tirto.id - Rumah jurnalis Al Jazeera di Jalur Gazamenjadisalah satu sasaran serangan Israel. Hal ini tak lepas dari bagaiman sejarah media asal Qatar ini menyiarkan konflik Timur Tengah, terutama masalah Israel-Palestina.
Pada Rabu (25/10/2023), serangan udara Israel ke wilayah Jalur Gaza turut menewaskan keluarga jurnalis Al Jazeera, Wael Dahdouh.
Dahdouh harus kehilangan nyawa istri, putra, putri, dan cucunya sekaligus dalam serangan yang menghantam kamp pengungsi Nuseirat, selatan Wadi, Gaza. Dalam pernyataannya, Al Jazeera mengatakan serangan yang dilancarkan Israel seolah tanpa ampun.
Mereka menuliskan rumah Wael Dahdouh menjadi target bom menyusul seruan PM Israel, Benyamin Netanyahu, yang memerintahkan kepada warga Gaza agar segera mengungsi ke wilayah selatan.
"Serangan tanpa pandang bulu oleh pasukan pendudukan Israel itu mengakibatkan hilangnya istri, putra, dan putri [Dahdouh] secara tragis, anggota keluarga yang lain masih terkubur di bawah reruntuhan," tulis Al Jazeera, dikutip laman resmi.
Pada Mei 2021, kantor Al Jazeera di Gaza juga pernah menjadi sasaran pesawat tempur Israel. Gedung 11 lantai yang ditempati bersama Associated Press serta 60 apartemen hunian hanya diberi waktu tidak sampai 1 jam sebelum dihajar bom Israel.
Militer Israel menuding lokasi itu dijadikan markas intelijen Hamas, meskipun hal ini sudah dibantah Al Jazeera.
"Saya telah bekerja di kantor ini selama lebih dari 10 tahun dan saya tidak pernah melihat sesuatu [yang mencurigakan]," kata Safwat al-Kahlout, seorang jurnalis yang bekerja untuk Al Jazeera di lokasi kejadian.
Hal yang sama juga disampaikan Associated Press melalui presiden dan CEO-nya, Gary Pruitt.
"Saya dapat memberitahu Anda, kami berada di gedung itu selama sekitar 15 tahun untuk biro. Kami sama sekali tidak merasa ada Hamas disana," ucap Pruitt.
Serangan Israel akhirnya benar tiba pada pukul 15.12 waktu setempat. Menara gedung al-Jalaa dihantam 3 rudal dan seketika rata dengan tanah.
Sejarah Al Jazeera dalam Konflik Israel-Palestina
Al Jazeera merupakan media internasional yang berbasis di Qatar dan didanai penuh oleh pemerintah setempat. Al Jazeera Satellite Channel, nama awalnya, pertama kali diluncurkan pada 1 November 1996.
Mereka menawarkan siaran berita dalam berbagai bahasa dan dipimpin oleh Sheikh Hamad bin Thamer Al Thani.
Media ini sempat membuat kontroversi setelah menayangkan video Osama bin Laden dan Taliban, salah satu kelompok yang paling diburu oleh Barat.
Selama masa invasi AS ke Irak, Al Jazeera juga menjadi salah satu yang dicari masyarakat lantaran berani memberitakan secara langsung dari lokasi perang.
Menurut keterangan The Guardian, rudal pesawat tempur AS pernah menewaskan Tareq Ayyoub, seorang reporter Al Jazeera yang bekerja sebagai biro di kantor perwakilan Baghdad. Selain Ayyoub, Zuhair al-Iraqi (juru kamera) juga terluka setelah pecahan kaca menancap di lehernya.
Setelah menguasai medan Timur Tengah dan sudah dikenal luas, Al Jazeera lantas memperluas jaringan ekspansi lewat biro lain di penjuru dunia, seperti di Balkan, Amerika Serikat, Kanada, hingga sejumlah negara Eropa.
Dalam menyikapi konflik di Timur Tengah, khususnya pertikaian antara Israel-Palestina, media tersebut dianggap terlalu memihak kepada Palestina tanpa melihat dari sisi yang dialami Israel.
Mengutip Fox News, pada Maret 2008, Israel sempat mengancam akan menjatuhkan sanksi untuk Al Jazeera. Pasalnya, mereka dituduh melakukan liputan yang tidak berimbang dan lebih mendukung gerakan Hamas.
"Kami telah melihat Al Jazeera sudah menjadi bagian dari Hamas ... berpihak dan bekerja sama dengan orang-orang yang menjadi musuh negara Israel," Majalli Whbee, Wakil Menteri Luar Negeri Israel kala itu.
"Ketika sebuah stasiun televisi seperti Al Jazeera memberikan laporan yang tidak dapat dipercaya, hanya mewakili satu pihak dan tidak menampilkan posisi pihak lain, mengapa kita harus bekerja sama?" sambungnya.
Israel menilai liputan Al Jazeera sangat jarang menampilkan korban warga Israel atau seperti tembakan roket yang dilepaskan pejuang Palestina. Di lain sisi, mereka diduga selalu menampilkan siaran mengenai kekerasan yang terjadi di Gaza.
Setahun berikutnya, Israel mengambil sikap tidak memperpanjang visa para karyawan Al Jazeera yang bekerja di negara tersebut.
Mereka membatasi pergerakan para reporter di kantor pemerintahan setempat dan hanya diperkenankan meliput ke Kantor Perdana Menteri, Kementerian Luar Negeri, dan Pasukan Pertahanan Israel.
"Israel percaya pada kebebasan pers dan hak publik untuk tahu. Ini adalah penataan ulang hubungan Israel dan jaringan Al Jazeera mengingat situasi saat ini," bunyi pernyataan resmi Kementerian Luar Negeri Israel.
Hal ini terkait dengan ketegangan antara Israel dengan Qatar, setelah kantor perdagangan Israel di Qatar ditutup oleh otoritas setempat.
Di lain sisi, Al Jazeera juga pernah bermasalah dengan gerakan Fatah yang dipimpin Mahmoud Abbas dan beroperasi di Tepi Barat.
Alasannya, media ini menyiarkan wawancara kontroversial bersama Farouk Kaddoumi, rival Abbas di Fatah. Farouk menuding Mahmoud Abbas berada di balik kematian pemimpin Fatah sebelumnya, Yasser Arafat, pada 2004.
Sontak, rekaman tersebut memantik reaksi keras dari Fatah hingga menutup operasional Al Jazeera di Tepi Barat. Namun, pihak Otoritas Palestina akhirnya mengizinkan Al Jazeera kembali beroperasi selang 4 hari kemudian.
Terbaru, seperti mengutip laman Anadolu Ajansi yang berbasis di Turkiye, pemerintah Israel dilaporkan bakal segera menutup kantor Al Jazeera di negara tersebut lewat sebuah peraturan darurat.
Tak hanya kantor, segala perlengkapan milik Al Jazeera juga akan disita berdasarkan kesepakatan pemerintah Israel yang disetujui pada Jumat (20/10/2023).
Salah satu berita lokal menyebutkan liputan Al Jazeera dinilai membahayakan keamanan nasional Israel. Mereka juga dituding telah menyebarkan propaganda untuk melayani kepentingan Hamas dalam bentuk bahasa Arab dan Inggris kepada seluruh penduduk di dunia. Kaim ini sudah dibantah dengan keras oleh Al Jazeera.
Meskipun kerap dimusuhi Israel, selama ini jaringan media tersebut banyak dianggap telah menyiarkan secara menyeluruh terkait kondisi aktual di Gaza, Israel, maupun Lebanon selatan.
Penulis: Beni Jo
Editor: Dipna Videlia Putsanra