tirto.id - Bola yang dilesatkan kaki kiri Rizky Pora dari sisi tengah lapangan membentur pemain Timnas Thailand, bola pun melenceng dan merobek gawang Thailand. Rizky membawa Indonesia menyamakan skor 1-1 dan membakar semangat rekannya, hingga akhirnya timnas tak jadi pecundang dalam pertandingan final leg 1 Piala AFF, 14 Desember lalu yang berakhir 2-1 untuk Timnas Indonesia.
Selama perhelatan AFF, Rizky Pora memang jadi sorotan dan menjadi jangkar utama tim besutan Alfred Riedl. Rizky yang punya kemampuan drible dan kecepatan bagus, aksi gesitnya seakan tak ada matinya di lapangan. Pemain Barito Putera kelahiran 22 November 1989, Ternate, Maluku Utara ini punya rahasia yang sangat sederhana. Ia adalah papeda, makanan khas Maluku dan Papua yang terbuat dari sagu.
"Papeda, Kakak. Sagu yang membuat saya seperti ini," kata Rizky yang bernomor punggung 14 timnas seperti dilansir Antara.
Rizky Pora mungkin cuma sedang merendah, tak mau menonjolkan dirinya. Tapi, jawaban pemain sayap kiri timnas ini berdasar. Sagu punya keunggulan sumber energi yang lebih tinggi dibanding beras.
Unggul Karbohidrat
Sagu dikonsumsi oleh warga pesisir Papua dan Maluku, jauh sebelum padi ditanam masyarakat di sana. Menurut Prof. Nadirman Haska, peneliti sagu di Indonesia, warga Nusantara dulu mengonsumsi sagu sebagai makanan pokok. Menurutnya, ada relief Borobudur yang menggambarkan tentang makanan sumber kehidupan. Ada kelapa, lontar, aren, dan juga sagu.
"Sagu itu makanan asli Indonesia, terpahat jelas di Candi Borobudur. Saat kerajaan Hindu masuk, orang India bawa beras ke sini," ujar Nadirman.
Perjalanan panjang sagu sebagai salah satu makanan pokok di Nusantara terutama di wilayah timur Indonesia pastinya memiliki pertimbangan oleh masyarakat yang mengonsumsinya. Perkembangan sains era modern, mengungkapkan kandungan pada sagu. Dalam sebuah tulisan “Sagu Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi Dampak Perubahan Iklim" oleh Janes Berthy Alfons dan A. Arivin Rivaie dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku, mengungkapkan sagu memiliki nilai gizi tidak kalah dengan sumber pangan lainnya seperti beras, jagung, ubi kayu, dan kentang.
Kandungan kalori sagu tidak jauh berbeda dengan beras dan jagung, kandungan kalorinya melebihi kentang, sukun, ubi kayu, ubij alar, dan yams. Kandungan kalori sagu sedikit di bawah beras, sagu memiliki kandungan kalori 343 kal sedangkan beras 349 kal dalam setiap 100 gram.
Untuk karbohidrat, sagu memang lebih unggul dari beras dan bahan pangan lainnya. Sebagai pembanding, nilai gizi setiap 100 gram sagu menyimpan 84,70 gram karbohidrat, bandingkan dengan beras yang hanya 78,90 gram, atau tepung jagung yang hanya 73,70 gram. Sagu juga unggul dalam kandungan besi dan kalsium dibandingkan beras. Kadar lemak sagu juga lebih rendah daripada beras, tentu lebih baik dari sisi kesehatan.
Sayangnya, bahan pangan ini dianggap kalah kelas dibandingkan bahan pangan seperti beras. Sagu selama ini selalu dianggap sebagai bahan pangan inferior. Pandangan semacam ini tak terlepas dari kebijakan pemerintah pada masa lalu, antaralain revolusi hijau pada era Orde Baru.
Dampak Revolusi Hijau
"Teknologi baru dan perkembangan agrikultur kerap menjadi bahan revolusi. Bukan Revolusi Merah yang banyak mengandung kekerasan, bukan pula Revolusi Putih seperti di Iran. Aku menyebutnya Revolusi Hijau."
William Gaud, mantan direktur USAID, mengatakan hal itu pada 1968. Gaud adalah pencetus istilah Revolusi Hijau. Yang kemudian dikembangkan oleh Norman Borlaug, lelaki yang dijuluki sebagai Bapak Revolusi Hijau.
Revolusi Hijau membawa banyak perubahan drastis di negara-negara agraris. Revolusi ini mendorong peningkatan hasil panen dengan cara mengadaptasi perkembangan teknologi. Termasuk penggunaan pupuk kimia dan pestisida. Hasilnya memang sekilas tampak baik. Hasil panen meningkat, dianggap bisa menyelesaikan krisis pangan.
Indonesia pun turut mengaplikasikan pendekatan yang sama. Setelah Soekarno lengser dan Soeharto mengawali era Orde Baru, dia mencanangkan Rencana Pembangunan Lima Tahun I (1968-1973). Titik beratnya ada pada perbaikan keamanan pangan. Dengan cara menerapkan revolusi hijau: modernisasi alat pertanian, pembangunan waduk dan perbaikan saluran irigasi, juga pemakaian pestisida dan pupuk kimia dalam jumlah banyak. Hasilnya, Indonesia sempat swasembada beras pada 1984. Jika pada 1969 produksi beras Indonesia adalah 12,2 juta ton beras, maka pada 1984 produksi beras Indonesia bisa mencapai 25,4 juta ton.
Revolusi hijau membuat tanah menjadi rusak. Bahan kimia juga membunuh banyak organisme alami. Yang paling terasa dampaknya di Indonesia hingga sekarang adalah ketergantungan terhadap beras. Nasi kini menjadi makanan pokok masyarakat Indonesia. Bahkan di daerah yang dulunya tak mengenal beras.
Di Papua, kini orang terpaksa makan beras. Padahal di tanah yang kaya dan subur itu, mereka biasa makan sagu yang tumbuh liar dan alami, serta bisa dipanen kapan saja. Begitu pula di Maluku, Madura, juga Gunung Kidul. Akibatnya adalah ketergantungan terhadap beras dan nasi.
"Kita terlalu tergantung pada beras," ujar Bayu Krisnamurthi, Wakil Menteri Pertanian di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Indonesia disebut-sebut sebagai negara yang mengonsumsi beras per kapita terbesar di dunia. Setiap orang Indonesia mengonsumsi sekitar 140 kilogram beras per tahun. Karena produksi beras kurang untuk memenuhi konsumsi dalam negeri, semua berakhir dengan impor. Menurut Rice Market Outlook yang diterbitkan oleh Kementrian Pertanian Amerika Serikat, Indonesia diprediksi masih akan mengimpor beras hingga 2 juta ton pada 2016.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat selama semester I-2016 sudah ada impor 1,073 juta ton beras, angka ini sudah naik 5 kali lipat atau 400 persen dari periode yang sama tahun lalu yang hanya 194,42 ribu ton. Pada triwulan I-2016 saat musim paceklik, ada impor 981,99 ribu ton beras yang sudah setara dari capaian satu tahun periode sebelumnya.
Secara tahunan, impor beras juga ada tren meningkat di era pemerintahan Jokowi. Pada 2015 tercatat impor beras secara total mencapai 861,58 ribu ton, realisasi impor beras sedikit naik dari periode 2014 yang mencapai 844,15 ribu ton. Rata-rata impor beras selama dua tahun tersebut sudah dua kali lipat dari realisasi 2013 yang hanya 472,63 ribu ton.
Padahal saat ini yang paling berpotensi untuk menjadi alternatif makanan pokok dan mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor beras adalah sagu. Di Indonesia, ada sekitar 1,4 juta hektar lahan sagu. Sekitar 1,2 juta hektare ada di Papua. Di sana pula, sekitar 8 juta toh pohon sagu terbuang karena tidak dipanen.
"Jumlah itu bisa memenuhi kebutuhan karbohidrat untuk 80 juta orang tiap tahun," kata Nadirman yang bekerja di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.
Jika pemerintah sungguh ingin masyarakat tak terfokus pada beras sebagai makanan utama, Rizky Pora bisa dipertimbangkan untuk menjadi duta sagu.