tirto.id - Rusia yang kini dipimpin mantan agen Komitet Gosudarstvennoy Bezopasnosti (KGB) Vladimir Putin, memiliki 11 zona waktu yang berbeda. Secara tak sengaja, sebagaimana dituturkan Tim Marshall dalam Prisoners of Geography: Ten Maps That Tell You Everything You Need To Know About Global Politics (2015), "beruang menjadi simbol Rusia". Simbol yang selain menjadi penanda pas untuk mendeskripsikan luas wilayah, juga menjadi petunjuk paling jitu tentang keganasan Rusia.
Luas wilayah yang dimiliki Rusia tidak muncul secara alamiah, melainkan usaha tak kenal lelah menduduki wilayah bangsa lain. Pada abad ke-9, Rusia keluar dari federasi suku Slavia Timur (Kievan Rus) yang mendiami wilayah sepanjang aliran Sungai Dnieper untuk mendirikan negara sendiri. Namun pada abad ke-13, Rusia terusir dari wilayah di sekitaran sungai tersebut akibat ekspansi bangsa Mongolia. Mereka akhirnya mendiami wilayah yang bernama The Grand Principality of Muscovy alias Moskow.
Sialnya, kontur geografis Moskow mudah diterjang musuh. Kota ini tak memiliki gunung, sungai, atau gurun di sekitarnya sebagai batas alamiah. Ratusan tahun silam, kondisi geografis yang menyedihkan ini sempat dieksploitasi habis-habisan oleh Charles XII dari Swedia pada 1708. Belakangan, dihajar Napoleon dari Prancis pada 1812, dan oleh pasukan Jerman di dua Perang Dunia, 1914 dan 1941. Tak ketinggalan, ada Mongolia di selatan, Turki di timur, serta Iran di Barat yang bisa saja merangsek ke jantung Rusia.
Tak ingin hancur oleh serangan bangsa lain atas kelemahan geografis titik sentralnya, Rusia akhirnya mendeklarasikan konsep pertahanan nyeleneh untuk mempertahankan Moskow: Serang! Ambil wilayah-wilayah musuh di sekitar Moskow, dengan atau tanpa kekerasan. Melalui konsep pertahanan yang digagas Tsar pertama Rusia, Ivan the Terrible (Ivan IV Vasilyevich) inilah, Rusia berhasil mengambil alih wilayah di sekitaran Pergunungan Ural di timur, Laut Kaspia di selatan, dan Lingkar Artik di utara. Selain itu, berhasil pula mengambil alih sebagian besar wilayah Pergunungan Kaukasus, Laut Hitam, dan Siberia.
Meskipun akhirnya Rusia memiliki wilayah dengan luas 17,13 juta kilometer persegi, atau hampir sembilan kali lipat luas wilayah Indonesia (1,9 juta kilometer persegi), negeri ini tidak memiliki satupun wilayah laut air hangat--yang tidak membeku di musim dingin--yang sangat dibutuhkan untuk melayani perdagangan dan militer. Pelabuhan milik Rusia di Murmansk (Artik) dan Vladivostok (Pasifik), misalnya, tidak dapat digunakan selama lebih dari empat bulan per tahun karena kerap membeku. Setelah menginisiasi pembentukan Uni Soviet, masalah ini dapat teratasi karena Ukraina--tanah leluhur orang Rusia--memiliki laut air hangat, tempat pelabuhan Sevastopol berada. Namun setelah Soviet bubar, kelemahan ini kembali mencuat.
Di bawah kendali Putin, pada Februari-Maret 2014, Kremlin menganeksasi Krimea, kota tempat Pelabuhan Sevastopol berada. Tindakan ini dapat dilakukan karena Rusia memiliki 900.000 anggota militer aktif dan 2.000.000 anggota militer cadangan. Seperti taktik Cina "mengekspor" orang-orang Han untuk mendiami wilayah Xinjiang (Uighur) dan Tibet, populasi Krimea didominasi orang/keturunan Rusia.
Dalam catatan sejarah, Krimea sesungguhnya wilayah Rusia, tetapi diberikan secara cuma-cuma kepada Ukraina pada 1954 atas perintah Presiden Nikita Khrushchev dengan alasan Soviet tak akan pernah bubar. Dan sebagai penguasa Soviet, Rusia dianggap dapat terus mengeksploitasi keberadaan laut air hangat di Ukraina. Perlahan, di bawah naungan Soviet, banyak orang Rusia yang "diekspor" ke Krimea. Maka ketika menduduki wilayah itu, Rusia menganggapnya sebagai "tugas negara melindungi warganya", bukan menginvasi wilayah bangsa lain.
Namun penguasaan Rusia atas Krimea tak serta merta membuat Kremlin dapat menggunakan Sevastopol untuk pelbagai keperluan, terutama militer. Musababnya, pelabuhan ini berhadapan langsung dengan Laut Hitam, kapal-kapal milik Rusia yang bersandar di Sevastopol perlu melintasi Selat Bosporus untuk sampai ke Laut Mediterania, atau laut manapun di seluruh dunia. Dan Selat Bosporus dikuasai atau dikendalikan sepenuhnya oleh Turki, anggota North Atlantic Treaty Organization (NATO).
Sejak Konvensi Montreux ditandatangani pada 1936, ada batasan yang diberlakukan pada kapal-kapal militer Rusia dalam melintasi selat ini. Jika pun Rusia dapat menegosiasi Turki untuk mengizinkan kapal-kapal mereka lalu-lalang tanpa batas, Rusia masih harus berhadapan dengan penguasa Laut Aegea sebelum benar-benar sampai di Mediterania. Atau, untuk menuju Samudra Atlantik, izin dari penguasa Selat Giblartar wajib dimiliki. Dan untuk menuju Samudra Hindia, restu dari Mesir sebagai penjaga gerbang Terusan Suez perlu digenggam.
Artinya, penguasaan Krimea sebetulnya tak terlalu menguntungkan bagi Rusia. Malah Ukraina semakin membenci Rusia dan memilih merapat pada Uni Eropa alias berharap dapat bergabung menjadi anggota NATO. Tindakan politik ini sangat dibenci Kremlin, karena jika Ukraina bergabung dengan NATO, artinya mengundang Amerika Serikat untuk mendirikan pangkalan militer yang langsung berbatasan dengan Rusia. Terlebih dalam aturan NATO, jika satu anggotanya diserang maka sama artinya dengan menyerang seluruh anggota. Aturan ini berhasil dieksploitasi AS untuk mengikutsertakan negara-negara anggota NATO dalam upaya mereka menginvasi Afganistan.
Karena Ukraina kian mendekat dengan Uni Eropa, maka pada akhir 2021-awal 2022, Putin mengirimkan 60 batalion (satu batalion beranggotakan 800 prajurit) ke Belarus--negeri sahabat Kremlin yang memiliki perbatasan langsung dengan Ukraina. Hal ini diiringi serangan siber terhadap alat elektronik milik beberapa pejabat Ukraina (laporan Microsoft menyatakan adan malware buatan Rusia yang belum aktif tertanam di jaringan komputer Pemerintah Ukraina), juga mengosongkan kedutaan dan konsulat mereka di Ukraina. Tanda-tanda bahwa Putin tengah bersiap menginvasi Ukraina secara keseluruhan guna menjegal upaya Ukraina jatuh ke pelukan Uni Eropa, ke pelukan NATO.
Minyak dan Gas adalah Kunci
Meskipun Rusia mengokupasi Krimea dan kini bersiap menginvasi Ukraina, namun negara-negara Eropa terlihat tidak melakukan upaya apapun menanggapi kesewenang-wenangan Kremlin. Hanya AS, di bawah Pemerintahan Barack Obama, yang sempat menjatuhkan sanksi atas tindakan Rusia mengokupasi Krimea. Dan di bawah Pemerintahan Joe Biden, mereka bersiap memberikan sanksi lagi jika Ukraina benar-benar diinvasi Rusia.
Sebagaimana dipaparkan Per Högselius dalam bukunya berjudul Red Gas: Russia and the Origins of European Energy Dependence (2012), sikap yang terlalu lunak dari negara-negara Eropa terhadap aksi Rusia terjadi karena ketergantungan yang teramat tinggi dari Eropa terhadap minyak dan gas Rusia.
Saban hari, lebih dari 25 persen minyak dan gas yang dikonsumsi Eropa berasal dari Rusia. Negara yang semakin dekat jaraknya dengan Rusia, maka semakin tinggi pula ketergantungannya. Secara terperinci, 100 persen minyak dan gas yang dikonsumsi Latvia, Slovakia, Finlandia, dan Estonia berasal dari Rusia. Sementara Republik Ceko, Bulgaria, dan Lithuania harus mengimpor 80 persen kebutuhan minyak dan gas untuk kebutuhan dalam negerinya dari Rusia. Dan lebih dari 60 persen kebutuhan minyak dan gas Yunani, Austria, serta Hungaria juga disediakan oleh Rusia.
Jerman, negara yang dianggap terkuat secara ekonomi di Eropa, harus rela memenuhi setengah kebutuhan gas dan minyak mereka melalui uluran tangan Rusia. Dan meskipun tak terlalu signifikan, 16 persen kebutuhan gas dan minyak Inggris juga disediakan oleh Rusia.
Dari segala penjuru mata angin, minyak dan gas Rusia merangsek ke dalam sendi kehidupan negara-negara Eropa melalui pelbagai saluran pipa yang mereka bangun, baik Nord Stream, Yamal Stream, Blue Stream, ataupun South Stream. Kekuatan sumber daya ini kian kuat ketika pada 2015 Turki sepakat untuk membiarkan Rusia membangun Turk Stream.
Dengan kekuatan minyak dan gas inilah Rusia berhasil membeli pengaruh yang tak terbantahkan di ruang-ruang politik pelbagai negara Eropa. Mendikte Eropa untuk diam terhadap apapun yang diperbuat Kremlin. Negeri yang bersimbol beruang ini, jelas sangat ganas--menakutkan untuk dilawan.
Editor: Irfan Teguh Pribadi