Menuju konten utama

Segudang Masalah OK Otrip: dari Tarif hingga Akurasi Mesin Pembaca

OK Otrip masih dibelit banyak masalah, mulai dari harga tarif, hingga yang menyangkut regulasi seperti syarat jaminan minimal bagi pengusaha angkutan.

Segudang Masalah OK Otrip: dari Tarif hingga Akurasi Mesin Pembaca
Penumpang melintas di depan angkutan umum di Terminal Kampung Melayu, Jakarta, Jumat (5/1/2018). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

tirto.id - Mengintegrasikan angkutan umum dalam program OK Otrip ternyata tak semudah yang dibayangkan. Sejak diuji coba pada 15 Januari lalu, sejumlah persoalan masih belum bisa diselesaikan Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan-Sandiaga Uno.

Salah satunya adalah program ini ternyata tak begitu menarik para pengusaha angkutan.

Ini terbukti lewat jumlah armada yang beroperasi. Hingga April, angkutan umum yang sudah gabung ke OK Otrip tak lebih dari 100 unit yang terbagi dalam lima trayek: Duren Sawit, Rorotan, Kampung Rambutan, Pondok Labu dan Warakas. Padahal target awalnya mencapai 2.000 unit angkutan per akhir tahun 2018.

Uji coba OK Otrip yang seharusnya berakhir pada 15 April akhirnya diperpanjang.

Sandi mengakui kalau penambahan unit memang tak mudah. Pada Senin (9/4), ia mengatakan bahwa penambahan unit tidak akan optimal sepanjang "terganjal birokrasi." Selasa (10/3) pagi, pejabat dengan latar belakang pengusaha ini memperjelas apa saja hambatan yang ia maksud.

Sandi bercerita kalau salah satu masalah adalah soal besaran tarif yang bakal diterima perusahaan angkutan dari Pemprov via TransJakarta. Hal ini terakhir kali dibahas pekan lalu, saat rapat bersama dengan Dinas Perhubungan DKI dan Organisasi Angkutan Darat (Organda),

"Kita tunggu follow up-nya dalam beberapa hari ke depan," kata Sandi.

Dewan Pembina Organda DKI Petrus Tukimin mengatakan kepada Tirto kalau besaran tarif yang ditentukan TransJakarta masih jauh dari yang diharapkan pengusaha angkutan.

Pada tahap uji coba, Pemprov DKI via TransJakarta bakal memberikan bayaran Rp3.430 per kilometer untuk perusahaan angkutan. Petrus menilai nominal itu tidak sesuai baik untuk memenuhi kebutuhan sopir atau dana operasional pengusaha.

Ia menilai, idealnya imbalan sebesar Rp4.000 per kilometer. Dengan bayaran sebesar itu perusahaan angkutan dapat memberikan gaji sesuai dengan peraturan ketenagakerjaan kepada sopir. Jika penetapan tarif dilakukan berdasarkan survei kebutuhan hidup, angkanya juga tak bakal jauh beda dari yang mereka ajukan di awal.

"Ada gaji sopir dengan standar UMP, kemudian BPJS, dan operasional angkutan," kata Petrus, di sela-sela rapat pembahasan Ok-Otrip pekan lalu.

Di samping itu, syarat bahwa para sopir harus memenuhi target perjalanan 190 kilometer per hari juga tak masuk akal karena setiap trayek angkot berbeda-beda. Sayangnya, kata Petrus, "survei pun kita enggak diajak. Dia [TransJakarta] tidak melibatkan Organda. Tidak melibatkan operator."

Organda Baru Dilibatkan

Saat dikonfirmasi kembali oleh Tirto, Petrus menyampaikan bahwa kesepakatan tarif kini sudah naik meski tidak sebesar yang diinginkan pada awal pertemuan. Kini perusahaan dapat uang Rp3.739 per kilometer.

Katanya, Pemprov DKI juga telah melibatkan pengusaha angkutan dan sopir dalam rangka membuka trayek baru.

Survei itu akan menjadi penentu jarak minimum yang harus ditempuh para sopir angkot setiap harinya. Jadi tak mesti 190 kilometer per hari. Bisa lebih pendek dari itu, tapi juga mungkin lebih panjang. Tergantung dari hasil survei.

"Kami pengusaha angkot dan sopir masih melihat berapa jarak per kilometer masing-masing trayek. Kalau kemarin enggak dilibatkan," kata Petrus.

Pekan ini, Pemprov KI dan Organda bakal menyelenggarakan survei pada tujuh trayek angkot di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Angkot-angkot yang beroperasi dalam trayek tersebut, antara lain M09, M09 A, M11, M10, JP 013, JP 03 dan M 08, diminta bergabung ke OK Otrip.

Untuk menyesuaikan ketentuan batas jarak minimum dan agar tak tumpang tindih dengan jalur TransJakarta, sejumlah trayek jarak pendek seperti M08 dan JP 03 bakal mengalami perubahan rute.

"Tentunya kami akan berpatok pada syarat minimal. Kalau bisa kan dapat 150 kilometer per hari. Kalau misalnya nanti setelah re-routing dia cuma dapat 130 kilometer, ya kami buat trayeknya jadi 150 kilometer," imbuhnya.

Terganjal Aturan LKPP, BI dan Pergub

Ketua Organda DKI Jakarta Shafruhan Sinugan, mengatakan masalah Ok Otrip tidak hanya masalah jarak dan tarif. Masalah lain adalah terkait biaya jaminan kontrak yang disyaratkan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP).

Menurut Shafruhan, dalam aturan LKPP, setiap angkot yang ingin bergabung ke OK Otrip harus membayar jaminan pelaksanaan sebesar lima persen dari total nilai kontrak. Total nilai kontrak dihitung berdasarkan besaran tarif per kilometer dikali jumlah kilometer yang ditempuh selama masa kontrak.

Jika pengusaha angkutan meneken kontrak kerja sama dengan TransJakarta selama satu tahun misalnya, kata Shafruhan, maka total nilai kontrak untuk satu angkot sebesar Rp204,7 juta dan jaminan Rp10 juta.

"Angkanya dari mana? Dari jarak tempuh 150 kilometer per hari dikalikan 365 hari atau setahun. Didapat sekitar 54.750 kilometer lalu dikalikan Rp3.739."

Persoalannya, kontrak antara pengusaha angkot dan TransJakarta biasanya berdurasi lima tahun. Artinya lima persen jaminan pelaksanaan yang harus dibayarkan oleh para pengusaha untuk satu angkot bisa di atas Rp50 juta. Sementara, rata-rata pengusaha angkot berbasis koperasi dan merupakan pengusaha kecil.

"Untuk memenuhi jaminan pelaksanaan berat karena membutuhkan modal besar. Jadi otomatis persyaratan itu akan membuat koperasi ini kesulitan," tegasnya.

Wakil Kepala Dinas Perhubungan DKI, Sigit Wijatmoko, menyampaikan kalau Pemprov masih perlu mengkaji aturan soal jaminan yang tertuang dalam perubahan kedua Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa ini.

Menurutnya, ada celah yang bisa digunakan untuk mempermudah para pengusaha yang akan bergabung ke OK Otrip, yakni dengan mencicil biaya jaminan pelaksanaan.

"Alternatif itu bisa dibahas," imbuhnya.

Di luar persoalan tersebut, menurut Sigit, langkah awal yang harus dilakukan instansinya saat ini adalah merevisi Peraturan Gubernur DKI Nomor 17 Tahun 2015 tentang Pengadaan Jasa Layanan Transportasi Umum Transportasi Jakarta.

Aturan tentang integrasi angkutan dalam beleid tersebut baru mengatur bus besar dan sedang, sementara bus kecil dan angkot belum terakomodasi.

Di sisi lain, persiapan sistem transaksi non-tunai yang ada di tiap angkot juga masih harus mendapat persetujuan Bank Indonesia (BI) setelah diuji coba.

"Ada peraturan Gubernur BI yang terkait dengan penggunaan electronic fare collection [entitas pengumpul tarif elektronik]. OK Otrip ini masih dalam proses POC [proof of concept/uji coba]," imbuhnya.

Saat ditemui di Balai Kota beberapa waktu lalu, Dirut TransJakarta Budi Kaliwono menyampaikan bahwa mesin tapping yang telah ada belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Mesin itu dirancang untuk merekam perjalanan penumpang menggunakan angkot dan atau TransJakarta setiap tiga jam--durasi maksimal penumpang pakai OK Otrip setelah membayar Rp5.000.

Menurutnya, mesin masih terus diuji sampai benar-benar dapat membaca data secara akurat setiap tap in dan tap out.

"Kalau penumpang belum sampai ke tujuan dalam waktu tiga jam, dia harus bayar dari ulang dan kena Rp 5.000 lagi. Jadi ini harus dipastikan akurat," katanya.

Infografik current issue ok Otrip

Baca juga artikel terkait OK OTRIP atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Rio Apinino