tirto.id - Kegiatan membeli pakaian, mengunggah foto diri dengan baju baru ke Instagram, lalu pengembalikannya ke toko rupanya jadi hal wajar di kalangan milenial Inggris. Pada Agustus 2018, perusahaan penyedia jasa kartu kredit asal Inggris Barclaycard mempublikasikan hasil riset yang menunjukkan satu dari 10 orang membeli baju dengan tujuan untuk dikembalikan setelah mereka mengunggah foto di Instagram bersama busana tersebut. Unggahan itu biasanya disertai tagar #OOTD alias Outfit of the Day ("Busana Hari Ini").
Perubahan cara konsumsi fesyen yang semakin instan nampaknya telah dipengaruhi oleh kultur #OOTD, sehingga siklus beli-posting Instagram-kembalikan barang pun menjadi konsekuensi logis. Tapi seperti apa kalangan mode dan bisnis fesyen merespons fenomena ini?
Apakah mereka merugi? Ternyata tidak.
Sampai tulisan ini dibuat, #OOTD di Instagram memuat sekitar 227 juta foto dengan berbagai latar belakang mulai dari tempat olahraga, gunung es, hingga kamar mandi. Jumlahnya unggahannya cepat bertambah. Bila dilihat sepintas, ada puluhan akun yang menayangkan foto #OOTD hanya dalam kurun waktu satu jam.
Blogger fesyen asal Amerika Serikat Stassi Schroeder bahkan menggagas National OOTD Day. Kepada People, ia menuturkan usahanya menggalang petisi dan memenuhi persyaratan lain yang diperlukan agar "Hari Libur Nasional OOTD" disahkan. Sebagai bentuk kampanye, pada Juni lalu, ia mengunggah foto diri di samping sertifikat yang menunjukkan hari OOTD nasional sudah resmi diusulkan ke sebuah situs bernama National Day Calendar pada tanggal 30 Juni.
Saat #OOTD jadi lahan bisnis
Tagar #OOTD akhirnya memang memaksa warganet pecinta fesyen untuk bisa tampil gaya semaksimal mungkin.
Seiring waktu, #OOTD akhirnya berkembang sebagai panduan para pelaku bisnis retail mode raksasa hingga calon pengusaha fesyen skala kecil dan menengah. Mereka akan berpatokan pada unggahan-unggahan bertagar OOTD yang paling banyak disukai pengguna untuk menjual beragam pilihan busana yang mampu memenuhi hasrat bergaya pengguna Instagram.
Media sosial Instagram yang dibanjiri akun blogger fesyen memang mempermudah sarana promosi barang. Fashionista mencatat kisah Pia Arrobio yang memutuskan membuka bisnis baju dan menjualnya di Instagram. Alasannya sederhana, ia menilai jumlah modal usaha lewat Instagram relatif terjangkau. Banyaknya pengikut Arrobio di Instagram juga membuat pemasaran makin mudah.
Sarah Owen, editor senior WGSN, perusahaan yang bergerak dalam bidang prediksi tren, mengatakan bahwa kalangan Milenial dan Gen Z lebih suka meniru gaya blogger fesyen ketimbang selebritas atau model iklan label busana. “Zaman sudah berganti. Konsumer lebih suka melihat sosok yang ‘mirip’ dengan mereka ketimbang sesuatu yang terlihat resmi atau dibuat-buat,” tutur Owen kepada Fashionista.
Lini retail daring Asos dan Boohoo nampak tak tanggung-tanggung menghadapi fenomena OOTD, termasuk dalam mengelola risiko pengembalian barang. Fashion United melaporkan perusahaan tersebut membentuk sistem pengembalian barang dan melatih para staf agar lebih terampil dalam merawat barang yang dikembalikan pelanggan. Bagi mereka, swafoto dengan memakai busana yang baru dibeli adalah satu mata rantai dari proses penjualan barang.
“Sekarang masanya perusahaan memberi kesempatan pada pelanggan untuk memesan barang yang nantinya bisa dikembalikan. Keputusan mengembalikan barang biasanya dilihat dari komentar terhadap foto baju yang mereka unggah di Instagram. Ini sebenarnya bisa jadi tantangan bagi perusahaan retail untuk memperoleh keuntungan dari kebijakan pengembalian barang,” kata Andrew Hall, analis retail yang bekerja untuk Conlumino.
Yang dianggap Hall sebagai tantangan itu justru jadi peluang bagi perusahaan sewa menyewa baju seperti Rent The Runway, Glam Corner, Dora’s Dream, Kleiderei, dan Style Theory. Perusahaan-perusahaan ini menyewakan berbagai jenis pakaian, mulai dari produk adibusana (haute couture) karya desainer ternama hingga baju siap pakai seperti kaus oblong. Pelanggan bisa menyewa beberapa jenis busana sekaligus dalam hitungan hari hingga bulan. Biaya sewa dibayar per bulan.
Kini bisnis sewa busana makin diminati investor. Alibaba, misalnya. Mulai tahun ini, mereka menggelontorkan dana untuk perusahaan pelopor sewa busana, Rent The Runway.
Sementara itu, perusahaan retail non-daring seperti Zara, Topshop, dan Urban Outfitters mulai menggenjot jumlah koleksi barang supaya bisa mengikuti jenis busana yang marak beredar di Instagram. Mereka juga membatasi kuantitas produksi barang agar tema yang dipajang dan dijual bisa lebih beragam.
Satu Baju Satu Kesempatan
Jika bisnis justru diuntungkan dengan fenomena #OOTD, bagaimana dengan pengguna?
#OOTD rupanya berhasil membuat banyak orang berpikir bahwa haram hukumnya mengunggah foto dalam busana yang sama lebih dari sekali.
Pada 2017, badan amal Hbbub pernah melakukan penelitian terhadap pria dan wanita berusia 18-25 tahun terkait kenyamanan mereka dalam mengenakan busana. Hasil penelitian menunjukkan 47% wanita merasa perlu mengenakan busana berbeda setiap bepergian. Survei tersebut juga menunjukkan satu dari enam orang enggan mengunggah foto di media sosial dengan busana yang sama.
Elizabeth Tuke, seorang humas yang bekerja di bidang mode, menuturkan pada Harper's Bazaar bahwa pekerjaan menuntut dirinya tampil dalam gaya busana yang berbeda-beda. Dalam satu hari ia bisa berulangkali ganti busana dan aksesori demi menyesuaikan diri dengan sejumlah acara beserta jenis tamu undangan.
Hal serupa juga dialami Amanda Jenner yang mengaku gemar menjajaki gaya busana yang berbeda-beda sehingga enggan mengenakan busana yang sama lebih dari sekali. “Aku suka tampil beda setiap harinya. Ini ibarat candu. Aku sangat menikmati berbelanja. Kegiatan ini memberiku kesenangan,” tuturnya. Hasil kegiatan menyenangkan itu tentunya kerap ia unggah di Instagram.
Kepopuleran #OOTD membuat Hilbun Ho, seorang dosen pemasaran di University of Technology Sydney, membuat penelitian tentang hubungan antara unggahan foto produk fesyen di media sosial dan kebahagiaan publik. Baru-baru ini Ho melakukan survei terhadap 900 mahasiswa di Singapura usia 17-24 tahun dan mencari tahu penggunaan media sosial, pola belanja, hingga persepsi mereka terkait teman sebaya.
Hasilnya, tiap potret di media sosial yang menonjolkan kesempurnaan gaya hidup membuat responden Ho merasa inferior, cemas, dan ingin belanja. Menurut Ho, temuan serupa juga terlihat pada kaum muda yang tinggal di negara-negara lain.
Editor: Windu Jusuf