Menuju konten utama

Sejarah Hidup Ulung Sitepu, Gubernur Kiri dari Sumatra Utara

Di era Revolusi, Ulung Sitepu ikut berjuang bersama Pesindo. Ikut tergulung usai Peristiwa G30S 1965 karena dianggap simpatisan komunis.

Sejarah Hidup Ulung Sitepu, Gubernur Kiri dari Sumatra Utara
Ilustrasi Ulung Sitepu Gubernur Yang Dicap Kiri. tirto.id/Fuad

tirto.id - Banyak golongan yang ikut berjuang di era Revolusi 1945-1949. Namun, orang-orang yang terkait dengan PKI, umumnya tidak mendapat pengakuan yang layak. Ulung Sitepu adalah salah satunya. Lebih-lebih, Ulung yang kemudian jadi Gubernur Sumatra Utara pada 1960-an memberi angin kepada PKI untuk berkembang di sana.

Ulung Sitepu yang kelahiran 1917 ini aktif berorganisasi sejak muda. Koran Sinar Deli (27 Juli 1933) menyebut Ulung terpilih sebagai sekretaris perkumpulan olahraga Sinar Sport. Setelah Indonesia merdeka, Ulung ikut pula turun jadi kombatan membela Republik Indonesia. Seperti disebut A.R. Surbakti dalam Perang kemerdekaan Volume 1-2 (1978, hlm. 88), Ulung pernah menjadi Ketua Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) di Karo, Sumatra Utara. Di akhir Revolusi, dia masuk dalam TNI Sumatra Utara dengan pangkat kapten.

Nama Ulung disebut dalam autobiografi Alex Kawilarang Untuk Sang Merah Putih (1998, hlm. 148) yang disusun Ramadhan KH. Sewaktu pecah Agresi Militer Belanda II, Kapten Ulung dan pasukannya memasuki daerah Gunung Sinabung. Pasukan di sekitar tempat itu, menurut Alex Kawilarang yang kala itu menjadi komandan TNI di Tapanuli, begitu percaya diri menghadapi Belanda.

Waktu Komando Tentara dan Teritorium Bukit Barisan yang membawahi sisi utara Pulau Sumatra terbentuk, Ulung meneruskan karirnya di militer. SeturutGema Bukit Barisan Volume 10 (1982, hlm. 32), Kapten Ulungkemudian ditunjuk menjadi Komandan Batalyon Infanteri 114 pada 1950. Pada November tahun itu, batalyon pimpinan Ulung itu dikirim untuk membantu Komando Indonesia Timur.

Koran Het Nieuwsblad voor Sumatra (1950) menyebut Ulung hadir dalam penyambutan Wakil Presiden Hatta di Brastagi. Sekitar 1951, seperti disebut Dua Windhu KODAM-I/Iskandar Muda (1972:160), Ulung menjadi Kepala Staf Resimen Infanteri I Bukit Barisan.

Ulung menduduki jabatan itu hingga 1955, kala dia akhirnya diangkat menjadi Komandan Resimen Bukit Barisan. Pangkatnya pun naik jadi mayor. Namun, jabatan itu tak lama diembannya. Pada akhir tahun 1955, seturut pemberitaan koran De Preangerbode (3 Desember 1955), Mayor Ulung mulai belajar di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (Seskoad). Jabatan Komandan Resimen Infanteri I Bukit Barisan lalu diserahterimakan kepada Mayor Lahiraja Munthe.

Setahun kemudian, Mayor Ulung sudah berada di Medan lagi. Kali ini, dia diserahi jabatan Kepala Staf Komando Militer Kota Besar (KMKB) Medan.

Saat Kolonel Muludin Simbolon mengumumkan putus hubungan dengan pemerintah pusat pada 22 Desember 1956, Ulung didatangi oleh Komandan KMKB Medan Letnan Kolonel Soegih Arto. Mereka berdua termasuk perwira di Medan yang melawan kebijakan Simbolon itu.

Mereka berencana mengepung rumah Simbolon pada 26 Desember 1956. Soegih Arto kasak-kusuk mengatur pasukan dalam acara makan-makan perayaan natal di rumah Simbolon. Namun, Simbolon lolos berkat kawalan 400 tentara pimpinan Kapten Sinta Pohan.

Meski Simbolon lolos, Medan dan sekitarnya tidak lagi masuk dalam pengaruh gerakan Simbolon. Di sana masih banyak perwira yang lebih loyal pada pemerintah dan bersedia mengamankan posisi Letnan Kolonel Djamin Ginting.

Ketaatan kepada pusat yang diperlihatkan oleh sebagian pasukan TNI pada waktu itu, mempunyai latar belakang, motif tersendiri, ialah motif ideologi dan kesukuan. Mayor Ulung Sitepu, kepala staf saya, rupanya adalah orang yang merah dari dulunya. Entah karena keyakinan atau sekedar merah ambisi,” kata Soegih Arto dalam Sanul Daca: Pengalaman Pribadi Letjen (Purn) Soegih Arto (1989, hlm. 113).

Soegih Arto menyebut gerakan Simbolon itu tak sejalan dengan pemerintah pusat. Mereka juga anti-PKI sehingga tak heran jika perwira kiri seperti Ulung memilih melawan. Seingat Soegih Arto, Ulung bukan satu-satunya tentara yang berhaluan kiri di Medan pada 1950-an. Selain Ulung, ada pula Letnan Kavaleri Soeharto.

Infografik Ulung Sitepu

Infografik Ulung Sitepu Gubernur Yang Dicap Kiri. tirto.id/Fuad

Dalam rangka mengatasi masalah di Sumatra Utara itu, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution kemudian memecah Tentara Teritorial Bukit Barisan menjadi 4 Kodam. Bukit Barisan kemudian dijadikan nama untuk kodam yang berkedudukan di Sumatra Utara.

Panglima Kodam Bukit barisan lalu dijabat Kolonel Djamin Ginting. Ketika Kolonel Abdul Manaf Lubis menjadi Panglima Bukit Barisan (1961-1963), Ulung yang sudah berpangkat Letnan Kolonel ditunjuk menjadi kepala stafnya. Ketika Majelis Permusyawaratan Rakjat Sementara (MPRS) dibentuk setelah Dekret Presiden 5 Juli 1959, Letnan Kolonel Ulung Sitepu juga pernah duduk didalamnya.

Ulung kemudian ditunjuk menjadi Gubernur Sumatra Utara ke-8 sejak Juli 1963. Pengangkatan Ulung itu disebut-sebut berkat campur tangan PKI.

Berhasil terpilihnya Ulung Sitepu sebagai Gubernur Sumatra Utara itu hal ini dianggap sebagai kemenangan kelompok Progrsif Revolusioner,” sebut Muhammad T.W.H. dalam Gubernur Sumatera dan Para Gubernur Sumatera Utara (2006, hlm. 69).

Karier Ulung mulai terjun bebas usai pecahnya Peristiwa G30S 1965. Sebagai tentara yang berhaluan kiri, dia pun ikut tergulung karena dianggap pengkhianat Pancasila.

Di Sumatera Utara, misalnya, baik Pangdam, Brigjen Darjatmo, maupun Gubernur, Ulung Sitepu, bersimpati kepada Kiri, dan sebanyak 30 persen tentara dianggap bersimpati ke kiri,” catat Geoffrey Robinson dalam The Killing Season a History of The Indonesian Massacres 1965–66 (2018, hlm. 151).

Pembersihan komunis di Sumatra Utara tergolong keras. Setelah ditangkap, Ulung mulanya disidang dalam Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub). Semula, dia divonis mati. Tapi, hukumannya diubah menjadi penjara seumur hidup.

Baca juga artikel terkait TENTARA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fadrik Aziz Firdausi