tirto.id - Memasuki bulan Agustus 2021, pemburuan Harun Masiku, tersangka kasus suap komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan, memasuki babak baru. Masiku secara resmi telah menjadi buronan internasional setelah Komisi Polisi Kriminalitas Internasional (Interpol) menerbitkan red notice atau pemberitahuan buronan internasional kepada seluruh penegak hukum di seluruh dunia agar menangkap orang yang dicari.
Kabar ini membawa sedikit angin segar dalam langkah pengejaran Masiku. Apalagi jika melihat pada satu dekade terakhir, pencarian tersangka kasus besar di Indonesia dapat diselesaikan berkat kerjasama dan peran Interpol. Salah satu yang paling terkenal ialah ditangkapnya tersangka suap wisma atlet, M. Nazaruddin, di Kolombia pada 2011.
Interpol dibentuk atas keinginan sejumlah lembaga kepolisian dari beberapa negara untuk membuat jaringan bersama yang melintasi batas negara untuk menyelesaikan permasalahan kriminal. Kerjasama kepolisian lintas negara ini berakar di Eropa pada tahun 1848 ketika terjadi gejolak politik regional yang kelak dikenal dengan Revolusi 1848.
Saat itu terdapat gerakan rakyat berskala besar di sejumlah negara, seperti Jerman dan Prancis, yang ingin meruntuhkan pemerintahan monarki nan otoriter lalu menggantikannya dengan negara bangsa yang merdeka dan demokratis. Rakyat ingin menggulingkan pemerintahan yang sedang berkuasa, sementara penguasa bersikukuh mempertahankan kekuasaannya. Dalam kondisi ini, pemerintah menggunakan kepolisian untuk meredam gerakan rakyat.
Sebagai alat negara, kepolisian diperkuat dari segi manajemen internal, persenjataan, strategi lapangan, dan sebagainya untuk menyudahi gerakan rakyat. Salah satu kebijakan penguatan itu ialah keharusan kepolisian untuk melihat perkembangan politik di luar negeri. Tujuannya untuk mengantisipasi gerakan revolusioner di negara lain yang dikhawatirkan menginspirasi gerakan di dalam negeri dalam menggulingkan pemerintahan. Berawal dari sini, lembaga kepolisian mulai mengadakan kerjasama dengan negara lain agar dapat bertukar informasi intelijen tentang dinamika masing-masing negara.
Akan tetapi, bentuk nyata dari kerjasama ini baru terjadi tiga tahun kemudian ketika kepolisian Prusia, Austria, Hanover, Baden, Württemberg, Bavaria, dan Sachsen membentuk Serikat Polisi Negara Jerman atau Police Union of German States. Pembentukan ini selain didasari oleh gejolak politik dalam negeri juga disebabkan karena meningkatnya gerakan revolusioner di Eropa, yang dapat mengancam stabilitas masing-masing negara. Dalam perjalanannya perkumpulan ini kerap membagikan informasi penting melalui pamflet dan telegram.
Namun, usia Serikat Polisi Negara Jerman ini singkat setelah bubar pada tahun 1866. Peneliti University of South Carolina Mathieu Deflem dalam “Bureaucratization and Social Control: Historical Foundations of International Police Cooperation” (2000) menyebut, penyebab bubarnya aliansi itu karena coraknya yang sangat kultural dan ideologis. Serikat Polisi Negara Jerman tidak bekerjasama atau menambah jejaring keanggotaan dengan negara lain, seperti Prancis, Inggris, Italia, dll, dengan alasan memiliki perbedaan budaya dan ideologis. Alhasil, keanggotaan mereka sangat terbatas dan tertutup. Pembubaran tersebut semakin cepat ketika Perang Prusia-Austria (1866) meletus.
Sejak Serikat Polisi Negara Jerman bubar, keinginan kepolisian di Eropa untuk bersatu dalam sebuah organisasi terus meredup. Salah satu penyebabnya adalah saat itu kepolisian cukup khawatir jika terbentuknya kerjasama antarpenegak hukum dapat menimbulkan bocornya informasi rahasia suatu negara yang justru dapat mengancam kedaulatan. Pandangan seperti inilah yang menempel lama dalam alam pikiran institusi kepolisian Eropa.
Meskipun pada tahun 1898 di Italia dilaksanakan Konferensi Anti-Anarkis Roma yang mengundang pihak kepolisian dari negara-negara Eropa guna merumuskan kerjasama regional dalam rangka mencegah kemunculan gerakan anarki, langkah tersebut tetaplah berakhir dengan kegagalan.
Memasuki abad ke-20 situasi berubah. Kepolisian mulai memandang penting kerjasama global yang mengabaikan aspek persamaan budaya dan ideologis guna mengatasi aksi kriminalitas lintas negara yang lebih luas. Perubahan pandangan ini tidak terlepas dari semakin maraknya aksi kriminalitas dan meningkatnya jumlah buron di dunia, khususnya Eropa, sehingga dibutuhkan penanganan lintas batas.
Pada tahun 1914 untuk pertama kalinya dilaksanakan Kongres Polisi Kriminal Internasional di Monako. Perhelatan ini menjadi titik balik dalam perkembangan kerjasama global kepolisian karena negara dari luar Eropa juga bergabung untuk merumuskan organisasi polisi global. Mereka sepakat untuk berbagi informasi terkait aksi kriminalitas; saling berbagi kontak antarlembaga dan menghasilkan standar pemulangan buron internasional.
Meski demikian, masih menurut Mathieu Deflem, kongres tersebut tidak bisa dikatakan sebagai aksi nyata kepolisian dalam membuat organisasi global. Pasalnya, acara itu justru lebih banyak dihadiri para politikus alih-alih polisi. Akibatnya mereka yang tidak paham dengan dinamika kepolisian, luput dalam membuat keputusan dengan mempertimbangkan birokrasi dan manajemen kepolisian.
Selain itu, kongres juga sangat kental dengan nuansa politis. Banyak ahli yang berpendapat bahwa perhelatan itu hanya upaya Pangeran Monako, Albert I, meningkatkan kedigdayaan Monako dalam panggung politik internasional. Terlepas dari perdebatan itu, hasil Kongres Polisi Kriminal Internasional 1914 tak berjalan mulus karena keburu terjadi Perang Dunia I (1914-1918). Seluruh aktivitas terkait kerjasama kepolisian terpaksa berhenti dan harus menunggu keadaan stabil.
Usai perang, kesadaran kerjasama kepolisian tak segera muncul. Baru pada 7 September 1923, tepat hari ini 98 tahun silam, Presiden Departemen Kepolisian Wina, Austria, Johannes Schober, menginisiasi Kongres Polisi Kriminal Internasional di Wina. Schober meminta polisi dari masing-masing negara sahabat di benua Asia, Afrika, dan Amerika, untuk hadir di Wina untuk merumuskan kembali aturan-aturan terkait kerjasama lintas batas antarkepolisian di seluruh dunia.
Dari kongres ini lahirlah Komisi Polisi Kriminalitas Internasional (International Criminal Police Commission) sebagai organisasi kerjasama antarkepolisian pertama di dunia yang tanpa segregasi kultural atau ideologi. Schober menetapkan aturan dasar Interpol bahwa masing-masing negara anggota wajib bertukar informasi terutama pemberitahuan tentang buron yang diterima dari institusi kepolisian.
Selain itu, Schober juga berupaya meyakinkan para anggota bahwa organisasi ini tidak ada unsur politis, akan selalu bersikap independen, dan tidak perlu khawatir terjadi kebocoran informasi strategis yang dapat mengganggu kedaulatan nasional. Setelah 98 tahun, Interpol kini memberikan dukungan teknis dan operasional bagi setiap negara anggota dalam menjalankan penyelidikan kasus guna membuat dunia menjadi tempat yang lebih aman.
Editor: Irfan Teguh