan bersedia menikahi adiknya yang bernama Nyai Rum. Dipaparkan dalam buku K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923) yang disusun Abdul Mu'ti, Abdul Munir Mulkhan, dan Djoko Marihandono, pernikahan ini bertujuan untuk memperkokoh kerja sama antara NU dan Muhammadiyah.

Sama seperti perkawinan yang kedua, pernikahan dengan Nyai Rum juga tidak langgeng. Bahkan, sebut M. Nurfatoni dalam artikelnya, perkawinan ketiga ini disebut-sebut dilakukan hanya demi status. Pasangan ini kemudian berpisah sebelum sempat memiliki anak.

Pernikahan ke-4 terjadi saat Ahmad Dahlan berdakwah di Cianjur, Jawa Barat. Oleh seorang penghulu bangsawan di sana, Kiai Dahlan dimohon berkenan menikahi putrinya yang bernama Nyai Aisyah.

Tokoh masyarakat Cianjur itu rupanya ingin memperoleh keturunan dari Kiai Dahlan. Maka, ia tidak menuntut Dahlan tinggal bersama putrinya setelah menikah. Perkawinan pun dilangsungkan. Dari istrinya yang ketiga, Ahmad Dahlan dianugerahi seorang anak perempuan yang diberi nama Siti Dandanah.

Yunus Salam dalam Riwayat Hidup KHA. Dahlan: Amal dan Perjuangannya (1968) sempat menyinggung Kiai Dahlan pernah menikah pula dengan seorang wanita dari Kadipaten Pakualaman bernama Nyai Yasin. Buku ini lantas dijadikan rujukan, termasuk tulisan tentang profil K.H. Ahmad Dahlan yang tercantum di situs web resmi Muhammadiyah.

Netralitas Muhammadiyah

K.H. Ahmad Dahlan memiliki 8 orang anak dari istri-istrinya. Lahirlah 31 orang cucu dari garis keluarga ini, belum termasuk cicit dan seterusnya. Maka tak heran bahwa trah Ahmad Dahlan menghimpun anggota keluarga yang cukup banyak, termasuk salah satu cicitnya, Jam’an, yang menyatakan dukungan terhadap pasangan Prabowo-Sandiaga.

Jam’an juga meminta kepada Sandiaga Uno agar lebih memperhatikan Muhammadiyah jika terpilih sebagai penguasa nanti. Menurutnya, Muhammadiyah selama ini ditelantarkan pemerintah.

“Tolong kepada Pak Sandi, Insya Allah kalau Allah menakdirkan Pak Prabowo dan Pak Sandi sebagai presiden kita, tolong gandeng tangan Muhammadiyah erat-erat,” harap Jam’an.

Muhammadiyah sendiri sudah menegaskan netral dalam Pilpres 2019 nanti, kendati tetap membebaskan warganya melabuhkan pilihan secara personal. “Insya Allah [Muhammadiyah] netral aktif,” tandas Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, Kamis (7/2/2019).

“Netral dalam arti tidak partisan di dalam percaturan politik ini. Aktif untuk menjaga dan merawat bangsa dan kontestasi ini agar berlangsung politik yang sehat, demokrasi, beretika dan menjunjung kebersamaan,” tambahnya.

Infografik Silsilah keluarga ahmad dahlan

undefined

Haedar mempersilakan warga Muhammadiyah menentukan dukungan di pilpres nanti, asalkan jangan membawa-bawa nama perhimpunan yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan pada 1912 ini.

“Yang kami selalu tegur, jangan membawa nama institusi Muhammadiyah, bergeraklah sebagai kelompok-kelompok relawan, atau kelompok kepentingan yang sifatnya tidak membawa Muhammadiyah," tegas Haedar.

Di sisi lain, pernyataan Jam’an mendapat respons dari mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Syafi'i Maarif. Ia tidak mempersoalkan sokongan Jam’an kepada Prabowo-Sandi, namun tidak elok jika nama Muhammadiyah sebagai institusi turut dibawa-bawa. “Ya tidak lah, Muhammadiyah secara organisasi itu ‘kan netral,” kata Buya Syafi'i.

Guru besar ilmu sejarah Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) ini menegaskan bahwa warga Muhammadiyah banyak dan beragam. Soal pilihan politik itu berbeda-beda, termasuk dirinya yang juga punya pilihan.

“Tidak ada cerita itu [mewakili Muhammadiyah]. Warga negara ‘kan bebas. Itu siapa? ‘Kan [warga] Muhammadiyah banyak sekali. Mereka punya pilihan masing-masing sebagai warga negara itu sah saja. Asal jangan memfitnah terpapar oleh kultur hoaks dan segala macam," tegasnya.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Politik
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan