tirto.id - Belakangan Jakarta Timur rutin diguyur hujan deras. Jalanan depan rumah Suparman, 55 tahun, dialiri air setinggi 25 sentimeter pada, Minggu (11/11/2018). Jika ketinggian permukaan air itu bertambah 10 sentimeter saja, ruang tamu rumahnya pun akan tergenang.
Selama ketinggian permukaan air tak melewati satu meter, lalu arus listrik dan air dimatikan, ia tidak akan segera mengungsi. Padahal gang rumah Suparman terlalu sempit. Kerap susah dilalui perahu karet. Pernah ketika banjir, tim penyelamat dan bantuan memberikan dua bungkus nasi. Padahal saat itu yang bertahan di loteng bukan hanya Suparman, akan tetapi lima anggota keluarganya juga.
“Saya kadang sedih, tapi apa mau dikata? Yang penting nyawalah,” ucap Suparman yang sudah 20 tahun menetap di Kelurahan Cipinang Melayu.
Sebelumnya dia tinggal di daerah rawan banjir juga, pernah atapnya dijebol tim SAR untuk menyelamatkan ia dan keluarganya dari rendaman air setinggi dua meter.
Suparman bekerja sebagai kuli bangunan. Saat senggang, perlahan dia merombak bangunan rumahnya, kini sudah menjadi dua lantai. Untuk menahan banjir, dia butuh meninggikan lagi bagian depan rumah, akan tetapi anggaran masih belum cukup.
Meski begitu, Suparman enggan pindah rumah. Dia merasa nyaman tinggal di daerah itu. Keramahan tetangga membuatnya makin betah. Di luar itu, ya, karena permasalahan tak punya dana untuk pindah ke wilayah yang lebih aman. Dia khawatir jika memaksakan diri menjual rumah, tak akan mampu membeli rumah baru. Kini dia dan keluarganya hanya bisa pasrah.
“Jadi kepengin digusur. Yang penting enggak kebanjiran. Tapi namanya udah lama di sini, sekalipun banjir, ya, sudahlah,” ucap Suparman.
Rumah Suparman tak jauh dari tempat tinggal Silvi, 40 tahun. Silvi masih ingat betul penyebab goresan luka di kakinya. Sebuah benda tajam menyayatnya saat tubuhnya terendam air banjir setinggi dada. Cairan berwarna merah yang muncul ke permukaan air pun membuat warga yang melihatnya sontak berteriak, "Silvi itu ada darah.”
Waktu itu Silvi terpaksa harus keluar rumah saat banjir 5 tahunan melanda pada tahun 2007 silam. Banjir datang saat suaminya belum pulang ke rumah. Dia terpaksa harus menggotong barang-barang berharga ke bagian rumah yang lebih tinggi.
Seorang petugas kelurahan yang mengobatinya pun mengoceh, "Udah lupain barang, pedulikan diri Ibu dulu," ucap Silvi mengingat kejadian itu.
Silvi sudah menjadi warga RT04/RW04 Kelurahan Cipinang Melayu sejak tahun 1990-an. Komplek rumahnya menjadi wilayah yang selalu paling awal dan rutin dihantam banjir. Meski sering kehilangan barang berharga seperti barang dagangan, Silvi dan keluarganya tak kapok bermukim di wilayah itu. Mereka justru semakin terbiasa menghadapinya.
"Kalau saya lihat air di jalan tenang, saya pun juga. Tapi kalau sudah deras, saya baru siap-siap," ucapnya.
Mereka menganggap lokasi rumah sudah strategis. Dekat dengan sekolah anak dan tempat kerja suami Silvi. Belum lagi mudahnya akses transportasi umum.
Selain itu, Silvi menjadikan rumahnya dua lantai hanya dengan menyusun sekat dari papan kayu. Papan itu dijajar dengan cara dua meter dari lantai. Silvi mengistilahkannya sebagai “onggokan”.
Meski di rumahnya telah ada onggokan, tidak ada jaminan Silvi tidak perlu mengungsi. Ketika ketinggian permukaan air tak kunjung turun, pemerintah setempat kerap memutus aliran listrik dan air. Ketiadaan dua hal itu menjadi sinyal bagi Silvi untuk segera mengevakuasi keluarganya ke pengungsian terdekat seperti kantor kelurahan, Universitas Borobudur, maupun Kampus Akpindo.
Makanya jika merasa ada potensi banjir, Silvi terbiasa berjaga secara bergantian dengan suaminya sepanjang malam. Pengalaman banjir menjadikannya tak memiliki banyak perabotan rumah.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Dieqy Hasbi Widhana