tirto.id - Pada 5 Januari 2022, Rusia memboyong 18 orang--kebanyakan anak-anak dan istri diplomat--pulang dari Kiev, ibukota Ukraina, ke Moskow melalui perjalanan darat selama 15 jam menggunakan bus. Sehari berselang, juga memanfaatkan jalur darat, 30 orang diplomat Kedutaan Besar Rusia di Kiev dan Konsulat Jenderal di Lviv ditarik Kremlin. Hal ini sebagaimana dilaporkan Michael Schwirtz untuk The New York Times, membuat "Kedutaan Besar Rusia di Ukraina kosong melompong."
Tindakan Rusia memulangkan para diplomatnya, juga telah diterbangkannya 60 batalion (satu batalion beranggotakan 800 prajurit) tentara Rusia ke Belarus--negeri sahabat Rusia yang memiliki perbatasan langsung dengan Ukraina--membuat Amerika Serikat menganggap Rusia siap melakukan invasi terhadap Ukraina.
Maria V. Zakharova, jurubicara Kementerian Luar Negeri Rusia, menegaskan bahwa "Kedutaan Rusia di Ukraina tetap beroperasi normal, terlepas dari provakasi [yang menggaungkan Rusia hendak menyerang Ukraina] maupun agresi kelompok radikal lokal Ukraina [yang menyerang kantor kedutaan]." Rusia juga menegaskan bahwa pasukannya yang diterbangkan ke Belarus untuk hanya latihan bersama, bukan persiapan peperangan.
Namun, serangan siber dilakukan peretas-peretas Rusia terhadap beberapa menteri Ukraina dan laporan Microsoft yang menyatakan adanya malware yang belum aktif tertanam di jaringan komputer Pemerintah Ukraina. Selain itu, catatan sejarah bagaimana Rusia mengokupasi wilayah Krimea milik Ukraina, membuat upaya Rusia meredam kecurigaan dunia tak bisa dipercaya. Terlebih, setelah Uni Soviet runtuh pada awal 1990-an, Rusia memang sangat membutuhkan Ukraina--dalam arti dapat dikendalikan. Mengapa? Geografi Rusia jawabannya.
Faktor Geografis Rusia
Rusia adalah negeri yang memiliki wilayah besar, sangat besar. Saking besarnya, negeri yang kini dipimpin mantan agen KGB Vladimir Putin ini memiliki 11 zona waktu yang berbeda, yang membuat Rusia tak pernah tidur. Secara tak sengaja, sebagaimana dituturkan Tim Marshall dalam bukunya berjudul Prisoners of Geography: Ten Maps That Tell You Everything You Need To Know About Global Politics (2015), "beruang menjadi simbol Rusia." Simbol yang selain menjadi penanda yang pas untuk mendeskripsikan besarnya wilayah Rusia, juga menjadi petunjuk paling jitu tentang keganasan Rusia.
Rusia, tegas Marshall, "menakutkan bagi banyak negara."
Meskipun terlihat menakutkan, Rusia sesungguhnya memiliki ketakutan dalam dirinya sendiri yang sukar mereka binasakan. Ketakutan itu adalah kenyataan bahwa titik terpenting Rusia, Moskow (the Grand Principality of Muscovy), tidak memiliki pertahanan alamiah apapun. Tanahnya datar, tanpa padang pasir, tanpa pergunungan, juga tanpa sungai-sungai yang mengalir di sekitarnya.
Kelemahan alamiah ini sempat menjadi momok yang benar-benar menakutkan bagi Rusia karena di penjuru selatan dan timur wilayah mereka, misalnya, berdiam bangsa Mongol, "pendekar asal Asia Tengah" yang punya catatan merebut wilayah bangsa lain. Juga ada Turki Usmani dan Persia yang bersebelahan dengan mereka.
Tak ingin Moskow jatuh ke tangan musuh, Ivan the Terrible (Ivan IV Vasilyevich), Tsar pertama Rusia, mendeklarasikan konsep pertahanan yang nyeleneh untuk mempertahankan Moskow: Serang! Ambil wilayah-wilayah musuh, dengan atau tanpa kekerasan--jika mau diajak bekerjasama--untuk dijadikan wilayah penyangga Moskow.
Melalui konsep pertahanan inilah, di tangan Ivan (semenjak naik takhta pada 1533), Rusia sukses mengambil alih kekuasaan wilayah di sekitaran pergunungan Ural di timur, Laut Kaspia di selatan, dan Lingkar Artik di utara. Dan untuk membendung keganasan bangsa Mongol dan Turki Usmani, Ivan berhasil mengambil alih sebagian besar wilayah Pergunungan Kaukasus dan Laut Hitam--berlanjut hingga mengokupasi Siberia.
Nahas, meskipun berhasil mengokupasi banyak wilayah untuk melindungi Moskow dari serangan musuh, wilayah-wilayah hasil jarahan mereka tak pernah menganggap Rusia sebagai tuan. Dagestan di Kaukasus, misalnya, selalu mengaku bahwa mereka bukanlah Rusia--meskipun wilayah mereka masuk dalam administrasi Rusia. Terlebih, meskipun memiliki wilayah yang sangat luas, ada satu kekurangan lain: Rusia tak memiliki laut air hangat yang tak membeku kala musim dingin tiba. Hal ini membuat Rusia tak pernah bisa mendirikan angkatan laut hebat.
Untuk mengatasi masalah laut air hangat, melalui pendirian Uni Soviet, Ukraina menjadi penolong karena memiliki Pelabuhan Sevastopol--pelabuhan yang langsung berhadapan dengan laut air hangat--di Krimea. Ketika Uni Soviet bubar pada awal 1990-an, Rusia kehilangan kendali/akses atas pelabuhan laut air hangat mereka. Atas alasan inilah, dibarengi dengan keberadaan North Atlantic Treaty Organization (NATO), Rusia menganeksasi Krimea. Langkah ini cukup strategis bagi Kremlin karena didukung bahwa penduduk Krimea mayoritas keturunan Rusia.
Dalam catatan sejarah, Krimea sesungguhnya wilayah Rusia, bukan Ukraina, tetapi kemudian diberikan secara cuma-cuma kepada Ukraina pada 1954 atas perintah Presiden Nikita Khrushchev karena menilai Uni Soviet tak akan pernah bubar. Kenyataannya Soviet bubar hingga membuat Rusia terpaksa mengambil paksa wilayah yang sempat mereka berikan.
Karena kecewa atas sikap Rusia, Ukraina merapat ke Eropa dan Amerika Serikat, berharap dapat bergabung menjadi anggota Uni Eropa dan NATO.
Bagi Kremlin, jika Ukraina bergabung menjadi anggota NATO ataupun Uni Eropa, artinya memberikan Amerika Serikat pangkalan militer baru yang langsung berhadapan dengan tanah Rusia. Dalam aturan NATO, negara manapun yang menyerang anggota NATO, sama dengan menyerang seluruh anggota NATO. Maka, demi melindungi Moskow, Rusia berkehendak mengambil alih seluruh wilayah Ukraina sebelum negeri tersebut bergabung menjadi anggota NATO (atau Uni Eropa). Inilah yang tampaknya terjadi saat ini.
Tentu, jika Rusia benar-benar ingin merebut seluruh wilayah Ukraina, ada banyak catatan yang harus mereka selesaikan. Sebagaimana dipaparkan Joshua Yaffa untuk The New Yorker, salah satu catatan itu adalah bahwa Rusia sangat tergantung dengan SWIFT, sistem transaksi global ala AS. Apabila serangan terhadap Ukraina dilancarkan, AS tampaknya tak akan ragu memutus akses SWIFT bagi Rusia. Tindakan yang pernah dilakukan AS terhadap Iran, dan dalam tataran sangat kecil, kepada Cina.
Editor: Irfan Teguh Pribadi