tirto.id - Rumasa kula wong mlarat. Arep luruh wadon sing bapuk. Cukup rumbah karo krupuk
(Dirasa aku orang miskin. Mau cari perempuan yang bapuk. Cukup (makan) rumbah dengan kerupuk)
Sepotong rima dalam lagu “Bapuk” karya musisi legenda tarling Indramayu, Yoyo S, adalah salah satu lagu yang cukup populer di telinga masyarakat Indramayu. Saat saya masih di bangku Sekolah Dasar, lagu-lagu dari mendiang nama lengkap Yoyo Suwaryo, cukup membekas dalam telinga saya hingga saat ini.
Layaknya musisi Iwan Fals atau Doel Sumbang yang cukup produktif dalam melahirkan karya-karya balada, Yoyo memberi warna dan laku masyarakat lokal pesisir Indramayu dalam lagu-lagunya. Termasuk lagu "Bapuk", yang berarti amba (luas) empuk (empuk) dan biasanya digunakan dalam penyebutan untuk perempuan bertubuh montok atau gemuk.
Namun, "Bapuk" memiliki pemakanaan yang lebih luas dan mendalam. Bukan perkara tubuh perempuan yang montok atau bahenol sebagai objektifikasi. Lebih dari itu, amba berearti memiliki wawasan dan pengalaman yang luas, sedangkan empuk berarti tulus atau penyabar. Makna tersebut seolah menjadi pedoman dalam lagu "Bapuk" untuk memilih perempuan dengan berbagai ketentuan dan syarat-syarat yang berlaku. Bagi Yoyo sendiri, "Bapuk" dijadikan sebuah akronim dalam “Rumbah karo Kerupuk” (rumbah dan kerupuk). Sebuah penganan rakyat yang dinikmati semua kalangan masyarakat Indramayu.
Setiap kali mendengar lagu "Bapuk", ingatan saya langsung tertuju pada rumah. Rumah tempat penghuninya sudah dekat dengan kudapan murah bernama rumbah. Rumbah menjadi makanan khas rumahan orang Indramayu hingga Cirebon yang umumnya berisi sayur-mayur yang direbus seperti kangkung, tauge, timun suri dan disiram dengan sambal kacang yang pedas namun segar. Rumbah barangkali di tempat lain umumnya disebut urab. Berbeda dengan lotek atau gado-gado dalam proses pembuatan sambalnya secara dadakan untuk tiap porsi. Sambal rumbah biasanya dibuat sekali dalam jumlah banyak sehingga sangat praktis dalam penyajiannya.
Setiap momen lebaran bisanya saya pulang kampung ke Indramayu dari Jogja. Mengikuti ritual tahunan yang sudah turun-temurun dilakukan kebanyakan orang. Saat momen pulang kampung inilah jadi kesempatan bagi saya untuk berburu kuliner di sana. Selain nasi lengko, rumbah masuk dalam daftar pencarian. Bagaimana tidak, rumbah sudah menjadi makanan harian yang murah dan mudah tersebar di desa-desa dan kota di Indramayu. Penjual tidak perlu repot-repot membangun kios ataupun restoran untuk berdagang, cukup menggunakan meja di emperan pinggir jalan atau teras rumah pun tak masalah.
Pada momen lebaran kemarin, saat saya bersama keluarga hendak melakukan sebuah perjalanan ke kota, tiba-tiba penasaran ingin mencoba makan Rumbah Darinih yang sedang ramai dibicarakan itu. Rumbah Darinih yang terletak di Desa Eretan Kulon, Kecamatan Kandanghaur, mendadak terkenal lantaran sambal racikannya yang bikin kecanduan. Pemilik warung yang kini sudah menjadi HJ. Darinih (65) setelah sukses berjualan selama bertahun-tahun, memiliki resep khusus yang sedikit berbeda dengan rumbah-rumbah lainnya. Salah satu yang membedakan adalah sambalnya. Sambal yang digunakan dengan menambahkan petis yang terbuat dari udang yang diambil langsung dari nelayan sekitar. Umumnya rumbah hanya menggunkan terasi saja yang sama-sama menggunakan bahan dasar udang rebon.
“Wis pada pernah nyoba rumbah Darinih durung?” (Sudah pada pernah nyoba rumbah Darinih belum?) tanyaku pada mereka secara tiba-tiba sembari mengemudikan mobil.
“Oh, emange parek tah?” (Oh, memangnya deket ya?) sahut adeku.
“Ya ning arep, tinggal menggok bae kuh” (Ya di depan, tinggal belok saja tuh).
Mendadak lampu rating sebelah kiri saya nyalakan. Tampak gerbang Balai Desa Eretan Kulon sudah menyambut kami.
“Lah kok malah arep meng lebu, To?” (Loh kok malah mau ke Balai Desa, To?) cegat mimi (ibu) dengan nada paniknya.
Namun saya hanya tersenyum dan melanjutkan parkir mobil di belakang balai desa itu. Beberapa kendaraan baik motor maupun mobil sudah berjajar meski hari sedang menuju siang. Sebuah gang sempit menyumbul dengan samar-samar, tampak kerumunan orang di depan warung mungil persis menempel dengan rumahnya. Kami pun ikut mengantre.
Dua orang perempuan muda tampak sibuk di depan warung melayani para pembeli yang sudah antri. Berjejer gorengan bakwan, tempe dan kerupuk yeye atau udang yang jadi pasangan rumbah. Sedangkan seorang perempuan tua sedang duduk di samping warung sembari membereskan daun pisang untuk pembungkus rumbah. Perempuan tua itu tidak lain adalah HJ. Darinih. Pemilik warung rumbah yang sedang banyak dibicarakan hingga para buruh migran Indramayu yang di luar negeri. Saking terkenalnya, sambal rumbah Darinih menjadi buruan para buruh migran yang kangen akan rumah dan rumbah. Suasana warung yang dekat dengan perkampungan nelayan, bukan hanya menjadi buruan orang-orang dari Indramayu saja, namun dari luar kota pun sudah mulai berdatangan.
Rumbah memang paling cocok disantap pada saat siang hingga sore hari. Iklim pesisir Indramayu yang cukup panas, membuat masyarakatnya selalu mencari sesuatu yang bikin melek. Rumbah salah satu pilihannya, selain rujak. Dengan cita rasa pedas, asin dan segar dengan tambahan asem jawa, siapapun yang menyantapnya akan merasa segar bugar untuk menghadapi kerasnya jalanan pantura. Dalam satu porsi rumbah biasanya dipatok harga Rp5 ribu sampai Rp7 ribu. Penikmat rumbah biasanya menambahkan kerupuk dan gorengan saja, namun ada juga yang memakai lontong atau nasi, tergantung selera masing-masing.
Rupa-Rupa Rumbah dan Lingkungan yang Menyertai
Sebelum rumbah Darinih jadi buruan orang-orang di sana, di Desa Tegal Lurung, Indramayu, terdapat penjual rumbah yang tak kalah terkenalnya. Namanya rumbah kopek, yang berarti payudara dan disematkan pada orang-orang yang sudah tua. Entah apa yang dipikirkan pedagang hingga membuat nama tersebut. Konon warung ini sudah ada sejak tahun 80-an dan penjual awalnya hanya menggunakan kutang saja. Hmmmm, apa betul ya? Namun siapa sangka rumbah yang dijualnya itu menjadi buruan banyak orang.
Selain rumbah kopek, di bawah jembatan Bangkir, Desa Rambatan Kulon, di antara sempadan Sungai Cimanuk yang deras, terdapat rumbah yang juga kesohor. Pecak kangkung namanya. Rumbah ini berbahan dasar kangkung rebus yang diambil langsung dari kebun sekitarnya. Bahkan saking banyaknya kebun kangkung, daerah tersebut dinamai dengan sebutan Blok Kangkung-Kangkung. Yang membedakan rumbah ini adalah dengan kekuatan sambal pecak yang berisi petis dan asam jawa. Pedas, asem, sedap dan segar menjadi perpaduan yang menggungah lidah saat disantap dengan kerupuk yeye oleh para pengunjung yang berjejer dengan alas tikar di tepian Sungai Cimanuk.
Dalam perkembangannya, rumbah bukan hanya sebuah komposisi kangkung, tauge, dan mentimun yang disiram dengan sambal kacang. Rumbah memilik beberapa macam varian di Indramayu. Mulai dari rumbah semanggen (semanggi), rumbah kenjer (genjer), rumbah ketewel (nangka muda) hingga rumbah mie. Rumbah semanggen biasanya menggunakan sambel dengan parutan kelapa, begitupun dengan rumbah kenjer. Sedangkan rumbah mie sendiri tetap menggunakan sambel kacang atau ditambah dengan saus cabai. Mie yang digunakan biasanya mie kuning dari aci (tepung tapioka) yang bertekstur besar dan kenyal.
Kabupaten Indramayu selain dikenal sebagai kawasan peisir yang banyak menghasilkan tangkapan nelayan, juga dikenal sebagai lumbung pertanian yang cukup luas. Sehingga tidak kesulitan untuk mencari bahan-bahan tersebut. Seperti halnya kangkung, bahan dasar rumbah semanggen dan kenjer pun masih banyak ditemui di sawah-sawah dan sempadan-sempadan sungai. Begitupun hasil laut dari nelayan untuk bahan petis atau terasi yang sedap rasanya. Sehingga penjual tidak pernah kehabisan bahan dasar. Rumbah akan terus ada dan dirasakan sebelum tanah-tanah dan laut itu beralih fungsi oleh derasanya pembangunan yang massif. Sebelum rumbah akhirnya hanya tinggal nama dan cerita dalam alunan lagu semata.
Seperti halnya lagu Bapuk yang diciptakan Yoyo sebagai pengingat akan rumah di kampung halaman, memori akan rumbah pun mulai diciptakan oleh pendatang baru asal Cirebon, Ferdiyana Amarta, peciptanya adalah Amin Hermawan. Sebelum rumbah punah, balada kota Tarling yang terus merekam, melahirkan musisi-musisi baru dan karya-karya baru yang cukup dekat dengan budaya dan asem, pedas, segarnya hidup masyarakat Indramayu. Menikmati pedasnya rumbah, berarti menikmati getirnya rima dalam lagu-lagu tarling dan kenangan akan rumah. Selamat menikmati!
Ning toang Eretan. Kula tetangisan. Dasar arep ketangguan. Weruh laki demenan. Keliwat sabare. Pegel tukarane. Mbelani bae jembete. Ngaku bener dewek bae
(Di jalan Eretan. Saya menangis. Dasarnya mau ketahuan. Tahu suami selingkuh. Kelewat sabarnya. Capek berantem. Membela selingkuganya saja. Ngaku bener sendiri)
Tuku rumbah ning eretan. Sing dagange bi Darinih. Ati rasane set-setan. Larane panas lan perih Sambel pecel rasa tomat. Tuku bahan ning Tegal Gubug. Ati mengkel ora kuat. Bli tahan wareg digebug.
(Beli rumbah di Eretan, yang jualnya Mbak Darinih, Hati rasanya gak karuan, sakitnya panas dan perih, sambel pecel rasa tomat, beli bahan (pakaian) di Tegal Gubug, Hati kesel gak kuat, Tidak tahan kenyang digebukin)
Penulis: Toto Sudiarjo
Editor: Nuran Wibisono