tirto.id - Hari Artileri Nasional diperingati setiap tanggal 4 Desember. Di tanggal yang sama, Korps Armed TNI AD akan merayakan hari jadinya yang ke-76.
Peringatan ini akan menjadi momen penting untuk mengenang perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan. Hari Artileri juga menjadi pengingat bagaimana peran sekaligus perkembangan persenjataan artileri di Indonesia.
Artileri sendiri didefinisikan sebagai senjata yang melontarkan proyektil. Seiring berjalannya waktu, istilah artileri kemudian disematkan pada pasukan tentara yang menggunakan senjata berat.
Asal-usul munculnya persenjataan artileri di Indonesia tidak bisa dipastikan dengan tepat. Namun menurut bukuAsia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 jilid 2: Jaringan Perdagangan Global (1999, hlm.255), Nusantara baru mengenal artileri dari negara Cina yang sudah menggunakan meriam sejak abad ke-13.
Meriam-meriam dari Cina ini kemudian diangkut ke Jawa saat melakukan invasi Mongol di tahun 1293 dan pada ekspedisi Cheng Ho. Salah satu meriam yang pernah ditemukan di Jawa diketahui berasal dari tahun 1421.
Sementara dalam sejarah peperangan dunia, artileri dianggap sebagai persenjataan darat yang sangat mematikan. Saking ampuhnya, mantan kepala negara Uni Soviet, Joseph Stalin menjulukinya sebagai God of War alias Dewa Perang.
Sejarah Artileri di Indonesia
Hari Artileri Nasional tak bisa dilepaskan dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan penjajah. Di masa penjajahan, Belanda telah melatih para pemuda Indonesia untuk menggunakan senjata artileri.
Saat itu, Soerie Santoso tercatat sebagai orang Indonesia pertama yang memiliki pangkat tertinggi di artileri. Beliau adalah seorang mayor lulusan Akademi Militer Kerajaan Belanda di Breda dan menjabat sebagai komandan batalyon artileri di Jagamonyet, Batavia.
Sebelum menjadi mayor, Soerie Santoso juga merupakan satu-satunya kapten pribumi dari 66 kapten yang tergabung dalam angkatan perang kolonial Hindia Belanda.
Pemuda Indonesia lain yang juga terlatih dalam hal artileri adalah Oerip Soemohardjo, Memet Rahman Ali Soewardi, R.M. Pratikno Suryosumarno, Tjhwa Siong Pik, J. Minggu, Djoko Prijono, Giroth Wuntu, Sadikin, Abdullah, dan Rudy Pirngadi.
Selain nama-nama di atas, ada pula Raden Askari, Aminin, dan T.B. Simatupang yang pernah menerima tanda Mahkota Perak setelah belajar di Akademi Militer Kerajaan Belanda di Bandung.
Penggunaan senjata artileri di Indonesia terus berlanjut hingga masa penjajahan Jepang. Namun saat Jepang menyerahkan diri pada 16 Agustus 1945, para pemuda Indonesia langsung mengambil alih persenjataan artileri milik Jepang.
Setelah Indonesia merdeka, tepat pada tanggal 5 Oktober 1945, dibentuklah Tentara Nasional Indonesia (TNI). Meski meriam-meriam Jepang telah dikuasai, namun saat itu masih banyak pemuda yang kurang terlatih menggunakannya.
Padahal di waktu yang sama, pasukan sekutu mulai berdatangan ke Indonesia. Mereka datang untuk mengambil alih wilayah kekuasaan Jepang yang saat itu kalah dalam Perang Dunia II.
Gesekan antara Indonesia dan sekutu memuncak dalam Pertempuran Surabaya pada 10 November 1945. Beruntung, kala itu Surabaya memiliki pejuang tangguh bernama J. Minggu yang pernah bergabung dengan KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger).
Minggu tentu sudah terlatih menggunakan artileri. Ia pun berperan besar dalam mengatur pengoperasian semua meriam Jepang untuk melawan Sekutu dalam Pertempuran Surabaya.
Penetapan Hari Artileri Nasional
Mengutip laman Pusat Pendidikan Artileri Medan, Letnan Jendral Oerip Soemoohardjo meresmikan Markas Artileri pada tanggal 4 Desember 1945. Saat itu, Letnan Kolonel R.M Pratikno Suryosumarno diangkat menjadi komandan artileri pertama di Indonesia.
Markas Artileri bertugas membina satuan-satuan artileri di Indonesia dan merupakan bagian dari jawatan persenjataan Markas Besar Tentara (MBT) yang berkedudukan di Yogyakarta.
Sejak saat itu, tanggal 4 Desember akhirnya ditetapkan sebagai Hari Artileri Nasional. Tanggal 4 Desember juga diperingati sebagai hari jadi Korps Artileri TNI AD yang kemudian dikenal dengan Korps Armed TNI AD.
Penulis: Erika Erilia
Editor: Alexander Haryanto