tirto.id - Mohammad Ahsan dan Hendra Setiawan memecahkan rekor yang sulit dilampaui siapa pun, Ahad (15/12/2019) petang, setelah menaklukkan pasangan Hiroyuki Endo/Yuta Watanabe dalam partai final World Tour Finals yang digelar di Tianhe Gymnasium, Guangzhou, Cina.
Dengan gelar tersebut, The Daddies, demikian julukan mereka, resmi menjadi ganda putra pertama sepanjang sejarah bulutangkis yang mampu membawa pulang tiga gelar paling bergengsi pada tahun yang sama. Selain World Tour Finals, mereka sudah menjuarai All England (Maret) dan BWF World Championships (Agustus).
“Tahun ini benar-benar luar biasa buat kami. Ini jadi gelar juara penutup akhir tahun yang luar biasa,” ujar Hendra, seperti dilansir laman resmi PBSI.
Final tadi malam tidak mudah. Ahsan sendiri mengaku kalau “kami sempat kewalahan” karena lawan “lebih berani ngadu dan enggak terlalu banyak buka.” Di gim pertama Daddies dipaksa berjibaku hingga kedudukan akhir 24-22.
Pada gim kedua, Endo/Watanabe bahkan sempat memimpin hingga angka 13-17. Kemampuan memaksa lawan melakoni rally panjang yang melelahkan menjadi senjata utama pasangan Jepang ini.
“Waktu kami tertinggal di gim kedua, kami pikir pertandingan ini belum selesai dan masih ada kesempatan untuk mengejar,” sambung Ahsan. “Jadi kami coba cari jalan keluar satu per satu untuk mendapatkan poin.”
The Daddies keluar dari tekanan dengan kemampuan mereka mengatur tempo permainan. Kerja keras tiada henti itu akhirnya berujung manis. Mereka sukses membalikkan keadaan dan menutup gim kedua dengan keunggulan 21-19.
“Kemenangan hari ini bisa dibilang keajaiban buat kami,” Ahsan memungkasi.
Tenang dan Konsisten
Ahsan dan Hendra boleh saja merendah dengan mengatakan kemenangan mereka sebatas keajaiban. Namun faktanya, hasil ini bukanlah kebetulan. Fakta bahwa rekor head-to-head antara Ahsan/Hendra vs Endo/Watanabe sepanjang 2019 menyentuh angka 5-0 adalah bukti sahihnya.
Rekor ini patut dibanggakan karena Endo/Watanabe bukanlah pasangan main-main. Keduanya punya kombinasi pengalaman dan kebaruan yang tak jarang menghasilkan kejutan saat pertandingan. Konsistensi mempertahankan ritme dan kemampuan memaksa lawan melakoni rally panjang menjadi batu sandungan setiap lawan-lawan Endo/Watanabe.
Pasangan terbaik dunia Marcus Fernaldi Gideon/Kevin Sanjaya Sukamuljo tahu persis perkara ini. Mereka sudah lima kali dikalahkan Endo/Watanabe tahun ini, termasuk di semifinal World Tour Finals yang digelar Sabtu (14/12/2019) lalu.
“Kami sudah berusaha menyerang, tapi lawan memang enggak gampang mati. Saya pribadi jadi enggak begitu percaya diri mainnya,” ujar Marcus usai kekalahan itu.
Pada akhirnya, konsistensi itu masih belum cukup meredam ledakan The Daddies.
Pelatih ganda putra Indonesia, Herry Iman Pierngadi, menyebut ada dua kunci kenapa Ahsan/Hendra menang sementara Marcus/Kevin tidak. Dua faktor itu adalah pengalaman dan konsistensi.
Sebagai pemain senior, Hendra dan Ahsan tak mudah panik ketika menghadapi situasi sulit. Sementara perkara konsistensi, kedua atlet ini punya kecenderungan tidak berapi-api dan menempatkan bola seefisien mungkin sambil tetap menyulitkan lawan.
“Hendra/Ahsan memang penempatan bolanya lebih efisien, akurasinya juga cukup baik dan kualitasnya juga mumpuni,” kata Herry seperti dilansir laman PBSI.
Kendati demikian, pelatih yang biasa dijuluki Naga Api itu bukannya tak terperangah. Saat partai final dia mengaku terkejut dengan level permainan Hendra/Ahsan.
Dia mulanya mengira kemenangan bakal didapat dengan lebih sulit. “Di satu sisi saya surprise juga mereka bisa menang dengan straight game, padahal saya kira tadi akan rubber.”
Kembali Jadi Penyelamat
Satu catatan lain yang tidak kalah menarik adalah fakta bahwa di tiga kompetisi besar yang berhasil mereka juarai tahun ini, Ahsan/Hendra selalu jadi juru selamat kontingen Indonesia.
Pada gelaran All-England, keduanya menjadi penyelamat lantaran tak ada satu pun wakil Indonesia yang berhasil menjuarai nomor lain. Di tunggal putra, Jonathan Christie tumbang di putaran kedua, begitu pula pasangan Marcus/Kevin yang gulung tikar lebih awal usai kalah dari Liu Cheng/Zhang Nan.
Cuma Praveen Jordan/Melati Daeva Oktaviani yang bisa melaju jauh, itu pun terhenti di semifinal.
Kesuksesan Hendra/Ahsan mengalahkan ganda Malaysia di partai terakhir menjadi buah bibir dunia, sebab Hendra sempat cedera betis jelang final turnamen yang dihelat di London tersebut. Herry IP mengatakan Hendra/Ahsan bisa menang karena memang keduanya “punya mental juara”.
Kemudian, saat kejuaraan dunia di Swiss, situasinya tak beda jauh. Ahsan/Hendra mekar sebagai tumpuan saat atlet-atlet lain tumbang. Tak ada satu pun pebulutangkis Indonesia dari nomor lain yang mampu menyentuh panggung final.
Terakhir, pada gelaran World Tour Finals, Indonesia sempat punya peluang di nomor tunggal putra setelah Anthony Sinisuka Ginting melaju sampai partai terakhir. Namun Ginting tumbang, kali ini oleh atlet Jepang, Kento Momota, lewat duel melelahkan tiga gim.
Ahsan/Hendra, dengan berbagai beban yang menghinggapi pundaknya, lagi-lagi keluar sebagai juru selamat.
“Sebagai pelatih saya bangga melihat mereka bisa berhasil di kejuaraan akhir tahun ini. Boleh dibilang ini jadi kado Natal yang manis buat saya,” tukas Herry IP.
Keberhasilan The Daddies tentu bukan saja akan jadi kado indah untuk Herry, tapi juga bagi seluruh pencinta bulutangkis tanah air.
Editor: Rio Apinino