tirto.id - "Di sini, mereka bilang, pembalasan dendam itu seperti sungai. Tindakan kita dipandu oleh arus. Pembalasan dendam itu seperti sungai, dasarnya hanya bisa kita capai ketika kita tenggelam."
Perkataan itu sepenuhnya menjadi kerangka cerita Saloum, film horor-thriller Senegal yang ditulis dan diarahkan sutradara asal Kongo, Jean Luc Herbulot. Film ini telah dirilis terbatas sejak 2021 dan kini hadir di layanan streaming Shudder.
Saya sama sekali tak punya gagasan tentangnya ketika mendapati ia dibincangkan segelintir penikmat film di internet. Tidaklah pula familier dengan kiprah sang filmmaker. Baru selepas menonton film ini, saya mendapati bahwa ini adalah feature film kedua Herbulot selepas Dealer (2014).
Di luar layar lebar, Herbulot sebelumnya terlibat dalam beragam pekerjaan, seperti art director untuk serial TV, mengkomposisi musik, video musik, hingga desain grafis. Bekal CV yang “generalis” itu barangkali mendasari Saloum tampil dengan sarat gaya.
Sedari mula, ia telah menghentak. Sekuens aksinya diiringi musik oleh KOKOKO!, band elektro eklektik asal Kongo, dan secara keseluruhan scoring yang rancak oleh Reksider ditempatkan dengan jitu. Sedari mula, memberikan kesan bahwa secara tampilan, Saloum adalah "film keren".
Balas Dendam itu Seperti Sungai
Pada 2003, kudeta militer meletus di Guinea-Bissau dan pemulihan ketertiban lebih menyerupai pertumpahan darah. Trio tentara sewaan diupah untuk mengekstraksi dan membawa seorang drug lord asal Meksiko beserta sekoper penuh emas batangan menuju Dakar, Senegal.
Manakala Felix (Renaud Farah) si drug lord itu kebanyakan cakap, salah seorang tentara bayaran bakal meniupkan segenggam serbuk ke mukanya yang sontak membuatnya tertidur. Serbuk yang sama juga menjadi elemen kunci yang memberikan para mercenaryitu metode yang unik. Ia sekaligus menggambarkan bahwa mereka bukan tentara biasa.
Bangui Hyenas, nama grup tentara bayaran itu. Nama yang bergema di banyak medan perang di Afrika bagian barat. Para personilnya dirumorkan sebagai kanibal bahkan penyihir. Cerita-cerita tentang mereka pun menginspirasi para serdadu anak.
Dalam penyampaian bak film-film spaghetti western ataupun kriminal, Herbulot menampilkan para "hyena" itu dengan ikonik: Chaka (Yann Gael) adalah sosok terpelajar yang menjadi pemimpin sekaligus “otak” grup, Rafa (Roger Sallah) yang bersepatu Versace sebagai "otot", dan Minuit (Mentor Ba) yang berambut gimbal putih panjang, yang menguarkan aura mistis.
Mereka juga ditampilkan mahir berbicara banyak bahasa (di samping Perancis, film ini menampilkan bahasa Spanyol, Inggris, Wolof, dan banyak porsi untuk bahasa isyarat). Dengan reputasi demikian, sekilas tak ada yang salah dengan operasi yang dilancarkan Bangui Hyenas. Hingga, kebocoran tangki pesawat "memaksa" mereka mendarat di Saloum, kawasan di Senegal yang menghadap langsung Samudra Atlantik.
Tak hanya mengangkat realitas pascakolonial kawasan Afrika Barat (tentara bayaran, serdadu anak, kudeta), film ini juga menampilkan lanskap indah, seperti padang pasir dan delta Sungai Saloum. Itu adalah tanah sakral yang cocok untuk menjadi latar kisah western.
Adapun tempat yang mereka tuju untuk mengambil bahan bakar dan resin sebetulnya justru menyimpan masa lalu kelam Chaka sebagai serdadu anak. Tempat itu kemudian menjelma sebagai latar untuk bagian horor film ini.
Di Baobab Camp, sebuah sanktuari yang dikelola Omar (Bruno Henry), Saloum perlahan berubah haluan menjadi kisah horor monster. Kita pun akhirnya mengetahui, kendati beroperasi di zona abu-abu, Bangui Hyenas nyatanya dianggap pahlawan oleh masyarakat berkat karakter perempuan bisu-tuli Awa (Evelyne Ily Juhen).
Di tempat yang sama, segala trope film western digantikan trope film horor (sosok berkelebat, ucapan klise "kita tak sendiri", dan sebagainya). Dalam suasana mencekam, cerita kemudian mengarah padakebangkitan spirit Gana Sira Bana dalam wujud semacam kerumunan serangga yang melahap panca indera manusia.
Spirit itu punya cara unik untuk “memangsa”: barang siapa mendengar suaranya akan tewas. Ini memberikan penceritaan yang cukup segar dalam urusan survival para karakter. Pasalnya, sang antagonis utama tidaklah bisa dilawan tanpa pengorbanan.
Sayangnya, pendekatan horor monsternya terasa kurang optimal. Makhluk apa yang tengah dilawan para jagoan kita itu tak begitu jelas. Ketika mereka menikam atau menembak sang spirit segalanya jadi ambigu, apakah itu personifikasi dari spirit ataukah manusia yang kerasukan. Teknik pengambilan gambar yang kaotis, demi suasana yang realistis dan mencekam, juga sama sekali tak membantu pada bagian aksi.
Begitu pula dengan adeganpengorbanan yang semestinya cukup emosional, justru terasa lempeng saja. Namun, di antara kekurangan itu, Saloum setidaknya tetap berpegang pada ide dasarnya: pembalasan dendam ialah upaya sia-sia.
Kita tak mendapati para jagoan berjalan menuju matahari terbenam dan menyongsong emas yang telah mereka kubur sebelumnya. Yang kita temui adalah kematian yang tragis usai tunainya pembalasan dendam.
Kisah Heroik Melaju Lebih Cepat dari Peluru
Saloum terang saja bukan film dengan naratif white savior yang kerap kita temukan kala Barat membuat film soal Afrika dan orang-orangnya. Konteks ini dibawa kian jauh tatkala orang-orang kulit putih justru ditampilkan sebagai mereka yang turut andil dalam merusak ekosistem laut dengan bahan peledak.
Saloum adalah bagaimana orang Afrika menulis ulang kisah mereka, sambil tetap menghadirkan karya yang mampu menghibur. Ia lebih menyerupai kisah kepahlawanan di Afrika modern, yang pantas menyebar dengan cepat.
Kendati masih ditemukan kekurangan pada tampilannya, semisal visual effect yang kurang mantap, Saloum toh dihadirkan dalam sinematografi yang cukup pantas. Scoring yang solid beserta nada-nada gubahan musisi Afrika kekinian mengiringi dan memberi keunikan. Karakter-karakternya necis, tapi tetap badass dengan penyampaian yang karismatik terutama dari aktor Yann Gael.
Perpaduan genre western dan supernatural thriller-nya cukup mulus. Kendati demikian, bagian horornya tak cukup memuaskan ketimbang saat narasinya masih dalam bentuk kisah koboi. Premis ihwal pembalasan dendam disampaikan dengan unik, meski di lain sisi, kesederhanaannya bisa saja dicap dangkal laiknya kisah horor monster kebanyakan.
Para penonton kebanyakan juga mungkin perlu konteks lebih jauh ihwal kisah rakyat Bainuk yang diangkat, juga nama-nama entitas supranaturalnya yang diseret ke cerita. Dalam durasi tak sampai satu setengah jam, Saloum cukup sukses membawakan mitologi, mistisisme Afrika, ke dalam coraknya sendiri. Film yang menghadirkan kesan kuat pula terasa baru dari barat Afrika, memberi bayangan akan apa yang bisa dilakukan sang sutradara ke depannya dengan bujet yang lebih mewah.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi