tirto.id - Meletusnya Gunung Krakatau yang memicu tsunami besar pada 1883 dan menelan puluhan ribu korban jiwa ternyata bukan peristiwa erupsi terbesar gunung yang tertanam di Selat Sunda ini. Jauh sebelumnya, Gunung Krakatau Purba pernah meledak amat hebat. Efeknya konon sampai membelah Pulau Jawa dan melahirkan Pulau Sumatra (Sumatera).
Dalam naskah Jawa kuno bertajuk Pustaka Raja Parwa, diperkirakan ditulis pada awal abad ke-5 M, tertulis: “Ada suara guntur yang menggelegar berasal dari Gunung Batuwara. Ada pula goncangan bumi yang menakutkan, kegelapan total, petir dan kilat. Kemudian datang badai angin dan hujan yang mengerikan dan seluruh badai menggelapkan seluruh dunia.”
“Sebuah banjir besar datang dari Gunung Batuwara dan mengalir ke timur menuju Gunung Kamula. Ketika air menenggelamkannya, Pulau Jawa terpisah menjadi dua, menciptakan Pulau Sumatra,” demikian catatan yang termaktub dalam naskah itu.
Berend George Escher, ahli geologi Belanda, menyimpulkan, Gunung Batuwara yang disebut dalam naskah kuno Pustaka Raja Parwa adalah Gunung Krakatau Purba. Guru Besar Universitas Leiden yang wafat pada 11 Oktober 1967 ini memang kerap meneliti gunung-gunung api di Nusantara, termasuk Krakatau, Kelud, Galunggung, Merapi, dan lainnya.
Krakatau Purba Meledak
Dampak letusan dahsyat Gunung Krakatau Purba dirasakan hingga ke berbagai penjuru dunia. Bahkan, simpul David Keys dalam risetnya bertajuk Catastrophe: An Investigation Into the Origins of the Modern World (2000), peristiwa vulkanik di Asia Tenggara itu terkait dengan bencana alam yang menyebabkan perubahan besar di Eropa selama abad ke-6 dan ke-7 M.
Tinggi Gunung Krakatau Purba lebih dari 2.000 meter di atas permukaan laut dan memiliki lingkaran pantai mencapai 11 kilometer. Letusan pada abad ke-5 itu berlangsung sekitar 10 hari dan memuntahkan material erupsi mencapai 1 juta ton per detik. Kala itu, Selat Sunda belum ada dan Gunung Krakatau Purba masih berdiri di Pulau Jawa.
Letusan Gunung Krakatau Purba, secara langsung atau tidak, diyakini bertanggungjawab atas terjadinya berbagai peristiwa besar. Peradaban kuno macam Persia purba di Asia Barat, Nazca di Amerika Selatan, juga Maya di Amerika Tengah, mengalami keruntuhan. Juga melemahnya Kekaisaran Romawi yang kemudian digantikan Kerajaan Byzantium.
Suhu udara yang terus-menerus mendingin pasca-erupsi Gunung Krakatau Purba memicu mewabahnya penyakit sampar bubonic dan mengurangi jumlah penduduk di berbagai tempat di dunia secara signifikan.
Dikutip dari buku Disaster and Human History (2009) karya Benjamin Reilly, iklim yang tidak menentu itu menyebabkan maraknya wabah pes di sejumlah kawasan, terutama di Afrika bagian timur, dan menimbulkan kerugian besar bagi manusia.
David Keys (2000) merumuskan beberapa kesimpulan terkait letusan Gunung Krakatau Purba. Salah satunya, ledakan tersebut berdaya sangat besar dan mengguncang Jawa. Akibatnya, sebagian tanah ambles yang membentuk Selat Sunda serta membelah sebagian Pulau Jawa yang melahirkan Pulau Sumatera.
Gunung Krakatau Purba hancur setelah erupsi dahsyat pada abad ke-5 itu dengan menyisakan kaldera atau kawah besar di bawah laut. Tepi kawahnya membentuk tiga pulau, yakni Pulau Rakata, Pulau Panjang (Pulau Rakata Kecil), dan Pulau Sertung.
Setelah itu, mulai terbentuk Gunung Krakatau baru yang kelak juga meledak hebat serta hancur pada 1883. Di lokasi bekas berdirinya Gunung Krakatau Purba dan Gunung Krakatau lanjutannya di Selat Sunda, lahirlah Gunung Anak Krakatau yang kini sedang meningkat aktivitasnya dan sempat memicu tsunami pada 22 Desember 2018 lalu.
Editor: Iswara N Raditya