tirto.id - Ketidakpastian hukum menanti para eks narapidana kasus korupsi (napi korupsi) yang hendak menjadi calon anggota legislatif (caleg). Pangkal soalnya, perdebatan antara Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) ihwal boleh tidaknya eks napi korupsi maju sebagai caleg belum menemukan titik temu.
Polemik itu kembali menguat setelah sejumlah Bawaslu di daerah mengabulkan gugatan eks napi korupsi agar bisa menjadi caleg. Mereka mengeluarkan putusan tersebut karena menganggap eks napi korupsi tak bisa dihalangi haknya menjadi calon anggota dewan.
Bawaslu berpedoman pada UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dalam mengeluarkan putusan. Selain itu, Bawaslu menganggap PKPU Nomor 20 Tahun 2018 bertentangan dengan UUD 1945 sehingga mereka tak mengindahkan beleid tersebut.
"Pasal 28J [UUD] jika ingin disimpangi, maka penyimpangannya melalui undang-undang [...] Jika ada ketentuan hukum yang bertentangan dengan UU, maka yang dipilih adalah UU," kata Anggota Bawaslu RI Rahmat Bagja di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (3/9/2018) awal pekan ini.
Pandangan itu berbeda dengan KPU yang menilai eks napi korupsi tak bisa menjadi caleg. Alasannya, PKPU Nomor 20 Tahun 2018 mewajibkan parpol tidak mencalonkan eks napi korupsi, kejahatan seksual pada anak, dan bandar narkoba.
KPU enggan menjalankan putusan Bawaslu selama belum ada keputusan dari Mahkamah Agung (MA) yang menyebut PKPU 20/2018 bertentangan dengan UU. PKPU tersebut memang sedang diuji oleh sejumlah eks napi korupsi ke MA sejak Juli 2018.
"Silakan publik menilai. KPU harus berpegang pada regulasi yang ada, yaitu PKPU 20/2018 pasal 4 ayat (3). Itu melekat pada persyaratan pengajuan [caleg] oleh parpol," kata Komisioner KPU RI Viryan di kantornya, Selasa (4/9/2018).
Saling Lempar Tanggung Jawab
Polemik antara kedua lembaga itu akhirnya diselesaikan melalui forum tripartit KPU, Bawaslu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Pertemuan sudah digelar Rabu malam (5/9/2018). Hasilnya, ketiga lembaga itu meminta MA mempercepat putusan dalam uji materi PKPU 20/2018.
Ketua DKPP Harjono berkata, lembaganya bersama KPU dan Bawaslu akan mengirim surat ke MA dalam beberapa hari ke depan. Ia menyatakan status quo antara KPU dan Bawaslu masih berlaku selama MA belum mengeluarkan putusan. Karena itu, ketiga lembaga itu meminta MA segera memutuskan uji materi sesuai amanat Pasal 76 UU Pemilu.
"Pasal 76 UU Pemilu itu menyatakan bahwa penyelesaian [uji materi PKPU] secara cepat, 30 hari dan sebagainya. Jadi kalau itu digunakan, maka MA tidak usah tunda-tunda lagi menanti putusan MK," ujar Harjono di kantornya, Rabu malam.
Permintaan KPU, Bawaslu, dan DKPP ditanggapi dingin MA. Lembaga itu menganggap permintaan KPU, Bawaslu, dan DKPP salah alamat.
Kepala Biro Media dan Humas MA Abdullah berkata, lembaganya belum bisa memutus uji materi PKPU karena menunggu putusan uji materi atas UU Pemilu yang diproses Mahkamah Konstitusi (MK). Mengacu pada hukum acara, kata Abdullah, maka pengujian PKPU 20/2018 baru bisa dilakukan setelah uji materi UU Pemilu selesai di MK.
"Itu kan di hukum acara tidak ada [permintaan agar MA mempercepat putusan]. Lebih baik dialamatkan kepada MK supaya cepat diputus itu [uji materi UU Pemilu]," kata Abdullah, Kamis (7/9/2018).
Saat dikonfirmasi, Juru Bicara MK Fajar Laksono justru membalikkan pernyataan MA. Menurut Fajar, MA tidak harus menunggu lembaganya memutus uji materi UU Pemilu. Alasannya, norma hukum yang diuji ke MK berbeda dengan persoalan pada PKPU 20/2018.
"Seharusnya [MA] bisa melanjutkan memeriksa judicial review PKPU. Kalau argumentasinya menunggu putusan MK yang menguji UU Pemilu [...] maka PKPU itu kapan mau diperiksa?" ujar Fajar kepada reporter Tirto.
Tenggat Mendekat, Siapa Perlu Dituruti?
Berdasarkan tahapan pemilu 2019, KPU RI akan menetapkan Daftar Caleg Tetap (DCT) pada 20 September 2018. Masalah bisa muncul jika hingga tenggat tersebut belum ada putusan terhadap uji materi PKPU 20/2018 dari MA.
Pengamat hukum dari Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Veri Junaidi berkata putusan Bawaslu ihwal eks napi kasus korupsi seharusnya dijalankan KPU RI. Ia menilai KPU salah karena enggan menjalankan putusan Bawaslu.
Veri pun menyarankan agar para eks napi kasus korupsi melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) jika KPU tetap tak mengindahkan keputusan Bawaslu. Menurutnya, jalur sengketa melalui PTUN dijamin dalam UU Pemilu.
"Ini kan ruang penyelesaian sengketa sebenarnya, Karena itu mekanismenya penyelesaian sengketa yang dijalankan. Ini kan sudah ada keputusan Bawaslu, jika KPU tidak mau menjalankan maka para pihak yang dirugikan bisa ajukan gugatan ke PTUN," kata Veri kepada reporter Tirto.
Menurut Veri, KPU berposisi sebagai pengambil kebijakan dalam ranah pemilu. Jika kebijakan KPU digugat, dan hasilnya sudah diputuskan Bawaslu, maka penyelenggara pemilu harus menjalaninya.
"Ruang penyelesaiannya sekarang menurut saya para pihak [eks napi kasus korupsi] yang merasa dirugikan ke PTUN saja. Itu kan waktunya cuma 21 hari [sidang sengketa di PTUN]," kata Veri.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Abdul Aziz