Menuju konten utama
Hari Penting Internasional

Sejarah Hari Korban Tindak Kekerasan Berbasis Agama 22 Agustus

Hari Internasional untuk Memperingati Korban Tindak Kekerasan Berbasis Agama atau Keyakinan diperingati setiap 22 Agustus.

Sejarah Hari Korban Tindak Kekerasan Berbasis Agama 22 Agustus
Ilustrasi Kekerasan. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Hari Internasional untuk Memperingati Korban Tindak Kekerasan Berbasis Agama atau Keyakinan, atau International Day Commemorating the Victims of Acts of Violence Based on Religion or Belief, jatuh pada Minggu, 22 Agustus 2021.

Tujuan ditetapkannya tanggal 22 Agustus sebagai Hari Internasional Memperingati Korban Tindak Kekerasan Berdasarkan Agama atau Keyakinan, sebagaimana termaktub dalam Resolusi 73/296, adalah untuk mengakui pentingnya memberikan penghormatan kepada korban tindak kekerasan berdasarkan agama dan anggota keluarganya, melalui dukungan serta bantuan yang layak sesuai dengan hukum yang berlaku.

Majelis Umum PBB menyebut, Negara Anggota dan komunitas global sangat menentang semua tindakan kekerasan terhadap orang-orang atas dasar agama atau kepercayaan yang mereka anut, karena ini adalah bagian dari pembatasan HAM seseorang.

Mereka juga mengutuk setiap tindakan kekerasan yang ditujukan kepada rumah, bisnis, properti, sekolah, pusat budaya atau tempat ibadah, dan semua serangan terhadap tempat-tempat keagamaan, situs-situs dan tempat-tempat suci yang melanggar hukum internasional.

“Kebebasan beragama atau berkeyakinan, kebebasan berpendapat dan berekspresi, hak untuk berkumpul secara damai dan hak untuk kebebasan berserikat adalah saling bergantung, saling terkait dan saling memperkuat,” tulis PBB dalam pernyataan resminya.

“Maka, penegakan atas hak-hak tersebut akan memainkan peran penting dalam memerangi segala bentuk intoleransi dan diskriminasi berdasarkan agama atau kepercayaan,” lanjutnya.

Kendati telah ada upaya-upaya dalam penegakan hak-hak tersebut, diakui PBB, bahwa kini masih banyak praktek-praktek kekerasan berlandaskan agama. Hal ini, setidaknya tercermin dalam laporan LSM Internasional, Stimson, yang menemukan adanya peningkatan global dalam kasus kekerasan dan pembatasan beragama.

Dalam laporan berjudul “Violence Based on Religion or Belief: Taking Action at the United Nations” tersebut, mereka membagi kekerasan beragama dan keyakinan dengan aktor negara dan aktor non-negara.

Dalam catatan Stimson, terdapat 95 negara pada tahun 2018 yang pemerintahnya menggunakan kekuatan dalam membatasi komunitas agama atau kepercayaan. Dari jumlah tersebut, pada 20 negara di antaranya mengakibatkan kematian. Jumlah ini dilaporkan naik 25 persen dari tahun 2007.

Bahkan, pada tahun 2017, Stimson juga mencatat puncak tertinggi permusuhan sosial terkait agama atau kepercayaan. Mereka mengkategorikan ini sebagai kekerasan berbasis agama dengan aktor non-negara, yang mengakibatkan kematian di 39 negara dan seranngan non-fatal di 66 negara.

Dari semua jenis kekerasan agama non-negara, kerusakan properti dan penggunaan ancaman kekerasan untuk memaksakan norma dan praktik agama mengalami peningkatan terbesar, dengan dua kategori ini lebih dari dua kali lipat sejak tahun 2007.

Melihat kondisi tersebut, PBB mengajak komunitas internasional untuk menciptakan rezim hukum yang melindung hak-hak beragama setiap manusia, serta meningkatkan pendidikan HAM sebagai langkah awal yang penting dalam memerangi insiden intoleransi, diskriminasi dan kekerasan terhadap individu atas dasar agama atau kepercayaan.

“Perdebatan dengan gagasan yang terbuka, konstruktif dan saling menghormati; serta dialog antaragama dan antarbudaya di tingkat lokal, nasional, regional, dan internasional, dapat memainkan peran positif dalam memerangi kebencian, hasutan, dan kekerasan agama,” tegas PBB.

Baca juga artikel terkait KORBAN KEKERASAN atau tulisan lainnya dari Ahmad Efendi

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Ahmad Efendi
Penulis: Ahmad Efendi
Editor: Yantina Debora