tirto.id - Rancangan Undang-Undang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang baru disahkan menjadi Undang-Undang memberikan kewenangan yang semakin luas bagi Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Sebagai instansi pengelola APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), Kemenkeu bakal mengawasi PNBP secara langsung, di samping juga dapat menentukan tarif.
Kendati demikian, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menekankan bahwa penetapan tarif itu bukan kewenangannya secara penuh. Sri Mulyani menyebutkan tetap ada sinergi dengan kementerian/lembaga terkait dalam penentuannya. Itu dilakukan seblum akhirnya ditetapkan ke dalam bentuk PMK (Peraturan Menteri Keuangan).
“Meskipun produknya PMK, tapi tetap melalui proses bottom up. Kami bertanggungjawab dalam melihat tarif yang diusulkan itu memiliki dampak yang layak, di samping dalam mengusulkannya mereka juga harus memiliki dasar yang baik,” jelas Sri Mulyani dalam jumpa pers di kantornya, Jakarta pada Jumat (27/7/2018).
Mengacu pada pasal 15 dari UU yang baru, Menkeu memang memiliki sejumlah kewenangan dalam pengelolaan PNBP. Di antaranya menyusun kebijakan umum pengelolaan PNBP, menetapkan target dan penggunaan dana PNBP, mengevaluasi serta menyusun dan menetapkan jenis maupun tarif PNBP, meminta instansi terkait untuk memeriksa PNBP, menetapkan pengelolaan PNBP lintas instansi, serta melaksanakan kewenangan lain di bidang PNBP.
Masih dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani mengklaim pengelolaan PNBP selama ini masih menemui sejumlah tantangan. Salah satu indikatornya ialah temuan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) yang mendapati pengenaan tarif tak sesuai dengan ketentuan.
“Pungutan tarif yang tidak ada dasar hukumnya itu karena memang tidak PP (Peraturan Pemerintah). Setelah dipungut, kemudian tidak dikembalikan ke kas negara. Kalaupun dikembalikan, telat,” ucap Askolani.
Berdasarkan temuan itulah, UU PNBP ini lantas mengatur sanksi yang tegas apabila wajib bayar lalai atau sengaja menghindari kewajiban bayar PNBP. Alasan diterbitkannya PMK itu pun disebutkan sebagai bentuk efisiensi. Pasalnya apabila menunggu proses PP yang harus diteken langsung Presiden Joko Widodo, bakal memakan waktu yang relatif lebih lama.
Meski begitu, Askolani tidak menampik apabila penentuan yang awalnya diatur sebagai PMK itu dapat ditindaklanjuti menjadi PP. Upaya untuk mempercepat pemberian payung hukum itu dinilai sebagai strategi agar di kemudian hari, kementerian/lembaga terkait tidak bermasalah saat tengah diaudit BPK.
“Kadang kementerian/lembaga itu terlalu bernafsu untuk membuat tarif sebanyak-banyaknya. Berdasarkan deteksi kita sampai saat ini, ada 70.000 tarif yang diusulkan kementerian/lembaga. Dengan UU ini, ada wewenang untuk menilai apakah tarif layak dipungut atau tidak,” jelas Askolani.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Yantina Debora