tirto.id - Mari kita lawan BBM!
Mari kita produksi mobil-motor listrik nasional.
Kita pakai kendaraan listrik.
Bukan kendaraan yang haus BBM.
Jangan ketinggalan.
Seluruh dunia mengarah ke kendaraan listrik.
Seluruh dunia akan beralih ke kendaraan listrik.
Seluruh dunia akan meninggalkan kendaraan BBM.
Nukilan panjang tulisan opini “Manufacturing Hope 17” yang diunggah Dahlan Iskan Minggu, 11 Maret 2012 berjudul “Saatnya Putra Petir Harus Melawan” semacam anak panah sayembara yang dilepaskan kepada mereka yang berniat mengembangkan kendaraan listrik. Setelah itu, Dahlan yang masih menjabat menteri BUMN berhasil menemukan “Pandawa Lima” para ahli kendaraan listrik antara lain Dasep Ahmadi, Danet Suryatama, Ravi Desai, Mario Revaldi, dan Ricky Elson. Satu dari mereka, Mario Revaldi merupakan pengembang motor listrik.
Sayangnya kiprah para ahli kendaraan listrik itu layu sebelum berkembang, Dasep Ahmadi terlilit kasus hukum dalam mengembangkan mobil listrik, Danet pecah kongsi dengan Dahlan Iskan. Semenjak itu, suara mengembangkan kendaraan listrik termasuk motor hanya sayup-sayup terdengar. Hingga pada Mei 2016, prototipe motor bernama GESITS diperkenalkan oleh Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi M. Nasir.
GESITS yang merupakan kependekan dari Garansindo Electric Scooter ITS adalah motor bersumber listrik produk riset hasil kerja sama antara Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya dan PT. Garansindo Surabaya. GESITS lahir sebagai seorang anak yang tak punya “orang tua” sempurna karena harus menunggu payung hukum dan standardisasi motor listrik yang belum dikeluarkan kementerian perindustrian. Suara-suara sumbang dari produsen motor konvensional sempat menjadi warna dari kelahiran GESITS.
Namun, para pemain motor berbahan bakar bensin rupanya langsung bergerak. Sang pemimpin pasar, Honda mulai ancang-ancang. Honda sempat menggelar program uji coba perilaku berkendara sepeda motor listrik dengan menyiapkan dua unit sepeda motor listrik Honda EV Neo. Kegiatan berlangsung September-Oktober dengan melibatkan para pengguna sepeda motor di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
"Honda sudah menyiapkan. Mudah-mudahan 2018 sudah bisa dipasarkan," kata Wakil Presiden Direktur Eksekutif PT AHM Johannes Loman dikutip dari Antara Juli lalu.
Langkah Honda ini tentu sebuah sinyal kuat bagi kelahiran motor listrik yang dibuat skala massal dalam beberapa tahun mendatang, apalagi GESITS sebagai prototipe yang diklaim sebagai karya lokal juga berencana mulai memasarkannya tahun depan, dengan rentang harga Rp15 juta hingga Rp20 juta per unit. Meski demikian, Indonesia masih tetap kalah cepat dari Cina yang sudah memulai pengembangan motor listrik beberapa dekade lalu.
Belajar dari Cina
Motor listrik bukan lah barang baru, beberapa negara sudah konsen terhadap kendaraan ramah lingkungan ini. Dalam laporan Global EV Outlook 2016 yang dikeluarkan The International Energy Agency (IEA), Cina, Belanda, Swedia, Thailand punya perhatian terhadap motor listrik, terutama Cina. Cina sudah memulai pengembangan motor listrik sejak 1990-an, dan mulai gencar sejak 2004.
Setidaknya selama lima tahun terakhir pendaftaran baru unit motor listrik di Cina trennya mengalami kenaikan signifikan. Pada 2010, registrasi baru motor listrik hanya 16,2 juta unit, lalu pada 2014 sudah mencapai 29,4 juta unit.
IEA memperkirakan ada 223 juta unit sepeda motor mengaspal di Cina, atau separuh dari populasi motor listrik di dunia. Tahun lalu ada 40 juta unit motor listrik terjual di seluruh dunia, diperkirakan pada 2030 sebanyak 40 persen penjualan motor listrik berasal dari Cina. Apa yang membuat perkembangan motor listrik Cina pesat?
Pemerintah Cina di pusat maupun daerah sejak dekade lalu cukup agresif dan serius mendorong motor listrik. Isu pencemaran udara memang menjadi masalah serius di Cina. Pada 1999, pemerintah pusat Cina mengeluarkan ketentuan yang longgar bagi kendaraan roda dua atau sepeda listrik dengan bobot tidak lebih dari 40 kg dan kecepatan maksimal 20 km/jam, tak perlu registrasi atau lisensi termasuk tak memerlukan SIM bagi pengendaranya.
Kemudian pada 2009 setidaknya ada 13 kota di Cina menerapkan larangan penggunaan motor bensin, di Changzhou, Dalian, Foshan, Guangzhou, Harbin, Jinan, Ningbo, Suzhou, Taiyuan, Tangshan, Wuhan, Xi'an, dan Zhengzhou.
Selain itu, ada 16 kota yang berlaku larangan secara parsial antara lain Beijing, Changchun, Changsha, Chengdu, Chongqing, Guiyang, Hangzhou, Kunming, Lanzhou, Nanjing, Qingdao, Shanghai, Shenyang, Shijiazhuang, Tianjin, dan Wuxi. Motor atau sepeda listrik di Cina mendapatkan tempat di masyarakat bahkan bisa bersaing dengan moda lainnya karena unggul dari sisi biaya.
Dalam sebuah tulisan Electric Two-Wheelers in China: Promise, Progress, and Potential oleh Christopher Cherry dikutip dari laman accessmagazine.org, biaya motor listrik relatif jauh lebih rendah hanya 0, 2¢ per km, bandingkan dengan mobil berbahan bakar bensin 8¢ per km, atau sepeda motor bensin 3¢ per km, untuk biaya bus mencapai 3¢ per km. Dari sisi tingkat karbon (CO2), motor listrik jelas jauh lebih unggul dari motor konvensional.
Perkembangan Cina untuk urusan motor listrik bukan tanpa cela, termasuk yang menjadi kekhawatiran para pengembang motor konvensional di Indonesia, apalagi kalau bukan isu lingkungan. Di Cina juga menghadapi persoalan regulasi maupun pemanfaatan daur ulang baterai motor listrik yang masih terbatas.
"Kalau kita lihat di Cina, pasar motor listrik mereka lima juta per tahun. Nah, lima juta itu baterainya mau dibuang kemana? Jadi, pengolahan baterai itu penting," kata Ketua Umum Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) Gunadi Sindhuwinata dikutip dari Antara.
Produsen motor konvensional mendorong adanya standardisasi yang jelas soal sepeda motor listrik, terutama yang menyangkut keselamatan. "Misalnya motor listrik harus berbunyi. Karena pengalaman di Cina itu sering terjadi kecelakaan karena motornya tidak ada suaranya," tambah Gunadi.
Ini juga untuk memastikan kelahiran motor listrik bisa benar-benar disiapkan. Masyarakat Indonesia sebenarnya sudah lama mengenal motor listrik tapi tak berkembang, persoalan regulasi dan infrastruktur pendukung masih jadi pekerjaan rumah. Sepuluh tahun lalu, Indonesia sudah kedatangan berbagai motor listrik impor seperti Betrix yang identik sebagai motor rumahan yang bobotnya sangat ringan, ada juga Emoto. Kemunculan sepeda listrik pada waktu itu belum jadi perhatian pemerintah.
Sekarang ini, kemunculan GESITS bakal menjadi taruhan keseriusan pemerintah soal pengembangan motor listrik. Regulasi soal program Low Carbon Emmision (LCE) untuk motor listrik memang masih disiapkan. LCE merupakan pengembangan dari Low Cost and Green Car (LCGC) yang menelurkan “mobil murah” dasar aturannya sudah terbit sejak 1 Juli 2013 melalui Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) No 33/M-IND/PER/7/2013 tentang Pengembangan Produksi Kendaraan Bermotor Roda Empat yang Hemat Energi dan Harga Terjangkau.
Permenperin ini turunan dari program mobil emisi karbon rendah yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2013 tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
“Itu masih disusun LCE-nya karena itu terkait masalah perpajakan,” kata Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) I Gusti Putu Suryawirawan kepada tirto.id, Rabu (16/11/2016)
Membangun industri motor listrik mau tak mau harus dimulai sejak dini, saat harga minyak masih jinak sebelum kembali melesat dan membuat masalah baru di masa depan. Berdasarkan laporan World Oil Outlook 2016 dipacak dari laman opec.org, asumsi harga minyak di masa depan ada peluang naik perlahan, pada 2040 misalnya harga minyak diasumsikan mencapai 92 dolar per barel. Ini memang masih asumsi, bisa benar atau juga salah. Namun, harga ini sudah dua kali lipat dari harga rata-rata saat ini. Secara fundamental bahan bakar fosil pasti akan terbatas bahkan habis sehingga dipastikan berdampak pada stok dan harga.
Ucapan Dahlan Iskan, saat tercetus empat tahun lalu barangkali suatu saat akan terbukti, ketika persoalan Bahan Bakar Minyak (BBM) akan datang lagi dan menghantui bila tak ada upaya sejak dini, belum lagi soal aspek polusi udara. Memulai teknologi masa depan sebuah pilihan penting, termasuk memberikan dukungan bagi kelahiran bayi industri massal bernama sepeda motor listrik, salah satunya si GESITS.
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti