Menuju konten utama

Scroll, Click, Checkout: Media Sosial & Tren Konsumsi Berlebihan

Sebanyak 4 dari 10 pengguna media sosial di Amerika Serikat mengakui influencer di media sosial memengaruhi barang-barang yang mereka beli.

Scroll, Click, Checkout: Media Sosial & Tren Konsumsi Berlebihan
Header Diajeng Belanja Berlebihan. tirto.id/Quita

tirto.id - Coba perhatikan, saat kita berselancar di media sosial, sebut saja Instagram, pasti muncul video iklan produk dari influencer.

Atau, kalau kamu lebih sering mencari hiburan di aplikasi TikTok, biasanya muncul video aktivitas jualan produk secara live.

Kemajuan teknologi digital tak hanya mempermudah komunikasi, melainkan juga membuka lebar peluang godaan bagi kita untuk berbelanja. Belanja apa saja! Dari gadget terkini, fesyen, sampai kosmetik dan produk skincare, semudah itu kita beli dengan beberapa kali ketuk layar smartphone.

Beberapa bulan yang lalu, Mita, ibu satu anak yang tinggal di Solo, ikut terbawa euforia dengan tren jastip boneka Labubu.

"Aku beli untuk anakku yang masih SD. Teman-teman sekelasnya semua punya, jadi aku belikan agar sama dengan teman-temannya," ungkap Mita.

Boneka Labubu

Boneka Labubu. FOTO/popmart.co.jp/

Sebelum boneka Labubu viral dan membuat heboh antrean di sebuah mal, botol minum Corkcicle lebih dulu diburu lantaran identik dengan gaya hidup eksekutif muda.

Terbaru, warganet ramai berburu Cokelat Dubai yang harganya cukup mahal.

Dino Augusto, Senior Lecturer Fashion Business Programme di Lasalle College, Jakarta berpandangan, consumer behaviour atau perilaku belanja kosumen masyarakat Indonesia tergolong spesial.

"Kita termasuk masyarakat dengan kolektivisme kuat setelah India. Kolektivisme adalah hidup berdampingan dengan orang lain dan merasa nyaman jika melakukan sesuatu yang sama, termasuk dalam membeli barang yang sama. Misalnya, seorang pekerja membeli barang yang viral, agar menjadi bagian dengan peer di kantor, " ungkap Dino.

Berbelanja, seperti halnya aktivitas lainnya, tentu saja dapat membantu memenuhi kebutuhan emosional manusia yang mendalam.

Terutama pada saat kita hidup dalam kondisi serba tidak pasti, aktivitas belanja dapat mengembalikan kendali dalam hidup seseorang.

Sayangnya, di zaman serba mudah ini, tak sediki yang acap kali mengabaikan dampak buruk yang ditimbulkan dari overconsumption atau aktivitas konsumsi berlebihan.

Tren membeli barang secara berlebihan, dikutip dari Women’s Wear Daily, salah satunya dipengaruhi media sosial.

Selain menyediakan konten yang menghibur dan membuat orang terhubung satu sama lain, Instagram dan TikTok bisa mendorong kita untuk berbelanja secara berlebihan atau melakukan pembelanjaan secara kompulsif.

“Dalam banyak kasus, media sosial bisa menjadi katalis untuk kebiasaan finansial yang buruk atau rasa selalu kekurangan, sedangkan di sisi lain, ia juga dapat memacu tren keuangan yang sehat dan rasa kebersamaan,” terang Courtney Alev, Consumer Financial Advocate dari Credit Karma.

Meski begitu, Alev mengingatkan, “Platform media sosial ini berhasil mendorong konsumen untuk mengeluarkan uangnya terlalu banyak saat menelusuri aplikasi digital, terlebih dengan mempertimbangkan betapa mudahnya membeli sesuatu dengan beberapa kali klik.”

Divisi pemasaran produk pada masa kini bisa jadi sudah kurang berminat untuk memanfaatkan kanal iklan tradisional, seperti beriklan di koran atau televisi.

Kebanyakan dari mereka sekarang berfokus pada strategi pemasaran digital di media sosial sembari memanfaatkan peluang tren.

TikTok Shop dari aplikasi video TikTok, misalnya, mempermudah produsen untuk menjual produk mereka secara langsung melalui aplikasi dan memberikan pengalaman pembayaran secara mudah.

Content creator atau pembuat konten di TikTok atau Instagram acap kali bukan sekadar artis atau influencer, melainkan juga merangkap sebagai penjual produk.

Akibatnya, muncul batas yang kabur antara konten asli atau konten iklan. Pendek kata, iklan jadi cenderung mudah untuk disamarkan sebagai hiburan.

Dikenal sebagai konten kabur (blurring-content), isinya menggabungkan konten promosi dengan cerita yang relatable, khususnya melalui influencer mikro, yaitu influencer yang memiliki 10 ribu sampai 100 ribuan pengikut.

Figur-figur pemengaruh ini terlatih dalam menciptakan skenario yang rapi untuk mempromosikan produk dengan dibungkus konten yang lucu dan menghibur.

Seiring penonton merasa ‘dekat’ dengan para pembuat konten, mereka mungkin tidak sadar bahwa keputusan pembelian mereka dipengaruhi juga oleh keinginan untuk menyelaraskan diri dengan lingkungan sosialnya.

Ilustrasi Influencer

Ilustrasi Influencer. FOTO/iStockphoto

Temuan dari Pew Research Center di Amerika Serikat pada 2022 tentang kebiasaan belanja mengungkapkan, 4 dari 10 pengguna media sosial menyatakan influencer memengaruhi barang-barang yang mereka beli.

Kemudahan akses ini memperkuat budaya konsumen dan secara signifikan mendorong overconsumption atau konsumsi berlebihan, yang ternyata berpotensi menimbulkan dampak berbahaya terhadap perekonomian, lingkungan, dan kesejahteraan pribadi.

Dino menuturkan, "Overconsumption adalah pembelanjaan konsumen baik itu untuk kebutuhan primer dan tersier di luar kemampuan pendapatannya [disposable income, pendapatan yang digunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari]. Jadi, membeli karena keinginan impulsif [dilakukan secara spontan atau karena dorongan sesaat]."

"Overconsumption didorong oleh demand dan supply. Perusahaan mendorong, seolah-olah masyarakat perlu membeli barang-barang di luar kebutuhannya,” lanjut Dino.

“Hal ini berbahaya untuk masyarakat. Secara finansial, konsumen akan belanja lebih dari anggaran mereka, juga karena konsumsi barang yang berlebihan bisa merusak lingkungan. Membeli barang dengan kualitas tidak mumpuni, akan cepat rusak dan berimbas pada limbah yang menumpuk."

Menurut data terbaru dari Credit Karma, hampir 40 persen penduduk di AS telah membeli produk yang diiklankan di media sosial pada tahun 2023, dengan 23 persen di antaranya menggunakan sistem kredit untuk produk seharga seribu dolar AS.

Kecanduan belanja yang dipicu oleh media sosial telah menyebabkan sejumlah konsumen dari Gen Z dan Milenial berutang meskipun mereka merasa cemas dengan kondisi keuangannya.

Di satu sisi, temuan yang sama mengungkap 69 persen dari seluruh konsumen dan 88 persen dari Gen Z mengaku sudah berhasil mengikuti tren dari pemengaruh deinfluencing.

Deinfluencing adalah tren yang sempat berseliweran di TikTok setahun yang lalu.

Alih-alih mengiklankan barang atau jasa, pembuat konten deinfluecing berusaha meyakinkan pengikutnya agar tidak membeli hal-hal yang menurut mereka tidak sesuai kebutuhan.

Konten deinfluencing juga mengajak pengguna media sosial agar lebih bijak dalam berbelanja.

Masih mengutip temuan dari Credit Carma, terdapat beberapa alasan di balik keputusan konsumen mengikuti deinfluencing.

Alasan utama berkaitan dengan ketidakpercayaan terhadap influencer di media sosial yang mempromosikan produk (32 persen).

Secara khusus, bagi responden Gen Z, alasan utamanya adalah tingkat konsumsi berlebihan yang tidak sehat sebanyak 38 persen. Hal ini dapat dikaitkan dengan kesadaran tinggi di kalangan angkatan muda tentang isu lingkungan dan perubahan iklim, serta seruan mereka terhadap produsen dan korporasi untuk memprioritaskan prinsip keberlanjutan dalam bisnis mereka.

Alasan lain di balik keputusan konsumen untuk berhenti berbelanja di media sosial berkaitan dengan temuan produk-produk palsu, merasa kewalahan dengan banyaknya produk yang diiklankan, merasa enggan membeli barang yang “dimiliki semua orang”, sampai pengalaman buruk membeli barang via media sosial.

Belanja online di Indonesia meningkat

Warga menggunakan ponsel untuk berbelanja secara daring di salah satu situs belanja di Bogor, Jawa Barat, Selasa (14/5/2024). Berdasarkan laporan Digital 2024 Global Overview yang dirilis We Are Social dan Meltwaterper Januari 2024, tren belanja online di Indonesia menunjukkan peningkatan yaitu sebanyak 59 persen pengguna internet di Indonesia gemar belanja online sehingga menempati urutan tertinggi kesembilan di dunia. ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/nym.

Terkait konsumen Gen Z, Dino menambahkan, "Gen Z tidak mudah termakan iklan di media sosial karena lahir dan besar dengan teknologi, sehingga mereka akan mencari informasi secara digital produk yang akan mereka beli. Mereka juga tidak mau produk yang seragam, mereka mau produk unik dan spesifik.”

"Usia Gen Z umumnya angkatan kerja baru,” ujar Dino, “Jadi kebutuhan mereka berbeda dengan generasi sebelumnya. Dengan income yang masih terbatas, mereka terdidik untuk mencari tahu suatu produk yang mereka beli."

Tren deinfluencing ini berkembang dan diikuti oleh mereka yang vokal melawan praktik konsumsi berlebihan.

Di media sosial kemudian muncul tren seperti Project Pan, ketika para pembuat konten berkomitmen untuk menghabiskan produk-produk yang mereka promosikan sebelum membeli produk baru lainnya.

Ada pula tantangan No-Buy, yaitu ajakan bagi kita untuk menahan diri tidak membeli produk tertentu dalam jangka waktu lama.

Hal tersebut menarik karena mengindikasikan adanya pergeseran tren konsumen yang lebih mindful atau sadar atas perilaku belanjanya.

Dino menjelaskan, sebagai konsumen hendaknya kita lebih bijak dalam berbelanja baik produk fesyen atau produk lainnya.

Beberapa poin yang Dino tekankan, pertama, adalah memaksimalkan fungsi.

"Pastikan yang kita beli produk dengan fungsi maksimal. Misalnya rice cooker, mesin cuci, tas, jangan hanya trendi saja, tapi secara fungsi harus mumpuni."

Kedua, Dino menyarankan untuk memilih produk yang berkualitas.

"Dengan kualitas yang baik, durabilty-nya semakin panjang, sehingga awet dan tidak cepat membeli barang baru."

Terakhir, barang yang kita belanjakan harus sesuai dengan pendapatan yang kita peroleh, "Jangan semua income dibelanjakan.”

Dino mengingkatkan, “Dari ketiga poin di atas, prinsip saat membeli barang adalah, apakah kita akan pakai produk ini 300 kali lebih? Atau dipakai selama lima tahun ke depan? Nah, bisa jadi kita beli botol minum yang mahal karena percaya kualitasnya dan memang akan dipake selama 5 tahun ke depan.”

“Intinya, jangan sampai kita membeli suatu barang hanya ikut-ikutan tren dan didorong oleh impulsive buying, ya!" pungkas Dino.

Setuju!

@dosen_fashyun

JANGAN GAMPANG DIMAKAN OMONGAN ORANG!

♬ original sound - Dino Augusto | Dosen Fashyun - Dino Augusto | Dosen Fashyun