Menuju konten utama

Loloskan Caleg Koruptor, Bawaslu Bikin Masyarakat Bingung

Ketua KPU RI Arief Budiman berpendapat, Bawaslu yang harusnya berpegang kepada PKPU sebelum ada keputusan MK dan MA.

Loloskan Caleg Koruptor, Bawaslu Bikin Masyarakat Bingung
Ketua Bawaslu Abhan bersama anggota Bawaslu Rahmat Bagja, Fritz Edward Siregar dan Muhammad Afifudin, memimpin sidang putusan mediasi sengketa Caleg DPR di kantor Bawaslu, Jakarta, Selasa (21/8/2018). ANTARA FOTO/Reno Esnir.

tirto.id - Beda sikap antara Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI terkait calon legislatif (caleg) yang punya status eks narapidana kasus korupsi belum juga menemukan titik temu. Perselisihan di antara keduanya kian meruncing setelah karena Bawaslu meloloskan 12 caleg eks koruptor yang sebelumnya dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) oleh KPU.

12 caleg itu adalah calon legislatif di DPRD yang berasal dari Bulukumba, Palopo, DKI Jakarta, Belitung Timur, Mamuju, Tojo Una-Una, Aceh, Toraja Utara, Sulawesi Utara, Rembang, dan Pare-Pare.

Mengenai keputusan ini, Komisioner Bawaslu RI, Rahmat Bagja menyatakan pihaknya memiliki tiga alasan. Pertama, mempertimbangkan Pasal 28J UUD 1945 tentang hak warga negara untuk dipilih dan memilih dalam pemilu.

"Pasal 28J ini menyatakan jika ingin disimpangi maka penyimpangannya melalui Undang-undang,” kata Rahmat Bagja, di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta, Senin (3/9/2018).

Kedua, menurut Bagja, Bawaslu masih berpatokan kepada UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang tidak melarang caleg eks koruptor maju di pileg selama mengumumkan kepada media cetak perihal rekam jejaknya.

"Jika ada ketentuan hukum yang bertentangan dengan UU, maka yang dipilih adalah UU," kata Bagja.

Ketiga, menurut Bagja, Bawaslu berkeyakinan pembuatan Pasal 4 Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 tahun 2018 yang melarang caleg eks koruptor maju di pileg sudah bermasalah sejak awal. Sementara Mahkamah Agung (MA), menurutnya, masih belum mengeluarkan keputusan terkait gugatan peraturan tersebut.

"Nah jika ini kami ikuti, polanya PKPU kemudian ini disahkan tidak mengikuti [PKPU], tiba-tiba putusan [MA keluar] bulan Oktober atau bulan November, bagaimana dengan rehabilitasinya [calegnya]?" kata Bagja.

MA sampai saat ini memang belum memutuskan hasil uji materi atas PKPU larangan caleg eks koruptor lantaran masih menunggu hasil uji materi Undang-Undang Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK).

Maka, menurut Bagja, selama keputusan MA dan MK masih belum keluar, KPU wajib mengeksekusi putusan Bawaslu untuk meloloskan caleg eks koruptor. “Tapi KPU kan menunda. Itu yang kami sesalkan. Kalau ditunda kan menyimpangi Undang-undang," kata Bagja.

KPU Tetap Ingin Menunda

Alasan-alasan yang disampaikan Bawaslu ini tetap tidak mengubah keputusan KPU untuk menunda pelolosan caleg eks koruptor. Ketua KPU RI, Arief Budiman berpendapat, justru Bawaslu yang harusnya berpegang kepada PKPU sebelum ada keputusan MK dan MA.

"Jadi PKPU itu belum dibatalkan, maka kami selaku pembuat aturan KPU, ya harus mempedomani aturan KPU itu, selain fakta-fakta, landasan latar belakang yang kami sebutkan mengapa kami menyusun peraturaan KPU-nya seperti itu," kata Arief, di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta, Senin (3/9/2018).

Arief menyatakan pihaknya juga memiliki dasar Undang-undang dalam menyusun PKPU tersebut, bukan sekadar berdasarkan etika menolak koruptor masuk parlemen.

Undang-undang itu, menurut Arief, adalah tentang tindak pidana korupsi yang telah dinyatakan masuk sebagai extraordinary crime atau kejahatan luar biasa. “Peraturan yang ada kan peraturan yang existing yang sedang berjalan, sedang berlaku, sedang digunakan itu kan harus dihormati oleh siapa pun," kata Arief.

Arief menyatakan telah mengirim surat edaran kepada KPU di daerah agar tetap menunda keputusan Bawaslu sebelum ada keputusan dari MA dan MK.

"Kalau memang peraturan KPU dinyatakan bertentangan dengan Undang-undang, KPU akan mematuhi itu. Namun kalau yang terjadi juga bahwa PKPU itu dinyatakan tidak bertentangan semua juga harus mematuhi itu,” kata Arief.

Infografik CI Caleg Mantan Napi Korupsi

Bawaslu Tak Boleh Bertentangan dengan KPU

Peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramdanil menyatakan Bawaslu seharusnya mematuhi PKPU yang telah disusun KPU. Dalam UU Pemilu, Fadli berkata, Bawaslu memiliki mandat untuk mematuhi seluruh peraturan perundang-undangan, termasuk yang bukan berbentuk UU.

"Itu ada di Pasal 95 huruf H PKPU adalah bagian dari peraturan perundang-undangan. Makanya tidak boleh diabaikan," kata Fadli saat dihubungi Tirto, Senin (3/9/2018).

Menurut Fadli, kalau Bawaslu bertolak belakang dengan PKPU, maka akan membuat publik kebingungan. “Ini akan membuat penyelenggara tidak dipercaya oleh publik," kata dia.

Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKS, Mardani Ali Sera mendukung pernyataan Fadli Ramdanil dan KPU. Menurutnya, Bawaslu harus menyesuaikan PKPU dalam setiap keputusannya.

"Sebelum ada keputusan apa pun, PKPU tetap berlaku. Bahwa mantan napi koruptor dilarang nyaleg," kata Mardani.

Akan tetapi, Mardani mendorong kepada MA dan MK segera memutuskan uji materi PKPU dan UU Pemilu agar tindak lanjut persoalan ini bisa segera dilakukan. “Kuncinya memang di MA dan MK," kata Mardani.

Berbeda dengan Mardani dan Fadli, Wakil Ketua Komisi II, Komarudin Watubun menilai KPU harus mencabut PKPU agar persoalan ini tidak terus menciptakan simpang siur.

"Maksud KPU memang baik untuk mencegah korupsi, tapi di atas etika itu ada Undang-undang yang harus ditaati," kata Komarudin, di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta, Senin (3/9/2018).

Baca juga artikel terkait PILEG 2019 atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Politik
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Abdul Aziz