Menuju konten utama

Sandi, Tempe, Duit 100 Ribu & Menggoreng Isu Ekonomi bagi Emak-Emak

Dalam keluarga, perempuan adalah pemegang kunci kebijakan yang berkaitan dengan pengeluaran.

Sandi, Tempe, Duit 100 Ribu & Menggoreng Isu Ekonomi bagi Emak-Emak
Bakal calon wakil presiden Pilpres 2019 Sandiaga Uno (kanan) tiba untuk menjalani tes kesehatan di RSPAD, Jakarta, Senin (13/8/2018). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

tirto.id - Pada 7 September 2018 lalu, calon wakil presiden Sandiaga Uno menceritakan tentang hasil temuannya di lapangan tentang ekonomi yang semakin mencekik. Ketika rupiah terus melemah dan menembus angka Rp15.000 per dolar Amerika, Sandiaga berbicara soal tempe yang berukuran setipis ATM dan uang seratus ribu rupiah yang hanya mampu untuk membeli bawang dan cabe.

“Tempe sekarang sudah dikecilkan. Dan tipisnya sama kayak kartu TM. Tahu Ibu Yuli di Duren Sawit, jualan tahu dikecilin karena tidak bisa menaikkan harga karena enggak akan laku karena daya belinya,” kata Sandiaga seperti dilansir Liputan6.com.

Cara komunikasi Sandiaga soal daya tukar uang Rp100 ribu dan tempe yang menipis di atas sudah membidik kaum perempuan, yang secara umum memegang kebijakan berbelanja keluarga. Merebut hati kaum perempuan tak hanya terjadi dalam konteks politik elektoral Indonesia.

Dalam pemilihan presiden Amerika Serikat pada 2012, Barack Obama dan Mitt Romney juga melakukan pendekatan terhadap perempuan dalam persaingan perolehan suara. Bedanya, mereka memakai isu-isu terkait feminisme. Dalam artikel berjudul “Why Obama Won the Women’s Vote” yang dimuat The Guardian, Emma Brockes menulis bahwa Mitt Romney kalah akibat pernyataan yang dianggap kuno terkait perempuan. Dalam kampanyenya, Mitt Romney lebih banyak membahas tentang perkosaan, aborsi, dan kehidupan berkeluarga.

“Ini adalah momen yang menentukan dalam feminisme sebagaimana telah terjadi. Perdebatan tentang dimana kita berada di dunia pasca-feminis, bagaimana wanita mulai mual tentang menyebut diri mereka feminis,” tulis Brockes dalam artikel tersebut.

Meski isunya tak sama, kasus Indonesia dan Amerika Serikat menunjukkan satu kesamaan: kandidat dalam pilpres berjuang untuk memenangkan suara perempuan dengan pendekatan yang paling mereka anggap menarik perempuan.

Pada pemilihan presiden 2014, survei Indobarometer menunjukkan pertarungan memperebutkan suara perempuan dimenangi oleh Jokowi. Dilansir Kompas.com, kubu Prabowo-Hatta kalah pada demografi pemilih perempuan. Pendukung Prabowo-Hatta dari perempuan hanya berkisar 31 persen, sedangkan Jokowi-JK memiliki tingkat dukungan mencapai 53,2 persen.

Survei Litbang Kompas 2014 juga mencatat Jokowi-JK lebih menarik kaum perempuan dan ibu rumah tangga. Jokowi-JK pun saat itu juga lebih mampu menarik perhatian pada masyarakat berpendidikan rendah, kelas sosial menengah ke bawah, serta pelajar dan mahasiswa.

Kini, Indonesia sedang melawan pelemahan rupiah dan masalah ekonomi yang turunannya. Tak heran jika masalah ekonomi ini pulalah yang digoreng oleh kandidat, terutama kandidat oposisi.

Menggoreng Persoalan Ekonomi kepada Perempuan

Pengamat ekonomi-politik pada Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri menyampaikan bahwa secara umum terdapat istilah economic voting, yakni istilah yang digunakan untuk memilih berdasarkan kebijakan atau hasil ekonomi calon presiden atau calon pemimpin yang dipilih. Isu ekonomi ini sangat erat kaitannya dengan pendekatan kepada pemilih perempuan, khususnya ibu rumah tangga.

“Istilah Bill Clinton, ‘It’s economy stupid’, kampanye yang dibawa Bill Clinton [pada pemilu] 1992 mengusung kampanye tentang ekonomi. [Dalam] kampanye sebelumnya, George Bush I tidak berhasil dalam bidang ekonomi. Jadi, dia [Clinton] menaikkan kampanye mengenai ekonomi, mengenalkan kebijakan ekonomi yang dianggap cukup baik dan mengeluarkan permasalahan ekonomi yang dianggap tidak berhasil jaman Bush, sehingga bisa memenangkan pemilu 1992,” kata Yose.

Yose menyampaikan setelah kemenangan Bill Clinton tersebut isu ekonomi menjadi isu yang krusial untuk pemilihan presiden maupun Perdana Menteri di Pemilu. Umumnya, masyarakat akan mengukur tingkat keberhasilan ekonomi presiden sebelumnya sebagai faktor penentu pilihan.

Pendekatan ekonomi keluarga merupakan salah satu isu ekonomi yang dapat ditawarkan. Pendekatan ekonomi keluarga tersebut diantaranya adalah isu harga serta lapangan pekerjaan, termasuk di dalamnya adalah tentang daya beli masyarakat.

Studi Alvara Research Center menunjukkan bahwa tingkat kepuasan publik terhadap pemerintah yang terendah adalah soal stabilitas harga bahan pokok. Artinya, ibu-ibu adalah pihak yang paling relevan untuk dibidik dalam persoalan ini.

"[Hal] itu berpengaruh terhadap kebutuhan rumah tangga. Kalau berbicara kebutuhan rumah tangga, siapa yang berpengaruh di rumah? Tentunya adalah ibu-ibu,” ujar Hasanuddin Ali, peneliti politik Alvara.

Infografik survei Indobarometer

Bagaimana Pendekatan yang Harus Dilakukan Paslon?

Yose Rizal Damuri dari CSIS menilai selama ini kubu incumbent masih terjebak pada isu mengenai utang dan nilai tukar, padahal isu pertumbuhan ekonomi lebih layak dibahas dalam pertarungan untuk mendapatkan kursi presiden. Ada dua hal yang menurutnya penting, yakni stabilitas harga pangan dan lapangan pekerjaan.

Sementara itu, Hasanuddin Ali dari Alvara menyebutkan beberapa pendekatan yang dapat dilakukan oleh kedua kubu. Ali menyampaikan, dalam pendekatan soal harga, incumbent harus menstabilkan harga serta memperkuat pendapatan dari masyarakat.

“Jadi misalnya, contoh yang paling gampang adalah jaman SBY ada BLT (Bantuan Langsung Tunai) yang langsung cash diterima oleh masyarakat. Bisa juga dalam konteks ini, kebijakan populis yang tidak sama dengan BLT, tapi dalam jangka pendek mampu memperkuat pendapatan keluarga,” kata Hasan.

Hasan membeberkan, kebijakan populis yang dapat digunakan oleh incumbent di antaranya adalah melakukan padat karya yang upahnya bisa didapatkan secara mingguan. Selain itu, ia juga mencontohkan penerapan kebijakan keluarga harapan yang digagas Kementerian Sosial (Kemensos). Hasan menilai, selama ini incumbent belum mengkomunikasikan dengan baik kebijakan yang diambil kepada masyarakat.

Dari pihak oposisi, menurut Hasan, selama ini kubu Prabowo-Sandi telah melakukan pendekatan kepada perempuan. Namun, ia menekankan bahwa pendekatan yang penting untuk dilakukan adalah terhadap perempuan kategori kelas menengah-bawah.

Dalam hal belanjaan Rp100 ribu rupiah dan tempe tipis, sesungguhnya Sandi sudah membuka palagan perebutan suara kaum perempuan, terutama pada segmen kelas menengah-bawah. Akan sukses atau tidak? Yang jelas, dalam berhari-hari pernyataannya dibicarakan di kanal-kanal media sosial dan media massa, termasuk Tirto.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Widia Primastika

tirto.id - Politik
Reporter: Widia Primastika
Penulis: Widia Primastika
Editor: Maulida Sri Handayani