tirto.id - Sudah Tionghoa, Kristen pula. Kurang minoritas apalagi di negara yang katanya Maritim ini? Tapi itulah John Lie.
Sosok yang namanya sulit ditemukan di buku pelajaran sekolah ini adalah pelaut andal yang ikut serta melawan blokade laut Belanda di zaman Revolusi (1945-1949). Setelah kemerdekaan Indonesia, John Lie juga berpihak kepada Indonesia seperti kebanyakan tokoh-tokoh Tionghoa yang ikut serta dalam pergerakan nasional.
Namun sedikit berbeda dengan John Lie. Di masa pergerakan nasional sebelum Jepang datang, ia yang kelahiran Manado, Sulawesi Utara lebih banyak beredar di laut atau di sekitar pelabuhan.
Bekas buruh pelabuhan Tanjung Priok ini, menurut majalah Masa & Dunia (6/11/1955), seperti dikutip di buku Memenuhi Panggilan Ibu Pertiwi: Biografi Laksamana Muda John Lie (2008) yang disusun M. Nursam, “Terjun dalam dunia pelaut bukan karena asuhan keluarga, tapi karena keinginan sendiri. Ia menjadi pelaut pada 1929 sewaktu berumur 18 tahun karena tekanan penghidupan dan didorong oleh kemauannya sendiri.”
Saat terjun sebagai pelaut, ia bekerja di perusahaan pelayaran milik Belanda, Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM).
“Saya memang sudah bekerja di KPM sejak tahun 1929 sebagai kelasi di dek. Nah pada bulan Februari tahun 1942, saya sedang berada di Pelabuhan Cilacap, di atas kapal tua dari KPM yang bernama MV Tosari, sebagai Stuurman Klein Vaart, fungsinya masuk di Cilacap memuat muatan rubber (karet) 400 ton,” aku John Lie, seperti dikutip Nursam dalam bukunya.
Kala itu, Balatentara Jepang sudah hampir menguasai Indonesia. Cilacap menjadi tempat pelarian orang-orang Belanda ke Australia agar tidak jadi tawanan serdadu Jepang. M.V. Tosari berangkat ke Kolombo, Sri Lanka beberapa hari sebelum Jepang menguasai seluruh Jawa. Dari Kolombo, kapal itu ke Mumbai, India. Setelah perbaikan dan memuat perbekalan, kapal itu berlayar ke Koromshar, Teluk Persia (Iran). Di sana terdapat Pangkalan Angkatan Laut Inggris.
Bersama pelaut lain, John Lie pun menjadi tenaga bantuan operasional bagi Angkatan Laut Inggris. Tugas mereka menyalurkan perbekalan kepada kapal-kapal Sekutu yang datang dari Australia. Selama membantu armada laut sekutu, John Lie dan lainnya diajari menggunakan dan merawat bermacam-macam senjata api, manajemen pengapalan logistik, pengenalan taktik perang laut, teknik komunikasi, hingga ranjau laut. Di masa Perang Dunia II ini, dia dibaptis menjadi Kristen di Sungai Jordan.
Pulang ke Indonesia
Selesai perang, John dan lainnya pulang ke Indonesia. Dari Singapura, John Lie menumpang kapal Ophir di bulan April 1946. Berkat petunjuk orang-orang Minahasa di Jakarta, termasuk Mr. A.A. Maramis, Lie berangkat ke Yogyakarta pada Mei 1946. Sebuah pengantar ke Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL), Mas Pardi, diberikan oleh Maramis.
Dalam perjalanan dia berkali-kali terhadang, baik oleh tentara Gurkha Inggris atau intel NEFIS Belanda maupun laskar-laskar perjuangan yang sering gelap mata. Mata sipitnya jadi masalah besar bagi beberapa kaum republiken. John bisa saja dituduh mata-mata Belanda, lalu selesailah hidupnya.
Sampai Yogyakarta dan menemui KSAL, John Lie pun bergabung dengan Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI). Meski berpengalaman sebagai perwira kapal dan ikut PD II, John Lie terima-terima saja diberi pangkat Kelas III.
Kemampuan tak bisa berbohong. Banyak perwira ALRI kemudian paham soal kemampuan dan pengalaman John Lie. Pada November 1946, pangkatnya pun naik menjadi mayor. Sebelum September 1947, dia pernah membersihkan ranjau laut di sekitar Pelabuhan Cilacap.
John Lie terkenal di kalangan republiken berkat aksi-aksi penyelundupannya dengan kapal The Outlaw, terutama setelah Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947. John Lie yang tak sengaja terbawa kapal Empire Ten By ke Singapura melapor ke perwakilan Republik di sana. Ia kemudian diangkat menjadi nakhoda kapal cepat The Outlaw. Mulailah dia beraksi setelah September 1947.
“Operasi perdana The Outlaw melayari rute Singapura, Labuan Bilik dan Port Swattenham pada Oktober 1947,” tulis Iwan Santoso dalam Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran (2014).
Kapal John Lie saat itu mengangkut perlengkapan militer. Macam-macam yang ia bawa, namun terutama senjata semi otomatis beserta ribuan peluru. Kapal mereka sempat diburu Koninklijk Marine (Angkatan Laut) Belanda. Ketika berlayar di timur Sumatra, sebuah pesawat terbang Belanda menghampiri tetapi tak curiga The Outlaw sebagai kapal Republik. Pesawat yang tadinya siap menembaki The Outlaw pun berlalu begitu saja.
Muatan senjata diturunkan di Labuhan Bilik, Sumatra Utara. Pada saat yang sama, kapal itu kembali berlayar dengan mengangkut karet untuk dijual ke Malaya melalui perjalanan ke Port Swattenham (kini: Klang), Malaysia.
Sebelum mengangkut di tahun 1947 itu, dua kali The Outlaw bolak-balik Labuhan Bilik-Port Swattenham. Berada di sekitar Malaysia dan Singapura bukan hal mudah. Inggris yang menguasai dua negeri itu adalah konco Belanda. Aksi John Lie dan awaknya menembus blokade Belanda itu berjalan hingga akhir 1949. Kisahnya bahkan pernah diangkat Roy Rowan dalam Guns - Bibles - Are Smuggled to Indonesia di majalah Life (26/9/1949).
“Sudah dua tahun ini Lie mengurusi jual-beli senjata dari Malaysia dan Thailand ke sebuah daerah Islam, Aceh,” tulis Rowan.
Senjata-senjata itu kemudian ada yang diterbangkan ke Jawa juga. Senjata-senjata sisa serdadu Inggris dalam PD II itu diperoleh di daerah Pecinan padat penduduk di Singapura.
Menurut Rowan, “Lie adalah tokoh penting dalam sebuah organisasi penyelundupan senjata yang wilayahnya terbentang sepanjang Filipina sampai India.”
John Lie yang selalu membawa dua Bibel itu tak begitu peduli dengan cap penyelundup. Alasannya jelas: ia melakukan aksi penyelundupan itu demi tugas suci mempertahankan kemerdekaan.
Sang penyelundup yang turut menyelamatkan Republik itu meninggal pada 27 Agustus 1988, tepat hari ini 31 tahun lalu. Dia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 9 November 2009.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 20 Oktober 2017 dengan judul "John Lie: Penyelundup Sekaligus Pejuang". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Zen RS & Ivan Aulia Ahsan