Menuju konten utama

Saat Utang Tak Bisa Dibayar

Ketika kesulitan membayar utang, ada dua langkah yang bisa ditempuh sang debitur. Mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang ke pengadilan, atau melakukan restrukturisasi dengan menggunakan jasa konsultan. Langkah mana yang lebih menguntungkan?

Saat Utang Tak Bisa Dibayar
Sidang permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) yang diajukan PT Prathita Titian Nusantara (PTN) atas PT Merpati Nusantara Airlines Ttirto/Andrey Gromico

tirto.id - Tahun lalu, Zam Zam Reza kelimpungan. Anjloknya harga properti membuat salah satu perusahaan yang dipimpinnya, PT AAA Investment tak mampu membayar kewajiban kepada para investor. Utang yang tercatat melebihi Rp100 miliar itu tak bisa dilunasi.

Agar mendapat keringanan, pada 10 Desember 2015 perusahaan investasi itu mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) ke pengadilan. Sugiharta ditunjuk sebagai pengacara. Pada 22 Desember, sidang perdana digelar.

Usai melewati proses persidangan yang terhitung singkat, yakni maksimal 20 hari sejak didaftarkan, majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat memutuskan mengabulkan permohonan. AAA Investment mendapat waktu 45 hari untuk menyiapkan proposal perdamaian dan bermusyawarah dengan para kreditor. Masa 45 hari itu disebut masa PKPU sementara. Setiap debitur yang dinyatakan dalam PKPU memiliki waktu maksimal 270 hari. Namun, perpanjangan-perpanjangan setelah 45 hari harus atas kesepakatan para kreditor.

Setelah melalui 45 hari PKPU sementara, perdamaian antara AAA Invesment dengan para kreditornya belum juga tercapai. Proposal perdamaian yang ditawarkan debitur dinilai tak menarik. Tetapi, para kreditor bersepakat memberikan perpanjangan 30 hari untuk debitur memperbaiki proposalnya.

Tadinya, perusahaan ini terancam pailit. Namun, setelah melewati perpanjangan dan melakukan sejumlah negosiasi, akhirnya AAA Invesment berdamai dengan para kreditornya.

Sebelum voting digelar pada 25 Februari 2016, para kreditor masih menilai proposal yang ditawarkan Zam Zam tidak menarik sebab masa tunda atau grace period yang terlalu panjang. Voting yang dijadwalkan sudah dimulai sejak jam 10.30 WIB, sempat diskors sebanyak dua kali.

Hakim pengawas—hakim yang mengawasi berjalannya proses PKPU—memberikan waktu kepada debitur dan kreditor untuk kembali bernegosiasi. Rapat kemudian dilanjutkan pukul 14.00 WIB dengan agenda voting dengan hasil yang cukup mencengangkan. Seluruh kreditor yang tadinya keberatan dengan proposal yang ditawarkan, menyatakan setuju. AAA Investment berhasil meyakinkan para kreditornya.

Ini hanyalah satu dari begitu banyak kisah perusahaan atau perorangan yang menikmati manfaat dari adanya Undang-undang No. 37/2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Sebagian mengajukan sendiri, sebagian diajukan oleh kreditornya. Banyak yang berhasil berdamai, tak sedikit juga yang akhirnya jatuh pailit.

Kendati masih kecil jika dibandingkan negara-negara maju, utilitas UU yang mengatur PKPU di Indonesia terus meningkat. Pihak yang memanfaatkan UU ini semakin banyak. Sampai Mei tahun ini saja, ada 52 perkara PKPU yang didaftarkan di Pengadilan Niaga. Tahun lalu, untuk pertama kalinya sejak UU diundangkan, jumlah perkara PKPU melebihi 100 perkara. Bandingkan dengan tahun 2014 yang hanya 74 perkara.

Tak hanya dimanfaatkan para debitur yang tak mampu membayar utang, PKPU juga dimanfaatkan oleh para kreditor untuk mendapat kepastian hukum soal piutang yang tak kunjung dibayarkan. Bagi debitur, langkah apa sebenarnya yang lebih menguntungkan untuk diambil, PKPU atau merestrukturisasi secara mandiri utang-utang tersebut?

PKPU VS Non-PKPU

Merestrukturisasi utang dengan langkah PKPU ataupun non-PKPU memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Namun, banyak yang menilai PKPU adalah jalan yang lebih efektif dan efisien.

Seorang pengacara bernama Rizky Dwinanto pernah menangani keduanya, restrukturisasi melalui PKPU atau non-PKPU. Dari sejumlah pengalaman itu, ia menilai proses PKPU jauh lebih terukur dan tidak buang-buang waktu. Terlebih bagi debitur yang memiliki cukup banyak kreditor.

Saat menjadi konsultan sebuah perusahaan yang sedang merestrukturisasi utangnya, Rizky harus mendatangi kreditor satu per satu. “Bayangkan kalau kreditornya ada 100 atau lebih, akan sangat tidak efisien dan memakan waktu,” katanya.

Dalam PKPU, setelah memutuskan mengabulkan suatu perkara, majelis hakim akan menunjuk pengurus dan hakim pengawas. Pengurus ini biasanya berasal dari pengacara-pengacara yang memiliki lisensi kurator. Mereka bertugas menjadi fasilitator dalam rapat kreditor yang digelar segera setelah putusan dibacakan. Secara teknis, para pengurus ini akan mendata utang-utang dari para kreditor, lalu mencocokkan keabsahan utang tersebut sesuai dokumen yang ada di debitur. Pengurus juga yang mengatur jadwal-jadwal rapat di pengadilan dan menjadi penengah ketika ada keributan dalam rapat.

Sementara itu, hakim pengawas akan memantau setiap rapat kreditor untuk mengambil sikap jika ada perdebatan yang tak ada titik temu. Misal, perihal waktu perpanjangan. Suatu kali di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, saat proses PKPU PT Wirajaya Packindo sedang berlangsung. Produsen kemasan plastik ini meminta perpanjangan 60 hari untuk membuat kesepakatan dengan calon investor baru.

Setelah dilakukan voting, mayoritas kreditor hanya memberi 15 hari. Hakim pengawas menilai 15 hari terlalu singkat, penilaiannya itu disampaikan kepada hakim pemutus. Hakim pemutus kemudian menetapkan perpanjangan waktu 30 hari.

Nah, dalam proses restrukturisasi non-PKPU, tidak ada pengurus maupun hakim pengawas. Jika terjadi perbedaan pendapat, debitur dan kreditor harus terus bermusyawarah hingga tercapai kesepakatan. Waktunya akan sangat lama.

Selain persoalan waktu dan pengawasan, proses PKPU lebih terbuka dan transparan kepada seluruh kreditor. Debitur tidak bisa hanya membayar utang kepada kreditor yang satu tetapi tidak membayar utang kepada kreditor yang lain. Dalam restrukturisasi non-PKPU, ini sangat mungkin terjadi.

Menurut Rizky, minusnya PKPU hanya pada persoalan citra perusahaan. Sebab di Indonesia, PKPU seolah dianggap aib, terlebih proses persidangannya terbuka untuk umum. Padahal, di negara-negara maju, PKPU adalah hal yang sangat biasa dalam bisnis.

Bukan hanya Rizky, pengacara cum kurator Aji Wijaya juga melihat PKPU jauh lebih efisien dibandingkan restrukturisasi yang dilakukan sendiri oleh perusahaan. Jika merestrukturisasi sendiri, kreditor yang tidak setuju dengan proposal perdamaian dari debitur tidak akan terikat proposal itu. Sedangkan dalam PKPU, ada konsep voting, hasil voting itu mengikat seluruh kreditor.

“Kalau ditanya mana yang lebih mudah, masing-masing ada kesulitannya. Tapi kalau ditanya mana yang lebih efektif, PKPU jauh lebih efektif,” ungkap Aji.

Baca juga artikel terkait PKPU atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti