Menuju konten utama
Al-Ilmu Nuurun

Saifuddin Zuhri Intelektual NU: Membangun Bangsa lewat Agama

Saifuddin Zuhri adalah orang terpelajar NU. Dia pernah jadi Menteri Agama dan terlibat dalam pembangunan karakter bangsa lewat agama.

Saifuddin Zuhri Intelektual NU: Membangun Bangsa lewat Agama
Saifuddin Zuhri

tirto.id - Pagi hari, Saifuddin Zuhri harus pergi belajar di Sekolah Ongko Lorodan sorenya ke Sekolah Arab. Belajar di pagi hari membuatnya tahu apa yang terjadi dunia dengan pola pikir Barat dan belajar di sore hari agar paham Islam, agamanya. Keluarganya di Desa Kauman, Sokaraja, Banyumas, Jawa Tengah ingin si anak jadi orang berilmu, hingga ibunya pernah berpesan: "serap sampai habis seluruh ilmu kyai di desa ini."

“Untuk tidak dianggap sebagai ‘orang pinter kelas kampung,’ pada 1937 saat umurnya menginjak 18 tahun, yaitu beberapa waktu sesudah tamat dari Al Huda, Saifuddin merantau ke Solo untuk melanjutkan pelajaran,” tulis Muhaimin Abdul Ghofur dalam tulisannya, "KH Saifuddin Zuhri: Eksistensi Agama dan Nation Building" yang dimuat di buku Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial Politik (1998: 209).

Di Solo dan tempat lainnya, dirinya belajar menjadi pendakwah. Sejatinya, berdasar apa yang dipikirkan Saifuddin Zuhri, pendakwah adalah pendukung akan tegaknya sebuah bangsa dan negara.

“Peranan dakwah sangat erat hubungannya dengan usaha-usaha character building untuk membentuk akhlaq al karimah bangsa Indonesia,” kata Saifuddin dalam pidatonya yang kemudian dibukukan, Agama di Indonesia Pada Waktu Ini merupakan Unsur Mutlak (1964). Tanpa ini, Pancasila akan sulit tegak di kalangan orang Islam Indonesia.

“Seorang juru dakwah mestilah bisa membuat kesan mendalam pada hadirin, bahkan, sejak sebelum memulai dakwah,” aku Saifuddin Zuhri dalam memoarnya, Berangkat dari Pesantren (2013: 114). Tak hanya dakwah lisan yang dia pelajari dan lakukan, dengan tulisan pun dia lakukan.

“Selama 1970an dan awal 1980an, tulisan-tulisan Saifuddin Zuhri secara teratur juga memberikan wawasan-wawasan pada pemikiran politik keagamaan NU,” tulis Greg Fealy dalam Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1957 (2012: 59).

Ratusan tulisannya yang tercecer di berbagai media kemudian dibukukan dalam Secercah Dakwah, Unsur Politik Dalam Dakwah, dan Kaleidoskop Politik di Indonesia yang jumlahnya 3 jilid. Selain itu, Saifuddin Zuhri juga menulis Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia. Menulis adalah yang dilakukannya di masa tak lagi jadi menteri.

“Itulah sekedar kerjaku dalam mengisi waktu antara 1972-1980, disamping melakukan tugas (di) DPR, PBNU dan DPP-PPP,” aku Saifuddin dalam Berangkat dari Pesantren (hlm. 742). “Sejak muda aku terbiasa membuat tulisan/karangan langsung diketik. Aku tidak terbiasa membuat konsep sebelumya. Aku pun sudah terbiasa mengetik sendiri karanganku.”

Waktu muda, Saifuddin Zuhri juga satu dari sekian banyak penulis yang tulisannya pernah ditolak surat kabar kecil. Dari kegagalan itu, dia rajin bertanya untuk memperbaiki diri. Hasilnya berbuah manis, tulisannya akhirnya dimuat. Setelahnya tulisanya yang tak ditolak media, bahkan ke media besar, akhirnya bermunculan hingga ratusan jumlahnya. “Tulisanku yang pertama berjudul Islam dan Persatuan.”

Dakwahnya tak hanya bicara soal orang Indonesia di kampung-kampung, tapi juga ke luar negeri. Saifuddin Zuhri juga mengikuti perkembangan dunia di Timur Tengah. Soal bagaimana negara imperialis bermain dan cari untung dengan tidak menguntungkan orang-orang Palestina. Kala itu, Saifuddin Zuhri juga sedang disibukkan oleh Revolusi Kemerdekaan Indonesia. Negara-negara Arab adalah negara-negara yang paling awal mendukung kemerdekaan Indonesia.

“Aku merasa terpanggil untuk membalas budi dan jasa saudara-saudaraku bangsa Arab,” aku Saifuddin Zuhri (hlm. 422). Dia lalu menulis buku Palestina dari Zaman ke Zaman (1947) yang dicetak percetakan Persatuan Yogyakarta. Saifuddin Zuhri, yang pernah menjadi Menteri Agama ini, dikenal sebagai pemikir di kalangan Nahdatul Ulama (NU), tempatnya lama bergelut. Apalagi setelah tak jadi Menteri Agama lagi.

Infografik Al ilmu Nurun Saifudin Zuhri

Infografik Al ilmu Nurun Saifudin Zuhri

Agama Penuntun Bangsa

Di masa demokrasi terpimpin, ketika Indonesia berhadapan dengan negara kapitalis besar seperti Amerika, Inggris, dan sekutunya, Sukarno memerlukan kekuatan rakyat Indonesia yang terpecah secara ideologis. Saifuddin, sebagai Menteri Agama, terlibat juga dalam upaya ini. Salah satunya lewat pidatonya bertajuk "Agama di Indonesia pada Waktu Ini merupakan Unsur Mutlak" (1964).

Ide pidato tersebut, menurut Saifuddin, berasal dari Presiden Sukarno. Berhubung agama unsur mutlak, maka agama tidak boleh dikesampingkan dan harus terus menjadi penuntun bagi pembangunan bangsa.

“Bangsa Indonesia dalam nation buildingnya,” kata Saifuddin Zuhri, “tidak boleh tidak haruslah diunsuri oleh agama secara mutlak.” Artinya soal ini posisi agama begitu absolut dan harus ada. Orang-orang cerdas terpelajar dengan pemahaman agama yang baik akan dibutuhkan dalam pembangunan bangsa. Tak heran jika Saifuddin Zuhri kemudian ikut berjuang membangun perguruan tinggi Islam negeri, untuk mencetak orang-orang Islam terpelajar di Indonesia.

Di masanya sebagai menteri agama, menurut Muhaimin Abdul Ghofur (hlm. 224), departemen agama pernah terbebas dari kerumitan dalam penyelenggaraan haji—di mana sistem kuota diberikan kepada daerah berdasarkan proporsi jumlah pendaftar. Ongkos Naik Haji (ONH), meski inflasi sedang kuat-kuatnya, diperjuangkan agar terjangkau rakyat.

Sebelum Saifuddin Zuhri jadi menteri, sejak zaman Wahib Wahab, Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di Yogyakarta dan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Ciputat sudah dijadikan Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Dengan pusat di Yogyakarta dan cabang di Ciputat. Di zaman Saifuddin, IAIN makin diperbesar dengan mendirikan di beberapa kota.

“Aku bertekad untuk meratakan pembentukan IAIN di setiap provinsi, dan menjadikannya terdiri dari 4 fakultas (Syariah, Ushuludin, tarbiyah dan Adab) dalam satu unit otonom dalam kesatuan IAIN,” aku Saifuddin Zuhri dalam memoarnya (hlm. 642).

Kini IAIN bertebaran di di Indonesia dan belakangan banyak yang telah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN).

==========

Sepanjang Ramadan hingga lebaran, kami menyuguhkan artikel-artikel yang mengetengahkan pemikiran para cendekiawan Muslim Indonesia di paruh pertama abad ke-20. Kami percaya bahwa pemikiran mereka telah berjasa membentuk gagasan tentang Indonesia dan berkontribusi penting bagi peradaban Islam. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Al-Ilmu Nuurun" atau "ilmu adalah cahaya".

Baca juga artikel terkait AL-ILMU NUURUN atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan