tirto.id - Satuan Tugas Penanganan (Satgas) COVID-19 sepakat dengan langkah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang kembali menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Dalam pandangan Satgas COVID-19, Jakarta perlu dilakukan pengetatan karena tingginya angka penularan.
Juru Bicara Satgas COVID-19 Wiku Adisasmito menuturkan, kondisi terakhir DKI Jakarta dalam beberapa minggu terakhir masuk dalam zona merah atau tingkat penularan yang tinggi. Bahkan menurut Wiku Jakarta butuh lebih dari pembatasan yang lebih ketat demi menekan penyebaran virus corona COVID-19.
"Kami melihat dari kenaikan kasus selama 4 minggu terakhir utamanya karena zona merah di kota-kota di DKI Jakarta perlu dilakukan pembatasan yang lebih ketat, bahkan kalau perlu dilakukannya adalah pembatasan sosial berskala mikro," kata Wiku dalam konferensi pers secara daring dari Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (10/9/2020).
Wiku menerangkan pengetatan secara mikro penting dilakukan untuk mendapatkan data dan informasi lebih spesifik dalam penularan COVID-19. Data yang lebih akurat dengan metode 3T yakni testing, tracing, dan treatment harus dilakukan di daerah berzona merah.
Wiku pun menegaskan, langkah DKI Jakarta yang menerapkan PSBB sudah sesuai kaidah penanganan COVID-19. Ia menuturkan, DKI Jakarta sudah melakukan prakondisi, timing, prioritas, koordinasi dengan pemerintah pusat dan monitoring evaluasi dalam penanganan pandemi COVID-19.
Wiku mengatakan, kondisi Jakarta yang merah selama berminggu-minggu merupakan alarm agar ada pengetatan kembali.
"Itu [kondisi daerah yang terus zona merah] adalah alarm yang harusnya kita ambil hikmahnya untuk segera melakukan pengurangan atau pengetatan yang lebih tinggi lagi agar kondisinya bisa terkendali dan semua ini Tentunya perlu partisipasi dari masyarakat," kata Wiku.
Wiku juga menjawab soal kabar ketersediaan tempat tidur dan ICU di rumah sakit yang menipis. Menurut Wiku, hal tersebut masih bisa dikelola dengan baik jika proses preventif dan promotif masyarakat dilakukan dengan baik sehingga masyarakat patuh dengan protokol kesehatan.
Selain itu, rumah sakit yang ada di Jakarta dan di daerah lain perlu mengatur kembali kapasitas tempat tidur maupun ruang ICU. Ia meminta agar rumah sakit segera mendistribusikan ulang pasien jika mulai terlalu banyak.
Wiku menjelaskan untuk di Jakarta ketersediaan Bed Occupancy Rate (BOR) ICU dan isolasi pada 46 dari 67 RS rujukan atau 68,6 persen terisi di atas 60 persen. Kemudian 7 dari 67 RS rujukan COVID-19 penuh 100 persen. Sementara 14 dari 67 persen BOR ICU dan isolasi terisi di atas 60 persen.
Namun ia menambahkan kalau Rumah Sakit Darurat (RSD) Wisma Atlet masih bisa digunakan untuk perawatan ringan sedang. Ia menuturkan Wisma Atlet memiliki 2700 tempat tidur dan baru terisi sebanyak 1.600 tempat tidur sehingga masih ada 1.100 tempat tidur.
Kemudian, pemerintah juga akan mengoptimalkan tower 4 dan 5 untuk pengelolaan isolasi mandiri. Dua tower tersebut diperkirakan mencapai 4.800 kamar. Penggunaan ruang isolasi mandiri memerlukan surat rekomendasi dari puskesmas atau kelurahan setempat.
"Tentunya ini adalah pengalaman yang penting buat seluruh daerah di Indonesia agar dapat memonitor tingkat penggunaan tempat tidur ruang isolasi dan ICU di masing-masing tempat apabila sudah mulai meningkat agar segera diredistribusi, diarahkan ke fasilitas rumah sakit rujukan lainnya atau khusus untuk Jakarta bisa diarahkan memindahkan pasien dengan kondisi sedang dan ringan ke rumah sakit darurat Wisma Atlet," kata Wiku.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Bayu Septianto