tirto.id - Pemerintah tidak mengharuskan pasien COVID-19 tanpa gejala (OTG) dan sakit ringan isolasi di tempat khusus. Ini tertera dalam Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease (COVID-19) revisi ke-5 yang ditandatangani Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto pada 13 Juli 2020.
Pedoman itu menyatakan, pasien terkonfirmasi yang tanpa gejala dan sakit ringan tidak memerlukan rawat inap di rumah sakit, “tetapi harus menjalani isolasi selama 10 hari sejak pengambilan spesimen diagnosis konfirmasi, baik isolasi mandiri di rumah maupun di fasilitas publik yang dipersiapkan pemerintah.”
Tak adanya klausul yang mengharuskan isolasi mandiri di fasilitas yang telah dipersiapkan membuat sebagian pasien memilih rumah. Salah satunya Retno (29), yang dinyatakan positif pada 23 Agustus 2020.
Retno, seorang pekerja swasta, tinggal di apartemen di Depok, Jawa Barat bersama suaminya. Ia menempati apartemen tipe studio--terdiri dari satu ruangan besar tanpa sekat kamar dan satu-satunya ruangan yang terpisah adalah kamar mandi. Ruangan berukuran 20 meter persegi tanpa sekat itu berfungsi sekaligus sebagai kamar tidur, ruang makan, ruang kerja, dan ruang tamu.
Ia mengalami gejala COVID-19 sejak 16 Agustus. Retno memeriksakan diri ke salah satu rumah sakit karena demam, tak enak badan, dan napasnya berat. Hasil pemeriksaan rontgen menunjukkan ada indikasi terpapar COVID-19.
Ia menuju ke RS Darurat Wisma Atlet. Saat itu petugas jaga memberitahu bahwa yang boleh masuk hanya orang yang telah dinyatakan positif. Ia lantas diarahkan ke rumah sakit rujukan terdekat yang melayani tes swab. Ia menjalani tes swab atau Real Time-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) Pada 18 Agustus di rumah sakit swasta dengan biaya sendiri.
Pada hari itu ia masih merasakan sesak nafas. Tanggal 19 masih batuk tapi tak separah beberapa hari sebelumnya. Setelah tanggal 20 sudah tak batuk, katanya.
“Tanggal 23 hasilnya keluar. Suami saya hasilnya negatif, saya yang positif,” kata Retno saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (8/9/2020).
Esoknya Retno kembali ke RS Darurat Wisma Atlet, berharap bisa diisolasi. Namun, lantaran dari hasil pemeriksaan batuk dan sesak nafas sudah membaik, ia disarankan isolasi mandiri di rumah. Petugas bilang, RS Darurat Wisma Atlet hanya untuk pasien COVID-19 yang benar-benar butuh penanganan intensif. Ia hanya diberi vitamin dan kemudian pulang.
Petugas bilang per 3 September masa isolasi mandirinya berakhir dan setelah itu ia diminta ke puskesmas untuk memeriksakan diri.
Selama masa isolasi mandiri, ia tak pernah dipantau petugas kesehatan dari level atau instansi mana pun.
Sesuai saran petugas Wisma Atlet, pada 4 September, ia pergi ke puskesmas untuk melakukan swab. Namun, petugas puskesmas bilang bagi pasien yang sudah selesai menjalani masa isolasi mandiri dan tanpa gejala tak perlu lagi tes.
Ini mengacu pedoman yang lagi-lagi dibikin Menkes Terawan. Dijelaskan, kasus seperti Retno--tanpa gejala dan gejala sedang, “tidak dilakukan pemeriksaan follow up RT-PCR.”
Disebutkan pula bahwa isolasi dinyatakan selesai “apabila sudah menjalani isolasi mandiri selama 10 hari sejak pengambilan spesimen diagnosis konfirmasi dengan ditambah minimal tiga hari setelah tidak lagi menunjukkan gejala demam dan gangguan pernapasan.
Masalahnya Retno membutuhkan hasil tes swab karena itu disyaratkan kantornya. Ia pun lagi-lagi tes mandiri di rumah sakit. “Saya tes swab tanggal 4 keluar tanggal 7, hasilnya masih positif. Puskesmas minta saya lanjutkan isolasi mandiri sedangkan yang kontak erat dengan saya akan di-swab oleh puskesmas.”
Suami Retno masih menunggu hasil tes swab. Suaminya adalah satu-satunya orang yang berkontak secara erat dengannya. Apartemen yang tanpa sekat tak memungkinkan mereka untuk tidak melakukan kontak fisik.
“Alat makan minum sudah dipisah tapi kalau tidur susah karena kasur cuma satu,” katanya.
Isolasi Mandiri Keliru
Epidemiolog dari Universitas Indonesia Pandu Riyono menilai tak mewajibkan para pasien COVID-19 tanpa gejala dan sakit ringan untuk isolasi di satu tempat khusus merupakan “kebijakan keliru dari pemerintah.”
Sulit untuk memisahkan mereka yang terinfeksi dengan yang belum terinfeksi jika isolasi di rumah. Ini membuat potensi penularan sangat besar.
Ia mencontohkan beberapa kasus yang dialami satu keluarga. Satu keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak di Kendari Sulawesi Tenggara yang terkonfirmasi positif COVID-19 meninggal dunia. Hal serupa pernah terjadi terhadap satu keluarga dokter di Pamekasan Madura.
Pandu mengatakan kasus-kasus seperti itu kini semakin meningkat.
“Isolasi mandiri tidak boleh. Harus dihentikan. Kalau itu diteruskan, sama saja membiarkan penularan terus berlangsung. Jadi negara harus menyediakan tempat bagi mereka yang positif tanpa gejala atau gejala ringan,” kata Pandu.
Diperhatikan Jokowi & Anies
Presiden Joko Widodo sadar perkara ini. Karena itu ia meminta jajaran Kabinet Indonesia Maju untuk mewaspadai potensi klaster penyebaran COVID-19 di klaster keluarga, selain klaster perkantoran dan klaster pilkada.
“Ini perlu saya sampaikan. Hati-hati yang namanya klaster kantor; yang kedua, klaster keluarga; yang terakhir, klaster pilkada. Hati-hati,” kata Jokowi dalam sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta, Senin (7/9/2020).
Masalahnya peringatan ini belum diimplementasikan Menkes Terawan dengan menghapus kebijakan isolasi mandiri. Kebijakan ini justru hendak direalisasikan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Ia akan membuat regulasi yang melarang warga yang positif COVID-19 isolasi mandiri di rumah.
“Selama ini yang dianjurkan untuk melakukan isolasi di fasilitas milik pemerintah adalah mereka yang tinggal di pemukiman padat. Ke depan semua akan diisolasi di fasilitas milik pemerintah,” kata dia saat meresmikan Tugu Peringatan COVID-19 di Sunter, Jakarta Utara, Selasa (1/9/2020). “Masyarakat yang terpapar positif wajib mengikuti ini.”
Pasien yang mengalami gejala ringan atau tanpa gejala akan dirawat di Wisma Atlet, sementara yang bergejala sedang dan berat harus dirawat di rumah sakit. Anies mengaku telah berkoordinasi dengan Presiden Jokowi.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Maya Saputri