Menuju konten utama

Samaun Samadikun, Pejuang Mikroelektronika Indonesia

Sebuah wajah dari Indonesia muncul di doodle Google . Dia adalah Samaun Samadikun, ahli elektro Indonesia berkelas internasional. Samaun beruntung karena bisa mengenyam bangku pendidikan yang cukup baik. Sebagai anak kepala pribumi, Samaun bisa bersekolah di SD kolonial elit, Europe Lager School (ELS) di Kediri maupun Ponorogo. Bersama Prof. Kensall D. Wise, Samaun berhasil mematenkan metode untuk membentuk area ketebalan sebuah silicon wafer .

Samaun Samadikun, Pejuang Mikroelektronika Indonesia
Samaun Samadikun, Bapak Mikroelektronika Indonesia. FOTO/repro buku biografi Samaun Samadikun

tirto.id - Jumat, 15 April 2016, halaman utama Google Indonesia dihiasi doodle dengan gambar seorang laki-laki plus kabel-kabel yang terlilit dan trafo di belakangnya. Doodle itu, jika dilihat sekilas seperti membentuk tulisan: G-O-O-G-L-E. Laki-laki di antara trafo dan kabel itu adalah Samaun Samadikun, “Sang Petani Silikon” dari Indonesia.

Samaun Samadikun lahir di Magetan 15 April 1931. Samaun kecil pernah dititipkan ke rumah neneknya di Jombang karena ayahnya selalu berpindah dinas di zaman kolonial. Ayahnya pernah menjadi pejabat penting mulai dari mantri polisi di Surabaya, asisten wedana di Delopo (Madiun), Wedana di Balong dan Patih di Kediri. Ketika akhirnya diasuh oleh ayahnya, Samaun merasa senang. Apalagi, ia bisa mendapatkan kamar khusus sehingga bisa menyalurkan hobinya.

Di kamarnya itulah Samaun kecil mulai berkutat dunia elektronika. "Saya memperoleh kamar khusus untuk 'radio' saya, tempat saya dapat kumpulkan segala barang rongsokan dan dapat melakukan hobi saya," ingat Samaun.

Selain rumah yang luas untuk menyalurkan hobinya, Samaun juga beruntung karena bisa mengenyam bangku pendidikan yang cukup baik. Sebagai anak kepala pribumi, Samaun bisa bersekolah di SD kolonial elit, Europe Lager School (ELS) di Kediri maupun Ponorogo. Sekolah Samaun pernah kacau. ELS dibubarkan setelah masa pendudukan Jepang. Ia pun harus masuk Sekolah Rakyat.

Samaun tumbuh dewasa di tengah Perang Pasifik dan Perang Kemerdekaan Indonesia. Sebagai pelajar nasionalis, ia terlibat dalam Tentara Genie Pelajar (TGP) di masa revolusi. Apalagi ayahnya adalah pegawai Republik yang pernah jadi residen lalu belakangan jadi wakil gubernur Jawa Timur di masa Perang Kemerdekaan. Pengetahuan radio buah dari kegemarannya itu berguna bagi TGP.

Samaun tidak mengikuti jejak ayahnya sebagai pegawai dalam negeri yang punya posisi penting di Jawa Timur. Samaun lebih memilih kuliah elektro. Ia memilih ITB, yang ketika itu masih menjadi bagian dari Universitas Indonesia. Namun, Samaun tidak bisa menuntaskan pendidikannya di ITB.

Tahun 1955, ketika hubungan Indonesia Belanda memburuk karena Belanda enggan menyerahkan Papua ke Indonesia, banyak orang-orang Belanda pulang ke negaranya. Termasuk para dosen ITB berkebangsaan Belanda. Banyak mahasiswa terkatung-katung karena guru besarnya hilang. Salah satunya Samaun. Beruntung, Samaun mendapatkan tawaran dari pemerintah untuk menuntaskan studinya di luar negeri.

"Saya sebagai salah satu yang mempunyai beasiswa pemerintah ditawari untuk menyelesaikan pendidikan di Australia, Kanada, atau Amerika Serikat. Saya waktu itu memilih untuk menyelesaikan di Australia," ingat Samaun.

Australia dipilih karena dianggap dekat dengan Indonesia. Ketika itu, Samaun masih merasa takut pergi ke luar negeri. Namun, Samaun akhirnya mendapatkan jatah belajar di Amerika karena pelajar yang memilih Australia sudah sangat banyak.

"Waktu diminta untuk mengisi formulir pedaftaran dan diminta menyebutkan universitas mana yang diinginkan, saya juga tidak mengetahui universitas mana, tetapi setelah menanyakan ke asisten yang ada, disarankan untuk menulis Stanford saja," ungkapnya.

Samaun akhirnya diterima di Stanford University, California. Hasil evaluasi menyatakan, Samaun bisa mengambil program Master tanpa perlu terlebih dahulu mengambil Bachelor (sarjana strata I). Ia lulus dengan gelar M.Sci atau Master of Science pada tahun 1957.

Samaun kemudian pulang ke Indonesia dan sempat menjadi dosen di ITB selama sebelas tahun. Dia kembali lagi ke Stanford pada 1968. Ketika dana pendidikannya habis, Samaun bekerja di pabrik semi konduktor Hawlett Packard untuk sementara waktu. Ketika dana penelitian dan pendidikannya cair lagi, Samaun kembali kuliah dan berhasil memeroleh gelar Ph.D. Samaun pun kembali ke Almamaternya.

"Ketika beliau lulus di Stanford, Silicon Valley baru mulai. Kalau ia mau, kaya rayalah beliau di Silicon Valley. Tapi ia memutuskan untuk pulang dan membangun ITB," jelas Armein Langi salah satu koleganya di ITB.

Samaun pulang dengan keyakinan, mikroelektronika mempunyai peluang untuk dimanfaatkan bagi peningkatan kesejahteraan bangsa seperti yang terjadi di Silicon Valley maupun di tempat lain di dunia.

Bersama Prof. Kensall D. Wise, Samaun berhasil mematenkan metode untuk membentuk area ketebalan sebuah silicon wafer sesuai yang diinginkan. Tahun 1975, Paten mereka yang dijuduli: Method for Forming regions of Predetermined thickness in Silicon itu dikabulkan US Patent and trademark Office (USPTO).

Menurut Amru Hydari Nazif dalam buku Profesor Samaun Samadikun Sang Petani Silikon Indonesia (2008), penemuan itu tidak saja didasarkan pada pemahaman utuh karakteristik silikon. Tapi juga merupakan kiat-kiat yang bisa diterapkan dalam industri. Penemuan ini merupakan awal dari kedekatan dunia elektronika dengan dunia kedokteran, berupa transducer dan piranti ukur lain dalam biomedika.

Setelah penemuannya bersama Kennell Wise, Samaun ikut berjuang membangun kota semacam Silicon Valley di Indonesia. Memajukan mikroelektronika sangat penting baginya.

"Elektronika adalah hidup saya dan pemilihan bidang ini saya dapat dari bacaan dan lingkungan di luar keluarga yang ada saat itu, tetapi sifat-sifat lain banyak saya peroleh dari lingkungan keluarga waktu kecil," jelas Samaun Samadikun dalam sebuah wawancara dengan Yuti Ariani yang dimuat dalam Profesor Samaun Samadikun Sang Petani Silikon Indonesia (2008).

Samaun pernah menggagas Bandung High Tech Valley sebagai Silicon Valley ala Indonesia. Sayangnya, cita-cita itu belum terlaksana hingga ia meninggal dunia pada 15 November 2006.

"Kita bisa disalahkan oleh generasi-generasi berikutnya karena gagal mengembangkan elektronik di Indonesia," keluh Samadikun sebelum meninggal. Keluhan itu diungkapkan pada sejawatnya di ITB, Hardi Simadjaja.

"Pak Hardi, kita ini adalah generasi yang gagal. Kita bisa disalahkan oleh generasi-generasi berikutnya karena gagal mengembangkan elektronik di Indonesia," lanjut Samadikun.

"Pak Samaun, kita memang gagal, tetapi sesungguhnya kegagalan ini tidak berdiri sendiri karena kait-mengait dengan keadaan Indonesia selama ini, terutama rusaknya mentalitas, moralitas, dan penyimpangan-penyimpangan lainnya yang seharusnya tidak boleh terjadi dalam satu masyarakat dan negara," tanggap Hardi. Menurut Hardi, kebesaran jiwa Samaun nampak dari sikapnya yang tidak menyalahkan orang lain melainkan diri sendiri.

Samaun berpulang sebelum Silicon Valley hadir di Indonesia. Namun, cita-cita Samaun adalah cita-cita Indonesia. Untuk mewujudkannya, butuh sebuah kerja keras. Seperti yang tertuang dalam puisi Samaun berjudul Petani Silikon.

Kami adalah petani silikon

Lahan kami adalah silikon
Garapan kami adalah silikon
Hasil kami adalah silikon
Kami pupuk silikon dengan boron.
Kami pupuk silikon dengan fosfor.
Kami cangkul silikon dengan plasma.
Kami siram silikon dengan metal.
Berjuta transistor tumbuh dengan subur
Beribu gerbang terkait dan terukur
Sinyal diubah menjadi informasi
Informasi dituai untuk sarapan rohani
Dan semua usaha untuk kemakmuran bangsa
Dan semua kelelahan untuk keagungan manusia
Dan semua hasil adalah hasil karunia-Nya
Dan petani silikon terus berusaha

Baca juga artikel terkait GOOGLE DOODLE atau tulisan lainnya

tirto.id - Humaniora
Reporter: Petrik Matanasi