Menuju konten utama
Kultum Quraish Shihab

Surat Seorang Ulama Besar kepada Orang yang Mengecamnya

Ulama-ulama sangat biasa berbeda pendapat, namun mereka tak kehilangan sopan santun dalam berdebat.

Surat Seorang Ulama Besar kepada Orang yang Mengecamnya

tirto.id - Perbedaan adalah keniscayaan hidup. Keberkekurangan atau merasa kurang juga adalah sifat yang melekat pada makhluk. Semua perbedaan bila tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan pertentangan. Semua kekurangan bila tidak dilengkapi, akan menimbulkan kepincangan. Sebaliknya, bila ditangani dengan bijaksana, perbedaan itu akan melahirkan keharmonisan yang pada gilirannya melengkapi kekurangan-kekurangan yang dirasakan.

Salah satu perbedaan yang merupakan keniscayaan adalah perbedaan pendapat dalam berbagai bidang, termasuk agama dan pemahamannya, tidak terkecuali agama Islam.

Ulama dan pemikir Islam semuanya merujuk pada al-Qur’an dan Sunnah. Kendati al-Qur’an diakui kebenarannya, tetapi banyak ayatnya yang multitafsir. Sunnah Nabi Muhammad SAW., juga demikian. Bahkan ada yang diterima kesahihannya, ada juga yang tidak diterima. Yang diterima pun ada yang disepakati maknanya, ada juga yang tidak.

Ini semua pasti menimbulkan perbedaan yang bila tidak dihadapi dengan bijaksana akan melahirkan perpecahan bahkan permusuhan dan mengkafiran. Lebih-lebih jika yang tampil adalah orang-orang yang mengatasnamakan ulama, padahal ilmunya baru seumur jagung.

Ulama-ulama besar, bahkan sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW., bahkan juga dua orang nabi -- ayah dan anaknya -- yaitu Daud dan Sulaiman AS., bisa berbeda pendapat (Q.S. Al-Anbiya ayat 78-79), tetapi mereka tidak bertengkar, tidak juga putus hubungan baik. Semua berusaha mencari ulasan pembenaran bagi perbedaan itu dan tidak ada di antara mereka yang memutlakkan pendapatnya atau menilai berdosa penganut pendapat lain.

Imam Malik (714-800 M) menolak keinginan penguasa masanya yang hendak mewajibkan hasil karyanya, al-Muwatha’, sebagai satu-satunya rujukan. Bahkan para ulama yang puluhan tahun meneliti, bersedia mengamalkan pendapat ulama lain.

Imam Ahmad bin Hambal (781-855 M), misalnya, yang menyatakan keharusan berwudu setelah berbekam atau mimisan, namun ketika ditanya “apakah Anda akan salat di belakang imam yang sedang mimisan?”, beliau menjawab: “Bagaimana aku tidak salat di belakang Imam Malik dan Said Ibnu al-Muayyab (642-715 M)?" Kedua ulama yang disebut adalah ulama yang berpendapat bahwa mimisan tidak membatalkan wudu?

Jangankan ulama yang masih hidup, yang telah wafat pun tetap mereka hormati pendapatnya. Imam Syafi’i (767-819 M), yang dalam mazhabnya menilai ber-qunut pada salat subuh adalah sunnah muakkadah, namun ketika imam ini salat subuh dekat makam Imam Abu Hanifah (6990767 M), beliau tidak berqunut karena menghormati (pendapat) almarhum.

Memang, kata Imam Syafi’i, “Kita bisa tetap bersaudara kendati kita berbeda pendapat.” Ini karena tidak ada yang dapat memastikan kebenaran pendapatnya, bahkan kalaupun salah, mereka yang berijtihad -- selama memenuhi syarat-syaratnya -- tetap mendapat ganjaran.

Bahkan, bisa jadi, kata sementara ulama, semua pendapat yang disampaikan secara tulus dan setelah proses pemikiran yang tekun dari seorang mujtahid, semuanya benar baginya di sisi Allah. Pendapat yang benar, kata mereka, bagaikan mengisi wadah. Apapun isinya, selama telah memenuhi syarat pengisiannya, adalah benar buat yang bersangkutan. Sebagaimana seorang yang mengisi cangkirnya dengan teh, sedang yang lain mengisinya dengan kopi tanpa gula atau dengan gula.

Kalaupun ada pendapat ulama yang mereka tidak setujui, mereka mencarikan alasan “pembenaran” antara lain dengan berkata “dia tidak berbohong, tidak juga bodoh, tetapi keliru atau lupa, atau alasannya adalah ini atau itu”. Sekian banyak di antara ulama yang mengkritik sesama ulama, tetapi pada dasarnya mereka mendoakan yang dikritiknya dan memohonkan rahmat untuknya. Ini dengan sangat mudah ditemukan dalam kitab-kitab lama.

Yang menyimpang dari tradisi ini adalah orang-orang awam atau yang memiliki pengetahuan amat terbatas, tetapi mengira dirinya bagaikan nabi atau ulama besar yang berhak berfatwa sambil mempersalahkan siapa pun yang berbeda dengannya. Itu karena kebodohannya atau dorongan nafsunya mendukung satu pendapat yang, bisa jadi, pencetusnya sendiri telah membatalkannya atau bersedia membatalkannya karena belakangan baru mengetahui duduk soal.

Apalagi sekian banyak ulama yang tadinya mengemukakan satu pendapat, lalu pendapat itu diubahnya setelah ia menemukan argumentasi lain yang lebih kuat atau situasi dan kondisi baru yang berbeda dengan kondisi pertama. Imam Syafi’i, misalnya. Ia dikenal luas dengan pendapat-pendapat yang ketika di Irak berbeda dengan pendapatnya ketika bermukim di Mesir.

infografik Hari ke-20 Kultum Bersama Pak Quraish

Di sisi lain, diskusi antara ulama tersebar luas, bukan hanya dalam pertemuan-pertemuan langsung mereka, tetapi juga melalui surat-menyurat yang dipenuhi kesantunan, bahkan mereka menjawab surat pengkritik mereka walau berlebihan dengan jawaban yang penuh sopan santun.

Ulama besar Abdurarahman as-Sa’dy (1307-1376 H) menulis dalam bukunya, Majmu al-Fawa’id wa Iqtinash al-Awabid, bahwa ada seseorang yang alim mendapat surat yang berisi kecaman dan kritik terhadap pendapatnya, bahkan dalam suratnya ia menuduh sang alim salah, bahkan menyimpang dari kebenaran niat dan tujuannya. Menerima surat itu, sang alim menjawab sebagai berikut:

“Ketahuilah, wahai saudaraku, bahwa seandainya Anda telah mengabaikan apa yang wajib bagi Anda menyangkut kasih sayang yang diperintahkan agama dan persaudaraan yang diajarkan Islam, dan Anda menempuh yang diharamkan oleh-Nya dengan menuduh saudara Anda memiliki niat buruk karena, katakanlah ia keliru, dan Anda menghindari ajakan yang harus dipenuhi dalam konteks hal-hal seperti ini, maka izinkanlah saya menyampaikan kepada Anda sebelum saya menjawab kritik Anda.”

“Sungguh, saya tidak akan mengabaikan apa yang wajib bagi saya menyangkut keharusan mempertahankan hubungan baik dengan Anda serta melanjutkan kasih sayang antar kita berdasar apa yang saya tahu dari keberagamaan Anda dalam pembelaan diri saya. Bahkan lebih dari itu, saya akan mencarikan alasan pembenaran bagi Anda dalam sikap Anda mengkritik saya karena saya mengetahui bahwa tujuan Anda melakukan itu adalah tujuan yang baik.

"Sayang ia tidak disertai dengan ilmu yang benar, tidak juga pengetahuan yang dapat menjelaskan tingkatnya atau sikap wara’ dan pandangan yang sah, yang dapat menghentikannya pada batas yang ditetapkan agama. Demi karena sangka baik Anda yang tulus atau sangka itu bercampur dengan sesuatu yang lain, apa pun itu, saya telah memaafkan Anda menyangkut tuduhan bahwa saya bermaksud buruk."

“Saudara, anggaplah bahwa kebenaran yang pasti berada di sisi Anda, tapi apakah kesalahan pihak lain itu adalah bukti keburukan tujuannya? Kalau demikian, pastilah tertuju kepada ulama-ulama umat ini karena tidak seorang di antara mereka yang luput dari kesalahan. Apakah ucapan Anda yang demikian berani (menuduh) tidak bertentangan dengan sikap yang disepakati oleh seorang muslim memiliki maksud buruk kalau itu berkaitan dengan pandangan ilmiah keagamaan? Bukankah Allah memaafkan siapa yang bersalah? Sesungguhnya Allah memerintahkan kaum mukmin agar bersangka baik dengan saudara-saudara mereka kalau ada yang menuduh mereka dengan tuduhan yang tidak sejalan dengan keimanan (QS. An-Nur ayat 12)."

"Ketahuilah, wahai saudaraku, bahwa kata pengantar saya menjawab kritik Anda itu bukanlah bertujuan memperhadapkannya dengan tuduhan Anda karena, sebagaimana yang saya sampaikan di atas, saya telah memaafkan Anda menyangkut hak saya yang Anda langgar kalau memang saya mempunyai hak. Tujuan saya tidak lain, kecuali menasihati dengan tulus dan menjelaskan kepada Anda kedudukan tuduhan Anda dan tingkat kebenarannya dalam pandangan agama, maru’ah dan kemanusiaan.”

Demikian isi suratnya. Sungguh indah. Wa Allah A’lam.

=====

*) Naskah dinukil dari buku Yang Hilang dari Kita: Akhlak yang diterbitkan oleh penerbit Lentera Hati. Pembaca bisa mendapatkan karya-karya Prof. Quraish Shihab melalui website penerbit.

Kultum Quraish Shihab

Baca juga artikel terkait RAMADAN atau tulisan lainnya dari M. Quraish Shihab

tirto.id - Pendidikan
Penulis: M. Quraish Shihab
Editor: Zen RS