Menuju konten utama

Sejarah Hidup M.R.A. Soewardi: Direktur Pertama Akmil Yogyakarta

M.R.A. Soewardi punya peran besar mengembangkan akademi militer di Indonesia. Namanya tenggelam usai menyerah kepada tentara Belanda.

Sejarah Hidup M.R.A. Soewardi: Direktur Pertama Akmil Yogyakarta
Ilustrasi memet rachman ali soewardi. tirto.id/Sabit

tirto.id - Ketika sedang menyusun buku tentang akademi militer, Moehkardi mendatangi banyak narasumber. Mulai dari 17 kadet yang diolok sebagai Heeren Zeventien hingga seorang mantan gubernur Akademi Militer Yogyakarta. Waktu itu, mantan jenderal ini tinggal di rumah kecil sederhana dekat SMA Setiabudi Jakarta Selatan.

“Waktu saya datang ke rumahnya, yang kuhadapi adalah seorang manula yang sudah bertubuh rapuh dan tidak ada sisa-sisa kegagahan dan kewibawaan sewaktu masih ia seorang jenderal,” aku Moehkardi dalam Mengulang Jejak Sepanjang Tiga Zaman (2001, hlm. 453).

Kala itu, puluhan tahun sudah sang mantan jenderal keluar dari kemiliteran. Dia pun tidak pensiun sebagai jenderal aktif, melainkan sebagai pegawai sipil. Karir militernya hanya sampai 1950 saja dan dia pernah menjadi kepala perusahaan bis Kota Jakarta.

Perjalanan hidup dan karier sang mantan jenderal itu bikin Moehkardi heran. Sebagai tentara, dia termasuk yang pendidikannya unggul karena lulus dari Akademi Militer Kerajaan Belanda di Breda. Di era kolonial, sangat sedikit pemuda Indonesia yang pernah merasakan belajar di sana.

Kepada sang mantan jenderal, Moehkardi menjelaskan maksud kedatangannya. Namun, dia malah bengong tak percaya pada maksud Moehkardi. Moehkardi lantas menjelaskan bahwa dia berjasa mengembangkan sistem pendidikan calon perwira di awal kemerdekaan Indonesia. Mayor Jenderal TNI Memed Rachman Ali Soewardi—sang mantan jenderal itu—demikian terharu atas perkataan Moehkardi.

“Ia terharu karena ternyata masih ada orang yang mengingat perannya sebagai gubernur akademi militer, yang dia kira namanya telah dilupakan dalam sejarah. Setelah terbuka hatinya, wawancara menjadi lancar dan pertemuan hari itu kemudian ditutup dengan hidangan makan siang masakan Bu Wardi,” tulis Moehkardi.

Mula Karier Militer

Soewardi, seperti disebut Benjamin Bouman dalam Van Driekleur tot Rood-Wit: De Indonesische officieren uit het KNIL 1900-1950 (1995, hlm. 376), masuk dinas tentara kolonial Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL) pada 1922. Kala itu, usianya baru 16 tahun. Soewardi memulai langkahnya sebagai calon perwira di Militaire School Jatinegara.

Pada 1925, Soewardi lulus dan dapat pangkat sersan kelas satu. Dua tahun kemudian, Soewardi dikirim ke Negeri Belanda untuk meneruskan pendidikan militer di Akademi Militer Breda. Dia pun lulus pada 1930 dan dilantik sebagai letnan kelas dua infanteri KNIL.

Selama berdinas di KNIL, Soewardi pernah ditempatkan di beberapa daerah berbeda. Dia pernah ditempatkan di Batalyon Infanteri ke-11, Batalyon Garnisun Maluku, Batalyon Infanteri ke-15, dan pernah pula ditempatkan di bagian kendaraan lapis baja. Pada 1933, pangkatnya naik jadi letnan kelas satu.

Pada 1941, Soewardi jadi kapten. Namun sayang, tentara Jepang menyerang Hindia Belanda setelah itu. Karier militernya tentu saja putus dan Soewardi pun jadi tawanan perang dari Juli 1942 hingga April 1943 di penjara Glodok.

Di awal kemerdekaan, Soewardi tinggal di Karangtengah, Cianjur. Suatu hari, dia kedatangan seorang tamu. Orang militer juga, Didi Kartasasmita namanya. Didi adalah juniornya di KNIL yang terakhir diketahuinya berpangkat letnan kelas satu.

Didi datang membawa selembar petisi dan mulai membicarakan soal dukungan mantan perwira KNIL kepada Republik Indonesia.

“Saya setuju,” kata Soewardi seraya membubuhkan tanda tangannya di lembar petisi itu. Seperti disebut dalam Didi Kartasasmita: Pengabdian bagi Kemerdekaan (1993, hlm. 106), pertemuan itu hanya berlangsung selama 30 menit dan tanpa basa-basi Soewardi jelas mendukung kemerdekaan Indonesia.

Zaman Revolusi

Soewardi lahir pada 12 Desember 1906. Jadi, dia berusia hampir 39 tahun pada 1945 itu. Dia matang dari segi usia dan keluarganya mengharapkan kehidupan yang mapan. Namun, masyarakat nan naif itu harusnya sadar bahwa tak ada kemapanan di zaman perang.

Para bekas KNIL macam Soewardi lalu di naungi Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo—mantan mayor KNIL yang paling dihormati kala itu. Soewardi mendapat peran penting dalam ketentaraan Republik sebagai Direktur Akademi Militer Yogyakarta. Tugasnya tentu saja mendidik para calon perwira untuk tentara RI.

Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia Perwira Tinggi TNI AD (1988, hlm. 420) meyebut Soewardi memangku jabatan direktur akademi militer dari 31 Oktober 1945 hingga 28 November 1948. Lain itu, dia juga merangkap sebagai kepala bagian Pendidikan Ketentaraan di Kementerian Pertahanan sejak 21 Mei 1946 dan anggota Mahkamah Tentara Agung Luar Biasa sejak 18 Juli 1946.

Infografik Memet Rachman Ali Soewardi

Infografik Memet Rachman Ali Soewardi. tirto.id/Sabit

Sampai kemudian Belanda melancarkan Agresi Militer II pada 19 Desember 1948. Belanda berhasil menduduki ibu kota RI Yogyakarta dan menawan para pejabat tinggi pemerintahan. Perlawanan masih terlihat di beberapa daerah setelah itu, tapi tak bisa dipungkiri banyak orang menengarai itulah akhir dari Republik Indonesia. Jadi, tak mengherankan jika ada anggota TNI yang menyerah dan memilih berhenti melawan tentara Belanda.

“Sampai 1 Januari 1949 sudah ada 169 orang opsir TNI yang melaporkan diri kepada pihak sana (Belanda) dan menyerahkan senjatanya,” tulis Abdul Haris Nasution dalam Seputar Perang Kemerdekaan Indonesia—Jilid 10 (1977, hlm. 73).

Mereka yang menyerah bukan hanya perwira rendahan, tapi juga perwira tinggi. Koran Het Dagblad (20/1/1949) menyebut beberapa perwira tinggi TNI yang melapor kepada tentara Belanda, antara lain Mayor Jenderal Soetomo alias Bung Tomo dan Kolonel Soedibio. Sebelumnya, dalam edisi (6/1/1949), Het Dagblad juga memberitakan penyerahan diri Kolonel Soewardi dan Letnan Kolonel Adolf Lembong.

Ketika menyerahkan diri, Soewardi bukanlah pimpinan akademi militer lagi. Kala itu, memang banyak mantan perwira KNIL yang tersingkir dari posisi pentingnya di ketentaraan, termasuk Oerip Soemohardjo.

Soewardi tetap tinggal di rumahnya ketika penghuni akademi militer memilih bergerilya keluar Kota Yogyakarta.

“Waktu itu ia tak tega meninggalkan istrinya yang hamil tua, tinggal sendirian di kota,” tulis Moehkardi.

Banyak sejawat Soewardi menganggap penyerahan dirinya sebagai keputusan yang salah. Makin salah lagi karena Soewardi bersedia bekerja pada militer Belanda. Dia diberi pangkat mayor—setingkat lebih tinggi dari pangkat terakhirnya di KNIL. Soewardi kemudian ditempatkan di kesatuan tentara federal yang dibentuk Belanda di daerah-daerah yang didudukinya.

Setelah Belanda kalah dalam diplomasi 1949, Indonesia mendapat pengakuan atas kedaulatannya. Berdasar Konferensi Meja Bundar (KMB), pemerintah Indonesia harus menerima para mantan KNIL untuk masuk TNI. Sayangnya, sebagaimana disebut Moehkardi, TNI ogah menerima Soewardi kembali. Padahal, usianya saat itu baru sekitar 43 tahun dan tentu saja dia masih cukup produktif untuk tugas-tugas ketentaraan.

Setelah itu, nama Soewardi tenggelam dan jasanya dalam pembangunan akademi militer terlupakan. Harsya Bachtiar menyebut, antara 1950 hingga 1954, Soewardi menjadi kepala bagian di perusahaan Pos Telekomunikasi di Bandung. Lalu, dari 1959 hingga 1962, dia diperbantukan di Departemen Perhubungan RI. Soewardi tutup usia pada 16 Agustus 1978.

Baca juga artikel terkait AKADEMI MILITER atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fadrik Aziz Firdausi