tirto.id - Pada periode 1960-an ekonomi Indonesia sedang hancur-hancurnya. Hiper Inflasi maha tinggi pernah terjadi pada zaman Presiden Sukarno. Sukarno akhirnya pun lengser pada 12 Maret 1967, setahun setelah Supersemar 1966. Soeharto kemudian menjadi Pejabat Presiden kemudian pada 27 Maret 1968 Soeharto dilantik menjadi presiden Indonesia.
Namun, belum genap sebulan jadi presiden, Soeharto sempat berpidato maha penting dan genting bagi kemaslahatan rakyat Indonesia. Pidato malam hari 24 April 1968 itu adalah pidato pertama Soeharto bukan sebagai Pejabat Presiden. Pengumuman penting Seoharto itu disiarkan lewat televisi, yang barangkali bukan sebagai keputusan yang mudah bagi Soeharto.
“Malam hari itu juga keluar pengumuman kenaikan harga bensin sebesar empat kali, dari Rp4 menjadi Rp16 per liter,” tulis Widjojo Nitisastro dalam tulisannya berjudul Mengambil Keputusan Berat dan Pahit—yang dimuat dalam buku Diantara Sahabat Pak harto 70 Tahun (1991:620-633) dan Pengalaman pembangunan Indonesia: kumpulan tulisan dan uraianWidjojo Nitisastro (2010:227-248).
Selain harga bensin saja naik, Widjojo mencatat: “demikian pula harga minyak tanah dinaikkan dari Rp1,75 menjadi Rp4 per liter, minyak solar dari Rp3,50 menjadi Rp12.”
Soeharto barangkali tak pernah kuliah ekonomi, tapi dia punya para pembantu penting untuk mengurusi masalah ekonomi. Di bidang ekonomi dulunya ada Kolonel Soedjono Hoemardani yang pensiun berpangkat sebagai mayjen. Selain sebagai orang yang berlatar militer, ia juga ahli ekonomi dari kalangan akademisi.
Akademisi lulusan luar negeri dan jadi guru besar seperti Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Sadli, Emil Salim membantu di bidang ekonomi. Sebelum keputusan diambil, sudah semestinya ada bahan pertimbangan dari para ahli sipil itu.
Keputusan menaikkan harga BBM adalah aib besar bagi seorang presiden apalagi yang baru dilantik karena rentan mendapatkan protes. Namun, saat harga BBM naik, tak ada gejolak yang membuat Soeharto dituntut mundur oleh banyak kelompok karena menaikkan harga BBM.
Soeharto di masa itu masih jadi kesayangan mahasiswa Angkatan 1966, yang besar jasanya menurunkan Sukarno dan menaikkan dirinya ke kursi presiden serta melahirkan Orde Baru.
Pasca-kenaikan harga, BBM harganya stabil. Banyak orang menganggap masa-masa ini adalah masa jaya murahnya bensin. Butuh beberapa tahun bagi Soeharto untuk menaikkan harga BBM lagi.
Pada 1980, Soeharto akhirnya memberi “hadiah kejutan” di Hari Buruh Internasional. Soeharto menelurkan Keputusan Presiden No.30 tahun 1980 tertanggal 30 April 1980. Isinya adalah kenaikan harga BBM. Harian Kompas (30/04/1980) mencatat: Avigas Rp50 naik menjadi Rp150; Avtur naik dari Rp50 menjadi Rp 150; Super harganya naik dari Rp80 menjadi Rp220; Premium naik dari Rp50 menjadi Rp150; Minyak tanah dari Rp12,50 menjadi Rp37.50; Solar dari Rp17,50 menjadi Rp52.50; Minyak diesel dari Rp15 menjadi Rp45, Minyak bakar dari Rp15 menjadi Rp45.
Jika dirata-rata, kenaikannya tiga kali lipat. Kenaikan harga BBM tadi, berlaku sejak pukul 00.00 mulai 1 Mei 1980. Semua tahu, efek dari kenaikan harga BBM akan diikuti dengan kenaikan harga barang kebutuhan pokok juga. Betul-betul “hadiah nan sangat indah” bagi kaum buruh rendahan di zaman Orde Baru kala itu.
Beberapa hari setelah kenaikan harga BBM di April 1980, Soeharto serasa “disodok dari belakang”. Bukan oleh kaum komunis gaya baru. Melainkan oleh para jenderal dan tokoh-tokoh yang berusaha kritis dan berusaha beri "Ungkapan Keprihatinan" dengan membubuhkan tanda tangan mereka.
Inilah yang belakangan dikenal sebagai Petisi 50. Di antara jenderal itu ada Abdul Haris Nasution, Ali Sadikin, Hoegeng Imam Santoso. Dari kalangan sipil ada mantan Ketua PDRI Sjarifuddin Prawiranegara. Para tokoh ini tak masuk penjara, tapi Soeharto selalu punya cara menghadapi orang-orang kritis kepadanya. Di masa itu hanya sedikit orang punya nyali melawan Soeharto.
Pada dekade terakhir Soeharto berkuasa, di masa-masa mulai mesranya Soeharto dengan Islam Politik, harga bensin pernah naik. Pada 10 Juli 1991, atas petunjuk Soeharto, melalui Keputusan Presiden No. 30/1991, harga BBM kembali naik.
Buku Jejak Langkah Pak Harto 21 Maret 1988 – 11 Maret 1993 (2003:441-442) menyebut: “harga per liter avgas dan avtur masing-masing naik sebesar 21,21 persen dari Rp330, menjadi Rp400; bensin premium naik sebesar 22,22 persen dari Rp450, menjadi Rp550; minyak tanah naik 15,7 persen dari Rp190, menjadi Rp220; minyak solar naik 22,44 persen dari Rp245, menjadi Rp300; minyak diesel naik 21,27 persen dari Rp235, menjadi Rp285.”
Sedikit kabar gembira yang dicatat, “hanya minyak bakar yang tidak mengalami kenaikan, sehingga harganya tetap Rp220.” Harga-harga tadi mulai berlaku sejak pukul 00.00 tanggal 11 Juli 1991.
Kenaikan harga BBM juga terjadi lagi pada medio 1998. Saat Indonesia berada di puncak krisis ekonomi yang mengguncang Indonesia. Harga BBM naik lagi beberapa pekan jelang Soeharto lengser. “Mulai pukul 00.00 WIB tanggal 5 Mei 1998, BBM dinaikkan antara 25 persen hingga 71 persen, dengan perincian kenaikan BBM sebagai berikut: Avigas naik 42,8 persen; Avtur naik 42,8 persen; Premium naik 71,4 persen; Minyak Tanah naik 25 persen,” tulis Diro Aritonang dalam Runtuhnya Rezim Daripada Soeharto (1999:660).
Sama seperti kenaikan-kenaikan harga BBM sebelumnya, kenaikan harga barang kebutuhan pokok, yang kala itu mulai disebut Sembako, juga ikut naik.
Menurut catatan Tjipta Lesmana dalam buku Dari Soekarno Sampai SBY (2013:118) sebelum lawatan ke luar negeri, Soeharto menyebut sudah lama berencana menaikkan harga BBM. Tak sampai sebulan setelah kenaikan harga itu, Soeharto lengser pada 21 Mei 1998.
Editor: Suhendra