Menuju konten utama

Saksi Mata: Ikhtiar Seno Gumira Lawan Pembungkaman Lewat Sastra

Cerpen “Saksi Mata” yang ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma terbit pertama di koran Suara Pembaruan pada 1992.

Saksi Mata: Ikhtiar Seno Gumira Lawan Pembungkaman Lewat Sastra
Sastrawan Seno Gumira Ajidarma menjadi pembicara pada acara bedah buku "Pekan Literasi Kebangsaan" di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, Jawa Barat, Selasa (6/12). Kegiatan yang diselenggarakan komunitas Festival Indonesia Menggugat ini diharapkan menjadi titik simpul bagi komunitas literasi di Bandung, sebagai catatan penting untuk merekam kondisi komunitas literasi saat ini. ANTARA FOTO/Agus Bebeng/ama/16

tirto.id - Saksi mata itu datang tanpa mata.

Ia berjalan tertatih-tatih di tengah ruang pengadilan dengan tangan meraba-raba udara.

Dari lobang pada bekas tempat kedua matanya mengucur darah yang begitu merah bagaikan tiada warna merah yang lebih merah dari merahnya darah yang mengucur perlahan-lahan dan terus-menerus dari lobang mata itu.

Intro dari cerpen “Saksi Mata” di atas sukar sirna dari kepala saya, membekas lama. Ini kisah surealis tentang seorang saksi pembantaian massal yang matanya dicungkil saat tidur.

Cerpen tersebut terbit pertama kali di koran Suara Pembaruan pada 1992. Lalu, dua tahun setelahnya, disatukan dengan 12 cerpen lain di bawah judul yang sama: Saksi Mata. Penulis kisah-kisah itu diyakini banyak kalangan telah mencapai level maestro: Seno Gumira Ajidarma.

Di sampul belakang tertulis, “Buku ini berisi tiga belas cerpen tentang perjuangan manusia untuk mempertahankan atau menyempurnakan kemanusiaannya. Lewat berbagai kasus konflik berdarah, teror, ambruknya harapan dan kesepian yang mencekam, Seno Gumira Ajidarma melukiskan bagaimana perjuangan itu sungguh tidak ringan, bahkan terlampau berat bagi siapa pun. Lebih-lebih bagi manusia yang berada di tengah pusaran konflik itu sendiri.”

Saksi Mata melambungkan nama Seno ke puncak langit kesusastraan Indonesia. Pun mengerek reputasi penerbitnya yang berbasis di Yogyakarta, yaitu Bentang Budaya.

Antologi inimembuat Seno diganjar Penghargaan Penulisan Karya Sastra 1995 dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia. Kemudian, antologi itu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Jan Lingard, yang bekerja sama dengan Bibi Langker dan Suzan Piper. Terjemahan tersebut memenangkan Penghargaan Dinny O’Hearn untuk Terjemahan Sastra pada 1997 dalam Premier’s Literary Award.

Hal yang melatarbelakangi kelahiran karya ini adalah tragedi Santa Cruz di Timor-Timur (kini, Timor Leste) pada 12 November 1991.

Pada Selasa pagi tersebut, digelar misa arwah di Gereja Santo António de Motael, Dili, untuk aktivis muda pro-kemerdekaan, Sebastiao Gomez, yang tewas dua pekan sebelumnya.

Misa diikuti ribuan warga. Ketika misa kelar, ratusan orang ke luar gereja sambil membentangkan spanduk bergambar pemimpin gerakan pro-kemerdekaan, Xanana Gusmao.

Para demonstran berjalan sekitar 4 kilometer menuju pemakaman Santa Cruz, lokasi Gomez dikubur. Di pemakaman, ratusan tentara Indonesia telah menunggu. Situasi segera menjadi kacau ketika senapan para serdadu menyalak.

Korban berjatuhan. Hasil investigasi Komisi Penyelidik Nasional (KPN), diperkirakan 50 sampai 100 warga menjemput ajal. KPN tak berani menyebut angka pasti karena simpang-siurnya informasi.

Pada saat itu, Seno bekerja sebagai Redaktur Pelaksana majalah Jakarta-Jakarta (JJ) yang dimiliki Kelompok Kompas-Gramedia (KKG). JJ menulis laporan tentang tragedi Santa Cruz dalam dua edisinya.

Laporan-laporan ini berbuntut panjang. Seno dinonaktifkan sejak pertengahan Januari 1992, sementara dua redaktur dipindah ke media yang masih di bawah KKG. Militer Indonesia murka dengan langgam pemberitaan JJ dan menekan KKG.

Seno dan dua rekannya sempat dipanggil ke Pusat Penerangan ABRI di Cilangkap, Jakarta Timur. Seorang kolonel menemui mereka dan marah-marah sambil membawa majalah JJ yang sudah ditandai dengan stabilo kuning di beberapa bagian tertentu.

Sang perwira bertanya dengan suara keras: “Nasionalisme Anda di mana? Apakah Anda ini termasuk aktivis human rights atau bagaimana?”

Beberapa hari setelah interogasi, keputusan nonaktif dan mutasi itu muncul.

“Kehidupan saya selama hampir dua tahun itu cukup absurd: tidak bekerja, tapi digaji. Setiap hari absen dan masuk kantor JJ, tapi tidak bekerja,” tulis Seno dalam catatan kaki esai “Jakarta-Jakarta & Insiden Dili: Sebuah Konteks untuk Kumpulan Cerpen Saksi Mata.”

Pada periode menganggur selama hampir dua tahun itulah lahir cerpen-cerpen dalam Saksi Mata – kecuali “Salazar.”

Pada dekade 1990-an, Seno berkibar sebagai cerpenis paling berkilau di Indonesia. Sangat produktif dengan mutu terjaga. Sebagai gambaran, pada Pelajaran Mengarang: Cerpen Pilihan Kompas 1993, dari 17 cerpen, terdapat empat karya Seno. Para penulis lain hanya diwakili satu karya.

Tentu tak semua cerpen Seno pada periode ini beraroma Timor-Timur. Pada Februari 1992, terbit Sepotong Senja untuk Pacarku. Contoh lain, Sebuah Pertanyaan untuk Cinta ditulis pada Maret 1993.

Dalam pengakuannya, Seno mengatakan, cerpen-cerpen di Saksi Mata ditulis sebagai ekspresi perlawanan atas pembungkaman yang menimpanya.

“….tujuan saya menuliskannya kembali bukan untuk mengejar kualitas sastra, melainkan mengungkap kembali peristiwa itu sebagai suatu perlawanan. Peristiwa yang saya alami—tanpa merujuk lembaga apa pun—saya anggap merupakan keangkuhan kekuasaan, yang begitu tidak rela terusik meski melakukan kesalahan,” tulis pria kelahiran Boston 19 Juni 1958 tersebut.

Infografik Lawan Pembungkaman lewat Sastra

Infografik Lawan Pembungkaman lewat Sastra. tirto.id/Fuad

Cerita Pak Gubernur

Oiya, Seno mustahil menuliskan dengan gamblang soal Dili dan Timor-Timur. Sebab, pasti akan dihadang sensor para redaktur koran yang dikirimi. Lalu apa siasat? Pertama, menaruh konteks pembantaian orang-orang tak bersenjata. Kedua, menaruh nama-nama yang diwariskan penjajahan Portugal. Ketiga, jika mungkin, melakukan sinkronisasi waktu.

Lantas dari mana ide cerita? Beragam sumber. Dalam wawancara dengan JJ, kenang Seno di esai “Tentang Empat Cerpen”, Gubernur Timor-Timur Mario Viegas Carrascalao bercerita telah menerima empat pemuda di kantornya. Dua dari empat pemuda itu, telinganya terpotong. Para pemuda itu bercerita, suatu hari mereka sedang nongkrong di jembatan. Tiba-tiba muncul lima orang yang menangkap dan membawa para pemuda ke suatu tempat.

Para pemuda itu dipukuli dan dipotong telinganya. Kemudian mereka dibawa ke tempat lain. Di situ digebuki lagi. Pagi harinya, mereka disuruh menandatangani pernyataan yang tidak mereka pahami isinya. Setelah itu, mereka diperbolehkan pulang, tanpa diberi penjelasan apa-apa.

Dari cerita Pak Gubernur ini lahir “Telinga” yang juga masuk Pelajaran Mengarang: Cerpen Pilihan Kompas 1993. Kritikus Nirwan Dewanto, yang terkenal pelit memuji, menyatakan “Telinga” menggunakan cara bertutur yang tak tersamai para penulis lain di antologi tersebut.

Menyambung soal Kompas, ada cukup banyak cerpen di Saksi Mata yang muncul pertama kali di koran termasyhur milik KKG itu: dari 13 cerpen, enam terbit pertama kali di sana. Bagaimana menjelaskannya? Saya berspekulasi, ini cara kelompok media di Palmerah tersebut untuk melawan rezim. Tak bisa melalui berita, tampilkan saja via cerita.

Sebanyak 12 cerpen ditulis Seno tanpa pernah ke Timor-Timur. Saat diminta kembali aktif di Jakarta-Jakarta pada akhir 1993, ia memanfaatkan kesempatan pertama untuk terbang ke sana.

Usai kunjungan, ia segera menyadari, gambaran di kepalanya selama ini barangkali tidak keliru, tapi jelas bukan satu-satunya persoalan. Ia memergoki kesan, politik adalah masalah kaum elite, urusan para intelektual—dan mereka adalah kaum minoritas.

“Sebelum ke Timor-Timur, isu yang berada di kepala saya adalah “kemerdekaan”. Setelah kembali dari Timor-Timur, saya lebih meyakini pentingnya revitalisasi kebudayaan. Lebih dari sekadar kemerdekaan politis, yang mendesak tampaknya adalah bagaimana cara mengembalikan kebanggaan penduduk Timor-Timur atas dirinya sendiri. Dan bagi saya, jalan yang sah bukanlah membakar semangat perlawanan orang-orang yang nasibnya sudah lama buruk, melainkan menghidupkan kembali kebudayaan, dengan harapan akan bisa menggairahkan kembali kehidupan mereka,” tulis Seno dalam “Catatan Tambahan” di buku Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara.

Seno buru-buru menambahkan, kebudayaan di sini bukan cuma kesenian, melainkan seluruh potensi local genius. Untuk membuat semua itu tumbuh subur, mutlak diperlukan iklim kebebasan.

Novelis Eka Kurniawan punya kenangan tersendiri. Ia menganggap Saksi Mata sebagai kumpulan cerpen terbaik di Indonesia. Selain karena kisah-kisahnya, gaya menulisnya, terutama karena pengaruh terhadap dirinya secara personal.

Pada ”Max Havelaar dan Dosa Kolektif” (Jawapos.com, 10 Desember 2018), Eka menulis, “….selepas membaca buku tersebut ketika masih mahasiswa, pikiran saya perlahan mulai berubah. Yang sangat mengganggu saya terutama bukan para klandestin yang disiksa, kepala manusia yang ditancapkan di pagar depan rumah, melainkan orang-orang yang melakukan penyiksaan itu. Kenapa? Sebab, saya melihat wajah sendiri. Kita. Tentu kita tak melakukannya langsung. Namun, bagaimanapun, mereka mewakili kita: Indonesia.”

Ya, wajah kita yang muram dan hina, yang kemudian abadi dalam Saksi Mata.

Baca juga artikel terkait SASTRA atau tulisan lainnya dari Yus Ariyanto

tirto.id - Humaniora
Penulis: Yus Ariyanto
Editor: Nuran Wibisono